7. Start With A Clean Slate

7.2K 951 40
                                    

Maunya selebrasi 10k tapi ternyata udah 11k. Terima kasih semuanya! Maaf karena belum bisa up setiap hari. Janji minggu depan up tiap hari. Tolong tetap nantikan cerita ini, ya!

*

Suasana kedai kopi itu begitu sepi, namun, di pojok, tampak dua orang yang saling berhadapan dalam suasana yang sangat tegang. Seorang lelaki berusia tiga puluhan tampak memicingkan mata sambil mengeraskan wajah. Sementara, seorang wanita berusia akhir lima puluh tengah menyesap kopi dari cangkirnya dengan wajah sama kerasnya. Gaun putih dengan syal yang ia kenakan membuatnya tampak begitu anggun tak terlihat dimakan usia.

"Dikta, kamu mau sampai kapan begini terus? Sudahs sepuluh tahun, kan? Papamu itu sudah tua, kamu yang harusnya menggantikan dia." Suara wanita itu terdengar begitu kecewa dan memohon bersamaan.

Dikta mengambil napas sambil menggeleng. "Udah aku bilang berkali-kali kan, Ma? Aku keluar dari grup Prama, terserah mau siapa yang ngegantiin, aku nggak peduli."

"Dikta..." Wanita itu berucap dengan nada frustasi. "Kamu itu hidup dari kecil enak, makan kenyang, terus, kamu sekarang mau kerja begini, sih?"

"Aku nggak cuma kerja begini, Excelsior kubangun dari nol bareng Rima dan sampai sebesar sekarang," ucap Dikta tak terima. Ia merasa tersinggung. Wajahnya menampakan ekspresi tidak suka.

"Perempuan itu lagi, Dikta?" Si wanita di hadapannya memijat pelipis. " Apa kamu gila? Apa yang perempuan itu lakukan sampai kamu kayak begini, sih? Kamu harusnya sadar, kamu jauh lebih baik dengan perempuan lain daripada dia."

"Memangnya kenapa? Apa yang salah dari Rima?" Dikta menatap penuh permusuhan. "Dia cantik, pintar, dan—"

"—Dia punya banyak masalah." Si ibu berucap. "Orangtuanya punya banyak hutang, dia dari keluarga berantakan, bukan juga dari orang yang selevel dengan kamu—dengan kita!"

"Selevel, again? Itu kan yang ada di pikiran Papa dan Mama?" Dikta menggeleng tak habis pikir. "Lalu, Mama menjodohkan aku dengan selusin cewek-cewek berotak kosong yang nggak ada isinya itu? Rima is way better than them."

"Radikta!" bentak ibunya. "Perempuan itu ular! Dia memanfaatkan kamu! Kamu yang harus bayarin perusahaan ini. Lihat! Dia bikin kamu jauh dari keluargamu!"

"Kalau ada yang perlu disalahkan dari renggangnya hubungan kita—aku dan Papa Mama—orang itu jelas adalah kalian. Jangan bawa-bawa Rima." Dikta berkata kesal.

"Bagaimana Mama nggak bawa-bawa perempuan murahan itu? Dia menjebak kamu, Dikta. Mama yakin, anak yang dikandungnya bukan anak kamu." Si wanita itu masih mencoba mempertahankan argumennya.

"Whatever happens, you've made your bed, now lie in it." Lelaki itu berdiri dari kursinya, ia mendengkus. "Kalau udah nggak ada yang mau Mama omongin, aku harus balik ke atas. Masih ada kerjaan."

Tubuh Dikta berbalik. Ia berjalan meninggalkan ibunya. Ini bukan kali pertama sang ibu memintanya kembali ke perusahaan keluarganya. Dikta bahkan hilang hitungan berapa kali si ibu sudah membujuknya untuk kembali selama delapan tahun terakhir.

Tetapi, Dikta tak bisa. Ia tak mau.

Kakinya masuk ke dalam kubikel lift. Tepat ketika pintu menutup, ia menghela napas sekeras-kerasnya. Tangannya menutup mata sambil mengatur napas. Ia hanya punya waktu beberapa puluh detik sebelum ia harus kembali bersikap biasa saja.

Hatinya menghitung ketika melihat lift yang terus bergerak naik. Ketika display berhenti di angka dua belas, ia menarik napas sekali lagi dan berdiri tegak tepat ketika pintu terbuka.

 Kakinya melangkah ke arah pintu kaca yang menjadi pembatas. Memasuki co-working space yang ia sewa untuk Excelsior, perusahaan yang ia rintis bersama Rima—perempuan yang tadi dibahas ibunya.

