28. Before It's Too Late

6.2K 948 36
                                    

Gayatri mengecup pipi Dikta yang duduk di atas sofa ruang tengah apartemen dengan laptop di pangkuan. Ia menyambar kunci mobilnya. Dengan terusan selutut warna kuning muda dan kitten heels warna putih, ia tampak seperti akan pergi ke pantai dengan nuansa ceria ketimbang bertemu dengan teman yang sedang berduka. Tetapi, Dikta enggan mengomentari pakaian Gayatri, mungkin, ada maksud tertentu dari pilihan pakaiannya hari ini.

"Kamu mau nitip sesuatu?" tanyanya saat berdiri di depan pintu.

Dikta menggeleng. "I'm fine. Nanti kalau ada apa-apa, aku bisa beli sendiri."

"Oke, see you pas makan malam kalau begitu!" Gayatri melambaikan tangan sebelum menutup pintu.

Tepat ketika pintu tertutup, Dikta menyisihkan laptop dan berdiri dari kursinya. Ia melakukan stretching ringan sebelum berjalan ke arah kamar dan ikut bersiap pergi. Selama Gayatri bertemu dengan saudara-saudaranya, ada yang harus Dikta urus.

Tak butuh waktu lama untuk ia bersiap dan tak lama sudah berada di mobil untuk tancap gas ke sebuah rumah di bilangan Menteng.

Menatap desain rumah itu membuat Dikta terpukau. Rumah itu besar dengan ornamen kayu dan putih itu tampak begitu sederhana namun mewah di saat yang bersamaan. Tak ada pilar-pilar ala romawi kuno klasik di sana, membuat sentuhannya malah terasa lebih memukau.

Memarkir mobil setelah dipersilahkan masuk oleh seorang satpam, ia menyusuri taman besar rumah itu sebelum menginjakan kaki di bangunan utama. Tampak foto yang dicetak besar dalam bahan kanvas berisikan pasangan suami istri dan tiga orang anak. 

Dikta paling mengenal perempuan yang berpose angkuh di ujung kiri bagaikan model. Itu Gayatri. Berapa usianya saat foto ini diambil?

Dikta kembali menatap sekeliling rumah. Ia mendesah pelan.

Kemarin, seseorang bernama Mia yang mengaku sebagai asisten pribadi Aditya meminta Dikta datang ke rumah. Dikta yakin, Aditya sudah tahu terkait hubungannya dengan Gayatri. Jadi, ia sedang menunggu-nunggu pembicaraan apakah yang akan berlangsung setelah ini.

Mungkin, Dikta juga bisa menyuarakan keinginannya untuk menikahi anaknya. Mungkin.

"Mas, mari ikut saya ke ruang kerja Pak Aditya."

Dikta mengangguk saat seorang wanita paruh baya memandunya menuju sebuah ruangan di dekat kolam renang. Ketika masuk, Dikta sejenak terpana oleh ruang kerja bernuansa kayu tersebut. Salah satu sisi dindingnya diganti floor to ceiling window yang menampilkan taman belakang yang luas dengan kolam renang. Siapapun betah bekerja di sini.

Dikta buru-buru kembali ke kesadarannya dan menatap Aditya yang duduk di meja. Lelaki berusia pertengahan lima puluh itu berdiri dengan senyum menyeringai yang justru terlihat menyeramkan.

"Kita butuh bicara, Dikta." Aditya berucap tajam.

Dikta mengangguk ketika ia dipersilakan duduk di salah satu sofa. Aditya duduk berhadapan dengannya. Di antara mereka, ada dua cangkir teh dan sepiring kue-kue yang tak akan mungkin mereka konsumsi lantaran hanya akan jadi pemanis ruang.

"Ini tentang Gayatri?" tanya Dikta menebak. "Tentang hubungan saya dengan Gayatri?"

Dagu Aditya mengangguk. "Atri belum cerita, tetapi, saya sudah tahu lebih dulu."

Dikta menelan ludah. Jelas ayahnya tahu. Tidak sulit mencari tahu tentang hubungan mereka berdua.

"Saya nggak mau bertele-tele. Kalau kamu memang cuma main-main dengan Atri, lebih baik kamu mundur, Dikta," ucap Aditya tegas.

Dikta menegang. Ini terlalu straight forward.

"Setahu saya, kamu pernah dekat dengan Atri, lalu Atri menangis-nangis karena kamu tinggalkan begitu saja. Saya nggak ngerti kenapa kalian kembali bersama lagi." Aditya mengerutkan dahi.

Bibir Dikta terkulum. Melihat bagaimana protektifnya Aditya, ia yakin, Aditya mungkin tahu apa saja yang terjadi antara dirinya dengan Gayatri.

