7

54 5 0
                                    

7

Di kediaman Dice, Carol Sue masih mengawasi Hana yang mondar-mandir seperti orang susah. Ia menegakkan badannya dengan gelisah karena tak bisa menutupi rasa ingin tahunya.

"Ada apa, Hana?" tanya Carol.

Hana menjawab dengan gelengan kepala. Sekali lagi ia mengetik di ponselnya. Kemudian dengan gusar melemparnya ke atas tempat tidur.

"Tak apa. Mari lakukan sesuatu agar aku merasa lebih baik," pinta si tomboi Hana. Kini ia melempar tubuhnya yang masih ngilu-ngilu ke atas kasur empuk di kamarnya. Sambil meringis.

"Apa sesakit itu rasanya? Apa kamu mau kuantar ke dokter?" Carol khawatir.

"Jangan, jangan ke dokter. Luka memar tak akan lebih cepat sembuh meski aku pergi ke dokter." Hana menolak.

"Mungkin kita harus keluar kamar, agar kamu bisa menghirup udara segar." Carol memberi ide. Hanya berusaha membantu. Sikap Hana membuatnya ikut merasa tak nyaman.

"Kamu percaya itu?" Hana mendudukkan diri dengan gerakan cepat agar bisa berhadapan dengan Carol.

"Apa?" Carol langsung menunduk ketika Hana bertanya dengan jarak sejengkal, tepat di ujung hidungnya yang mungil.

"Kalau menghirup udara segar bisa membuat kita lebih baik." Hana meneruskan.

"Tentu. Otak kita hanya seonggok mesin pembuat onar. Seperti rumah ini, sirkulasinya harus kamu bikin baik supaya penghuninya tidak saling mengganggu satu sama lain. Nutrisi dan kualitas oksigen misalnya. Memang tidak sesederhana itu, tapi kita bisa mulai dari sana." Carol bersuara lembut, sesekali penjelasannya membuat Hana tersenyum.

"Kamu sedang mengistilahkan aku dan kakakku dengan cara yang lebih sopan."

"Kamu harus tahu, aku tidak menyindir dengan cara seperti itu." Carol merasa tidak enak.

"Jadi kamu menyindir dengan cara yang lain?"

"Hana, aku tidak mungkin menyindirmu. Aku juga tidak melakukannya dengan cara yang lain. Aku..." Carol mulai meracau.

"Tenanglah Carol, aku cuma menggodamu," kata Hana. "Aku bersyukur Hera tidak memacarimu. Sungguh." Hana bisa melihat gadis berkulit bersih dan bermata sipit itu memerah pipinya.

"Benarkah? Kenapa kamu bersyukur Hera tidak memacariku?"

Sekarang Hana yang membuang muka.

"Karena aku tak yakin otaknya yang suka bikin onar mampu membuatmu senang. Dia terlalu fokus pada dirinya sendiri. Kalian akan bertengkar setiap hari."

"Oh, kamu senang menghakimi kakakmu. Lalu, kamu pikir kamu bisa membuatku senang?" Carol membalas. Sejak Carol bergabung dengan kelompok mereka, ia dan Hana memang jarang punya kesempatan bicara berdua saja.

Hana menggingit bibir bawahnya, ia melirik ke jendela, lalu menunduk memandangi jari-jarinya. "Aku pikir kamu ada benarnya. Otak kita senang membikin onar. Sepertinya aku harus keluar dari kamar ini." Hana menyingkir dari tempat tidur. "Kita akan ngopi saja." Ia menggamit tangan Carol dan menarik gadis itu keluar.

Di dapur rumah keluarga Dice yang lenggang, cahaya matahari pagi telah surut. Suara burung sudah lenyap sedari tadi bersama dengan dua cangkir kopi yang sudah tandas isinya. Ampas basah bertumpuk seperti tanah liat di dasar sungai. Sisanya yang mulai kering menempel pada dinding-dinding gelas keramik seperti lapisan kambium di batang pohon.

Hana dan Carol dipisahkan oleh meja makan. Keduanya duduk bertatapan sambil bersandar pada kursi kayu tinggi. Helaan nafas terdengar kadang-kadang, masing-masing merenung dengan isi kepalanya sendiri.

4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now