Rima adalah segalanya untuk Dikta. Pertemuan mereka terjadi di kantor saat Dikta masih mencoba peruntungan dengan bekerja di perusahaan orang dengan tujuan belajar. Rima adalah juniornya di bagian pemasaran. Dia supel, pintar, cantik, dan mengagumkan. Setiap mendengar Rima bercerita, Dikta selalu merasa, Rima adalah perempuan terkuat yang pernah ia kenal.

Walau akhirnya, ia menyerah dengan dunia ini. Dengan semua yang ia hadapi, termasuk, orangtua Dikta. Mundur dari segala hal di dunia ini.

Mundur dan pergi.

"Mas Dikta..." Panggilan seseorang membuat Dikta membalik tubuh. Seorang perempuan dengan kemeja biru dan celana jins berdiri. 

"Ya, Novi?"

"Mas, ini... Adhyaksa ada ngehubungin balik." Suara Novi berucap dengan senang yang tertahan.

Adhyaksa? Dikta mengerutkan dahi. Napasnya tertahan begitu mendengar nama Adhyaksa. Sekitar satu atau dua minggu terakhir, Adhisty, salah seorang kenalan—kalau tidak bisa disebut teman—dari masa mudanya yang penuh pesta setiap akhir pekan itu, menghubunginya. Setelah basa-basi, Adhisty menawarkan proyek kampanye tahunan perusahaan.

Tidak perlu orang pintar atau dukun untuk mengetahui bahwa reputasi Adhyaksa sedang di ujung tanduk setelah salah satu dari mereka—Gayatri—membuat onar dengan menghajar adik ipar Javier Garcia yang juga keluarga Suprapto dengan membabi buta.

Gayatri dan segala masalahnya. Si pembuat onar nomor satu yang membuat siapapun menggeleng. Rasanya, semua orang jadi mengerti mengapa malah Darma yang terpilih jadi calon Direktur Utama.

Tetapi, tawaran sebesar itu tak datang dua kali. Jadi, tanpa ragu, Dikta mengiyakan penawaran Adhisty. 

Ada beberapa pertimbangan yang bisa ia berikan. Pertama, ia tidak terafiliasi dengan perusahaan dari manapun. Kedua, Adhyaksa adalah partner kelas kakap—atau paus, sekalian. Dan ketiga, karena keluarganya—Grup Prama—baru saja menandatangani kontrak dengan Garcia-Suprapto terkait investasi pembangunan sebuah pusat perbelanjaan.

Jelas ini bukan alasan profesional, tetapi Dikta tidak peduli. Poin pertama dan kedua sudah cukup kuat untuk menerima tawaran itu, kok! Dikta bisa membayangkan betapa geram keluarganya nanti.

"Bukannya, Adhisty... meninggal?" Suara Dikta serak saat mengucapkan kalimat itu.

Di hari yang sama ketika Adhisty meneleponnya, perempuan itu meninggal. Saat itu, Dikta sudah merelakan jika ia harus gagal dalam tender tersebut. Siapa sangka bahwa pihak Adhyaksa menghubungi balik?

Novi menarik napas. Ia terlihat kebingungan dalam menanggapi.

"Mereka bilang apa?" Dikta langsung mengibaskan tangannya.

"Mereka tanya waktu kosong kita untuk meeting dengan penanggung jawab campaign mereka, sekaligus dengan something-director-nya yang akan jadi kepala untuk campaign kali ini. Katanya kalau bisa ASAP." Novi menjawab. "Dia ada e-mail ke Mas Dikta juga."

Dikta mengangguk dan buru-buru ke arah meja. Membuka laptop, ia menemukan surel dari seseorang bernama Sela yang dari signature-nya tertulis "Personal Assistant to Darmantara Adhyaksa Putra".

Darma. Dikta believes everyone knows him. Si paling gila kerja, perfeksionis, si paling teladan, dan julukan dari segala julukannya: kesukaan semua orangtua. Dikta yakin semua anak dalam sirkel itu pernah—minimal satu kali dalam hidupnya—mendengar orangtua mereka mengoceh, "Sekali-kali, tiru Darma dari Adhyaksa itu."

Jadi, apa Darma yang nantinya akan menjadi partnernya? Apa laki-laki satu itu bahkan terlalu gila kerja sampai tidak punya hati dan sedih atas kematian adik dan ibunya?

Helaan napas terdengar dari mulut Dikta. Ia berdecak pelan. This will be interesting. Dikta tak pernah membayangkan bagaimana rasanya bekerja sama dengan Darma.

"Nov," panggil Dikta cepat. "Atur jadwal meeting sama Adhyaksa, ya. Besok sore, will be great. Lo ikut ya."

Novi mengangguk sebelum kembali menatap layar laptopnya.

Dikta mengambil napas sambil memangku dagu. This will be a great start, right?

Business UnusualWhere stories live. Discover now