30

37 5 0
                                    

30

Hana melangkah ringan melewati tangga, meninggalkan tiga orang lain dengan pertanyaan yang menggantung di kepala masing-masing.

"Kamu akan bicara padanya?" tanya Hera pada Carol.

"Aku tidak tahu. Dia terlihat seperti bom waktu." Carol mengantisipasi.

Hera menggigit bibir bawahnya. Satu tangannya meraih pundak Misca, ia ingin dapat kekuatan.

"Biar aku mencoba dulu." Hera ingat, ada sesuatu yang ingin ia katakan sejak beberapa hari lalu, tapi tak pernah terjadi.

Carol memandangi Hera yang menghilang di celah koridor lantai atas. "Mereka pasti akan bertengkar. Biar kususul mereka." Carol menggosok-gosokkan kedua tangannya.

Namun Misca menghalangi. "Jangan khawatir, Hana akan baik-baik saja." Misca menenangkan.

Sementara Hera mengintip dari sisi pintu kamar Hana. Ia melihat adiknya duduk di tepi ranjang sambil memandang ke luar jendela. Hera lalu memutuskan untuk masuk.

"Rumah ini jadi aneh sekali kalau kamu tidak ada, Hana," kata Hera Dice basa-basi.

"Ya, rumput di luar kelihatan lebih tinggi dua sentimeter," balas Hana. Ia tahu kalau kakaknya hanya berbasa-basi. Dan saat ini ia tidak butuh basa-basi.

Hera terkekeh, menganggap kalimat itu adalah sebuah bahan bercanda khas Hana.

"Apa suasana hatimu sedang baik?"

"Aku baru saja keluar dari neraka. Dan sekarang, aku kembali ke neraka yang lain. Aku tidak yakin bagaimana menjawab pertanyaanmu itu," ujar Hana dengan nada yang dingin. Ia tahu sebaiknya ia tak bicara begitu pada Hera.

Tapi ia tak bisa menahan diri terlalu lama. Sesekali ia berhak untuk bicara ngawur seperti Misca, atau bicara seenaknya seperti Hera. Ia terlalu lama menjadi Hana yang baik. Ia merasa lelah.

Di luar dugaannya, Hera bukannya tersinggung. Ia hanya mengangguk. "Maafkan aku, Hana. Selama ini aku tak pernah jadi kakak yang baik."

Hana menoleh akhirnya. "Kamu ingin bilang apa sebenarnya, Hera?"

Hera menggeleng. "Arena. Jadwalmu sudah datang?"

"Apa perdulimu?"

"Itu pertarunganmu yang terakhir."

"Kalau aku menang," kata Hana. "Kamu ingin aku menang?"

Hera bergerak-gerak bibirnya. "Ya, aku ingin kamu menang." Hera tidak bisa melanjutkan obrolan lagi. Ia meninggalkan kamar dengan perasaan yang jauh lebih buruk dari sebelumnya.

"Bagaimana?" tanya Carol ketika Hera sampai di anak tangga paling terakhir.

Hera menggeleng. "Mungkin kamu orang yang dibutuhkan oleh Hana sekarang ini." Nada suara Hera menyedihkan.

Carol tentu langsung naik ke atas tanpa bilang apa-apa lagi. Sampai di kamar, gadis itu menutup pintu. Dan Hana masih ada di posisi yang sama dari saat Hera datang tadi.

"Kamu marah padaku, Hana?" Carol memulai.

Hana diam di tempat. Ia bahkan tidak terlihat mendengarkan.

"Aku minta maaf... Waktu itu aku panik. Seharusnya aku membicarakannya dulu denganmu. Tapi, kamu menutupi semuanya dariku. Kamu tidak membiarkanku punya pilihan lain selain membawamu ke sana. Pacar macam apa aku jika membiarkanmu menjadi seorang pecandu? Apa mereka menyakitimu? Apa keputusanku yang membuatmu diam begini? Aku mencintai kamu, Hana. Dari dulu, dan kamu tahu itu. Aku ingin yang terbaik buatmu. Tapi kenapa kamu diam begini? Kalau kamu marah padaku, makilah aku! Kalau kamu ingin meledak, meledaklah padaku! Aku tidak tahan kalau kamu menghukumku dengan cara ini." Carol terluka dengan kata-katanya sendiri.

4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now