39. Not Your Puppets

4.6K 766 44
                                    

"Gimana hari pertamamu?" Suara cempreng seorang perempuan terdengar menggema dari speaker ponsel Dikta.

Dikta menggumam kecil. Tangannya masih berada di setir sementeara di hadapannya, tampak jalanan penuh mobil yang berlalu lalang. "Yah, gitu-gitu aja. Aku masih belajar dokumen dan ke lokasi. Capek banget!"

Hari pertama Dikta masuk ke dalam perusahaan keluarganya terasa begitu melelahkan. Bukan hanya fisik, rasanya, ada lelah batin yang terasa hingga ke tulang. Walaupun rasanya semua berjalan mulus, banyak hal yang terasa janggal, sesuatu yang perlu diselesaikan dengan segera.

Tawa kecil terdengar dari seberang. Suara itu membuat Dikta rindu. Satu-satunya yang jadi penawar di antara semua kegilaannya hari ini. Ingin rasanya ia menghambur ke pelukan perempuan itu daripada harus ikut makan malam hari ini.

Malam ini, Dikta mendapatkan ajakan makan malam bersama dengan ayah dan ibunya. Perasaan tak ingin terasa begitu berat. Apalagi, Dikta baru tahu kalau Gayatri memutuskan untuk lembur. Namun, Gayatri enggan ditemani dan malah mendorongnya untuk ikut pada makan malam hari ini.

"Kamu sudah mau sampai?" 

"Bentar lagi, Sayang. Kamu bener-bener belum pulang dari kantor?" Dikta bertanya sambil memutar setir menuju ke arah belokan. "Ini udah jam tujuh, loh!"

"Belum, sebentar lagi. Aku masih meriksa laporan," ucap Gayatri dengan napas terhela. Tanpa perlu melihat, Dikta tahu, kekasihnya sudah kelelahan.

"Kamu udah makan?" tanya Dikta lagi. "Kamu jangan lupa makan."

"Iyah, kamu kayak nggak tahu aku sih, Mas. Makan kan nomor satu." Gayatri berucap dengan nada canda. "Kamu nanti pas makan malam sama orangtuamu, jangan emosi-emosi, oke?"

"Aku usahain."

"Mas Dikta!"

Dikta tertawa-tawa kecil.  Sudah lama sekali rasanya ia punya waktu seperti ini. Dulu, ketika masih kecil, ayahnya terlalu sibuk hingga tak punya waktu untuk makan bersama kecuali dalam acara-acara tertentu. Lalu, ketika sudah dewasa, Dikta yang meninggalkan rumah.

"Aku dengar Om Suwiryo—papamu—kena stroke kemarin. Aku pernah jenguk satu kali. He looks so miserable, Mas. Nanti, kamu pasti mengerti kalau sudah lihat sendiri."

Dikta mendesah. Entahlah! Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana. "Aku sudah sampai," ucap Dikta saat memarkir mobil.

Suara hembusan napas terdengar. "Oke, kalau begitu. Ingat, jaga emosi, mereka orangtua kamu loh!"

"Iya, iya!" Dikta berucap sebelum memutus panggilan dan tertawa. Sejak Gayatri berekonsiliasi dengan ayahnya, perempuan satu ini jadi suka menasehati soal orangtua. Tidak salah, sih. Mungkin, sekarang, Gayatri bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Dikta melangkahkan kaki ke dalam rumah dengan pilar besar di daerah Simprug malam ini. Lelaki itu meneliti sekitar. Menatap ke arah rumah besar yang dulu pernah jadi tempat tinggalnya. Dengan tangan di saku, ia memasuki pekarangan. Matanya langsung menemukan seorang satpam yang sudah dikenalnya sejak masih kanak-kanak. Mengangguk pelan, ia berjalan ke dalam rumah. 

"Belum pada siap?" tanya Dikta saat melihat ke sekeliling ruang makan. Ia menemukan hidangan-hidangan yang membawanya ke masa kecilnya. Termasuk, sepanci bakso ikan dalam kuah yang jadi kesukaannya.

"Sebentar lagi, Den," ucap seorang perempuan setengah baya yang tengah bersiap.

Dikta menghela napas sambil meletakan tubuh di salah satu kursi. Baru duduk, ia melihat ibunya mendorong seorang lelaki di lorong. Lelaki yang dulu begitu tinggi, tegap dan berwibawa kini seperti tengkorak hidup dengan kepala miring dan sebelah tubuh kaku.

Business UnusualWhere stories live. Discover now