"I think I was a fool back then." Dikta mengambil napas. "Saya masih belum bisa menerima bahwa sudah saatnya untuk move on."

"Dari mantan pacarmu yang mati bunuh diri itu?"

Kalimat itu membuat Dikta membelalak. Apa saja yang sudah Aditya ketahui tentangnya? Sesaat, ia mengangguk. "Yah," jawabnya.

"Bukan saya nggak mau berempati, tapi saya nggak mau kalau tiba-tiba anak saya bernasib sama seperti mantan pacarmu itu." Kalimat yang dilontarkan Aditya begitu tegas dan menakutkan. Sekali dengar, Dikta tahu, lelaki ini begitu menyayangi putrinya walau mungkin menunjukannya dengan cara yang salah. "Dia terlihat begitu depresi."

Seketika, ada gumpalan besar yang menyumbat kerongkongan Dikta. Ia tidak tahu tentang itu. Ia tidak tahu kalau dirinya menyakiti Gayatri segitu parahnya. "Saya janji nggak akan membiarkan itu lagi."

Aditya tersenyum mengejek. Tetapi, Dikta mengambil napas sambil melanjutkan kalimatnya. "Saya mau menikahi Gayatri."

Aditya tak terlihat kaget. Sebagai gantinya, ia tersenyum menyeringai untuk kedua kalinya. "Saya sudah yakin kamu akan bicara seperti ini."

"Om sudah tahu?"

Aditya tertawa. "Buat apa saya panggil kamu ke sini, Radikta?" Ia menggeleng kecil. "Tindak tandukmu terlalu gampang ditebak."

Dikta terkesiap.

"Dulu, kamu meninggalkan Atri sebagai bentuk pembangkanganmu." Aditya berucap yang membuat Dikta ingin menggeleng keras-keras. "Apa kamu punya motif lain?" Aditya menatap tajam ke arah Dikta. "Misal, memanfaatkan Atri untuk membangkang kedua kalinya? Mengingat hubungan Adhyaksa dan Prama sedang renggang saat ini."

Dikta mengerutkan dahi, ia tidak mengerti. Motivasi? Motivasi apa?

Dikta diam. Ia menggeleng. "Saya nggak mengerti maksud Om."

Aditya memandang Dikta lekat sebelum menghela napas. Seperti ada sebuah kelegaan di sana. "Saya nggak bisa menyerahkan anak saya pada kamu begitu saja, Dikta." Aditya menggeleng pelan. "Kamu boleh punya titel pewaris tunggal grup Prama, tetapi, kamu membangkang dan memilih untuk keluar dari perusahaan keluargamu. Sekarang, kamu cuma merintis agensimu itu. Bukan saya ingin sombong, tetapi, saya sudah memberikan segala yang terbaik untuk Atri, saya nggak bisa melihat Atri hidup susah."

Dikta menahan napas. ia sudah bisa menebak lontaran Aditya.

"Mungkin, bukan susah seperti nggak bisa makan, tetapi, Atri harus menurunkan segala standar kebiasaannya kalau bersama kamu. Ibaratnya, Atri bisa pergi ke Eropa seperti pergi ke mall tiap akhir pekan hanya untuk berbelanja, sekarang, apa kamu bisa melakukan hal yang sama?" tantang Aditya.

Dikta mendesis. Dengan pemasukan Excelsior jelas tidak mungkin.

Kadang Dikta berpikir, sebenarnya, mengerjakan Excelsior juga bukan panggilan hidupnya. Sejak dulu, ia menyukai gedung-gedung bertingkat dan mengagumi pembuatannya. Sejak kecil, ia sudah tahu bahwa dirinya akan berkecimpung dalam perusahaan keluarganya. Lalu, ketika insiden Rima menghadang, Dikta keluar dan melanjutkan bisnis yang Rima rintis. 

Sekarang, tanpa Rima dan dengan adanya Gayatri di sisinya, apa ini berarti, Dikta harus mengkaji ulang pilihan hidupnya? Apa ini masih belum terlambat? Apa lebih baik, ia kembali saja?

Lalu bagaimana nasib Excelsior? Apakah ia harus menutupnya? Menjualnya? Atau apa?

"Saya nggak keberatan jika Gayatri menikah dengan kamu dengan satu syarat: saya mau standar hidup Atri tidak berubah," tegas Aditya. "Jadi, kamu pikirkan bagaimana caranya agar Atri tetap berada di sana atau tinggal menunggu waktu sampai Atri sadar sendiri dan ninggalin kamu."

Bulu kuduk Dikta menegang. Ia menahan napas. Benar kata Aditya, fase honeymoon dalam hubungan akan berakhir cepat atau lambat. Tinggal menunggu waktu sampai—mungkin—Gayatri yang akan meninggalkannya.

Business UnusualWhere stories live. Discover now