35

33 5 0
                                    

35

Bunyi gemerutuk itu berasal dari langkah kaki Misca dan Carol yang gugup. Beriringan mereka berjalan melewati bagian paling gelap dari gedung Arena yang lebih mirip sebuah hotel tua terbengkalai.

Kegugupan menyembul-nyembul dari gerak-gerik mereka. Mengemban misi semacam ini bukanlah apa yang mereka harapkan terjadi dalam kehidupan mereka.

Mereka anak orang kaya semua, seharusnya mereka hidup enak. Bukannya malah bermain-main sebagai detektif dan pembela kebenaran. Belum lagi, sasaran mereka hari ini adalah Brian, sahabat mereka sejak kecil—sepupu Dice bersaudara.

Memang belum jelas kenapa Brian menargetkan Dice sejak awal. Tapi, sesuai bukti yang bisa mereka mengerti, Brian memang seorang pemain lama. Artinya, sejak umurnya belasan, ia sudah berkecimpung di dunia apa pun itu namanya yang bisa menjelaskan semua kejahatan yang ia bikin.

Suka atau tidak, seperti kata perempuan yang lebih senang disebut bounty hunter bernama Diang, kedua gadis itu tidak seharusnya tahu apa pun soal bukti dari Nafas itu. Sialnya, karena sudah keburu tahu, mereka harus ikut dalam misi ini. Mereka harus memilih untuk mengkhianati Brian atau malah membantunya lolos kali ini.

Tapi ya, Misca dan Carol sama-sama punya alasan untuk tidak memandang pertemanan mereka yang lama itu. Keduanya merasa jengkel, kesal, mangkel pada lelaki itu. Dia adalah akar dari semua kerumitan yang terjadi beberapa bulan terakhir ini.

"Coba telepon Brian sekarang," kata Misca pada Carol. Gadis itu tahu kalau Carol lebih pandai berakting dibanding dirinya.

Carol segera menelepon. "Brian? Ya, kami sudah di depan, sebentar lagi masuk ke dalam Arena. Apa kami harus menunggumu di luar?" Carol bicara sambil menundukkan wajahnya, agar suaranya lebih jelas terdengar dari kabel penyadap yang dipasangkan Diang di tubuh mereka berdua.

Sebentarnya Carol selesai menelepon, ia bicara lagi pada Misca. "Kamu sudah menghubungi Hera?"

Misca mengangkat bahu. "Aku tidak tahu dia di mana. Aku berusaha menghubunginya. Tapi dia tidak mengangkat teleponnya."

"Kemarin dia bilang akan datang ke sini," kenang Carol.

Lalu Brian muncul entah dari mana, membuat dua gadis itu terlonjak karena kaget.

"Lain kali kamu benar-benar harus memberi salam, Brian!" tegas Misca.

Brian tertawa. "Ayo masuk ke dalam." Lelaki itu merentangkan kedua tangannya, dan menyusup di tengah-tengah Misca dan Carol, beriringan mereka masuk ke dalam pintu Arena.

***

Hana sendiri sudah menunggu di belakang panggung, pertarungan yang ini akan menjadi sebuah pembebasan baginya. Paling tidak ia berani berharap, satu saja hal dalam hidupnya layak diperjuangkan. Sejauh ini, dia selalu menghadapi kesialan. Ia tak sabar untuk segera bebas.

Dengan tekun, Hana melilitkan kain pelindung di tangannya. Sambil mendengar bandar dan pecandu judi lain bertaruh dua kali sampai tiga kali lipat untuknya. Wajar, karena ini adalah pertaruhan terakhirnya. Kalau ia menang tak akan ada yang bisa membuatnya kembali ke sini. Ia akan punya hidup yang baru.

Meski mimpi itu mungkin tidak akan ia lalui bersama Carol Sue lagi. Hubungan mereka berada di ujung tanduk sekarang. Ia tak berani berharap, sulit baginya memaafkan apa yang dilakukan Carol padanya.

Hana mengibas-ngibas kepalanya, berharap lupa untuk sementara. Karena ia lebih baik berkonsentrasi terhadap pertarungannya sebentar lagi. Sampai ia melihat siapa lawannya malam ini...

Hana langsung berdiri dan bersembunyi di dalam kamar mandi.

Hope yang sudah mengintai sejak tadi mendekat ke sana, gadis itu berdiri tepat di depan pintu kamar mandi tempat Hana bersembunyi.

4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now