39

36 4 0
                                    

39

Selalu seperti sebuah kebetulan, hari itu—di waktu yang bersamaan Misca memarkir mobilnya di depan gerbang kediaman Dice. Misca menengok keluar sekali lagi sambil melepaskan kait sabuk pengaman.

Begitu juga Nafas.

"Kamu akan bilang apa pada mereka, kalau mereka bertanya soal kita?" Nafas bicara sambil menutupi kegugupannya. Khawatir kalau si kembar Dice tidak akan menyukai keberadaannya, pekerjaannya, juga hubungannya dengan Misca.

Mengingat uang yang ia kumpulkan dari menangkap buronan selama ini tidak ada apa-apanya dibandingkan kekayaan keluarga Blake. Apalagi keluarga Dice. Meski hidupnya sekarang jauh lebih baik dari pada ketika jadi gelandangan dulu. Perbandingan materi selalu menjadi hantu yang menakutkan buat Nafas. Lebih menakutkan dari Diang kalau sedang tidak enak hati.

Apa saja bisa jadi alasan untuk tidak menyukai Nafas, apalagi menyangkut Hera. Si sulung Dice yang egois, sombong, arogan tapi menawan dan tetap jadi pujaan hati banyak perempuan. Sang Lucifer—cinta pertama Misca. Dan semuanya selalu soal itu. Mengingat, cuma uang masalah yang paling menonjol dalam hubungan mereka.

Lima bulan bersama Misca, Nafas memang membiarkan Misca membayar semuanya. Itu karena Nafas sangat mencintai Misca dan tidak mau berdebat dengannya. Kecuali kalau Nafas ingin merokok. Misca tidak mau mensuplai rokok untuk Nafas.

Dan Misca adalah cinta pertama untuk Nafas. Misca cantik, tinggi, mulus, pandai—di ranjang. Selalu masalah fisik dahulu, Nafas tidak ingin munafik. Ia mahluk visual. Terlebih ada bonus yang mengikuti di belakang kelebihan fisik itu. Misca gadis yang baik dan polos. Nafas tidak mau kehilangannya.

"Aku akan bilang yang sebenarnya pada mereka. Memangnya kenapa?" Gadis itu mengambil tasnya, meraup lipstik dari sana, dan memakainya.

Nafas langsung teralihkan pikirannya. "Warna lipstik itu terlalu cocok denganmu. Apa memang perlu kamu pakai sekarang?" tanya Nafas. Ia belum bergerak sama sekali dari kemudi. Ia pandangi wajah kekasihnya.

Lima bulan yang panjang. Kalau ia tahu berpacaran akan begini menyenangkannya, ia akan berpikir dua kali untuk menjadi seorang pencari buronan sejak awal.

Misca berhenti, memasukkan lipstik di tempat sebelumnya. "Apa maksudmu, Nafas?"

"Maksudku baik."

"Soal lipstik ini, maksudku."

"Tidak ada..." Nafas menunduk. Ragu-ragu ia sampaikan maksud yang sebenarnya. "Kamu cantik, bagaimana kalau Hera berubah pikiran?"

"Kamu cemburu? Lipstik bisa membuatmu cemburu?"

"Aku ini orang yang penuh kewaspadaan. Dan, terakhir kali kalian bersama..." Nafas tidak melanjutkan. Merasa bodoh dengan kekhawatirannya sendiri. Ia menyesal sudah mengangkat topik ini, di saat begini.

Misca tertawa. "Aku senang sekali."

"Kamu senang aku cemburu? Oh! Itu membuat hatiku sakit, Misca..." jerit Nafas sambil membuat gimik sakit hati yang komikal.

"Aku tidak pernah dicintai seperti ini. Oleh Hera sekali pun," kata Misca. Ia menghadapi Nafas, menarik dagunya agar mendekat. "Aku senang, karena kamu membuatku merasa penting." Ia mencium Nafas.

Dan begitu saja, percikan api dari sentuhan itu membuat seluruh permukaan interior mobil jadi panas. Misca berhenti tepat saat Nafas mulai menanggalkan satu persatu kancing bajunya.

"Tunggu."

"Ya?" tanya Nafas bingung. Matanya masih sayu, terlalu cepat bergairah.

"Kamu pikir urusan Diang bisa ditunda?"

4. Pair a Dice GxG (END)Where stories live. Discover now