17. You Are Precious

6.7K 996 72
                                    

Gayatri tak mengerti. Dikta awalnya mengajaknya bertemu di Three Buns lalu tiba-tiba, lelaki satu itu memutuskan untuk keluar dari restoran tanpa alasan yang jelas.

Oke, tidak sepenuhnya ambigu. Gayatri diam-diam punya firasat apa yang terjadi pada Dikta. Apalagi, setelah Aris muncul tiba-tiba menyapa mereka. 

Mungkin, Dikta cemburu.

Mungkin.

Gayatri tak ingin berharap terlalu banyak. Ia pernah menaruh harapan pada Dikta lima tahun lalu dan semua berakhir sia-sia tepat di pagi hari ketika ia bangun dalam rengkuhan lelaki itu.  Seperti mimpi indah yang langsung dihajar oleh realita menyakitkan.

"Tri, kita ke Tell Tales aja, ya?" Suara Dikta memecah lamunan Gayatri.

Dari sudut mata Gayatri, ia bisa melihat lelaki itu memutar kemudinya menuju ke daerah Cikini. Dagunya terangguk. Tell Tales memang jadi tempat paling nyaman untuknya bekerja.

"Aku masih bisa pinjem buku nggak, sih? Kemarin ada satu serial yang baru aku baca setengah," ucap Dikta lagi.

Gayatri memiringkan kepala. "Setahuku nggak bisa, deh. Peminjaman sudah nggak berlaku sejak awal bulan ini. Tapi, kalau mau, aku bisa bilang Mas Darma."

Senyum Dikta merekah tatkala mendengar kalimat Gayatri. Senyum yang membuat Gayatri menghangat.

Sial! Gayatri! Stop it! Ia menggelengkan kepala keras-keras sambil menatap jalanan. Ia sudah tidak mau berharap lagi. Sudah cukup ia pernah disakiti begitu rupa lima tahun lalu.

Di samping itu, hubungan mereka saat ini bukan cuma teman, mereka adalah partner. Gayatri bertindak sebagai klien dari Dikta.  Mencampur hubungan personal dan profesional akan menhancurkan seluruh tatanan kerja dan itu adalah hal terakhir yang ingin Gayatri lakukan.

Jadi, ada baiknya Gayatri berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan tak masuk akal yang bisa membuatnya masuk ke dalam jurang maut yang semakin menghancurkan hidupnya, mematahkan hatinya, atau keduanya.

Tak butuh waktu lama untuk mereka sampai di Tell Tales. Kali ini, Kartika tak ada di tempat. Menurut karyawannya, Kartika sedang ada urusan di luar. Gayatri hanya mengangguk kecil ketika mendengar penjelasan salah satu karyawannya itu.

Selepas keluar dari rumah nyaris tanpa uang, Kartika bekerja apa saja. Selain membuat toko kue, ia juga menyambi di salah satu wedding organizer dan event organizer milik temannya. Tugasnya adalah menangani klien-klien menengah atas karena Kartika dianggap bisa menyesuaikan selera mereka. 

Di saat yang bersamaan, selain mendapatkan komisi, berkiprah dalam event organizer membuat Kartika juga bisa mempromosikan Keiku—toko kuenya—dan menggaet pembeli untuk memesan wedding cake, kue ulang tahun sweet seventeen atau hanya sekadar kue-kue kecil untuk acara korporat. 

Setali tiga uang, bukan?

"Nanti makanannya di antar ke meja biasa, ya." Gayatri berucap  seusai memesan sepotong Rainbow Cake yang jadi menu baru di Keiku serta dua gelas kopi. Tempat biasa merujuk pada common area yang menjadi tempat baca sekaligus bersantai yang memang sengaja disediakan. 

Gayatri dan Dikta beranjak ke perpustakaan yang sepi. Semakin hari, perpustakaan itu semakin tak ada orang. Hari ini pun, cuma ada mereka.

Kaki Dikta berjalan ke arah lorong buku geografi sementara Gayatri mengekor. Sampai di lorong, mata lelaki itu tertumbuk pada sebuah buku bersampul biru dan langsung mengambilnya begitu saja. "Aku baru baca ini setengah," ucap Dikta.

Gayatri tersenyum kecil. Ia melihat binar di wajah Dikta yang biasanya kaku. Perempuan itu menyusuri buku-buku yang menurutnya membosankan. Gayatri tak suka membaca sama sekali.

"Kamu nggak ada niatan ngurusin Tell Tales aja? Sayang loh," ucap Dikta lagi.

Gayatri mendesah pelan. "Sulit, sih. Yang suka buku itu Tante Dafi sama Dhisty, sekarang, siapa yang mau ngurusin." Ia mengangkat bahu.

Dikta menyandarkan tubuhnya di rak. Ia memiringkan kepala. "Kalau ini punya Mama dan adiknya Darma, kok dia setuju-setuju aja Tell Tales ditutup?"

"Mas Darma nggak punya pilihan lain," jawab Gayatri menghela napas. "Suaranya juga nggak sekuat yang orang lain kira."

"Hm?"

"Papa masih memegang suara terkuat. Mas Darma nggak ada apa-apanya. Apalagi setelah dia nikahin Mbak Salsa." Gayatri menerawang dengan pandangan lurus ke depan. "Posisinya jadi agak sulit, mengingat dia bawa Nolan juga bikin semuanya jadi kacau."

Dahi Dikta berkerut. "Tapi, kalau Darma ditendang dari posisinya, bukannya kamu yang akan menggantikan Darma?"

"Ramdan."

"Hum?"

"Kalau Mas Darma ditendang, maka Ramdan yang akan menggantikan Mas Darma. Bukan aku."

Seketika, Dikta menegangkan punggung. Seharusnya, jika diurut umur, maka Darma yang berada pada posisi pertama, lalu Adhisty, namun karena Adhisty sudah meninggal, seharusnya Gayatri yang mengemban posisi itu. Apalagi, Gayatri adalah anak dari Direktur Utama perusahaan. Kenapa jadi Ramdan?

"Kami perempuan nggak akan pernah dianggap dalam keluarga ini." Suara lemah itu terdengar dari mulut Gayatri. "Sekuat apapun kami berusaha—aku, Adhisty, Kartika—kami cuma akan dianggap makhluk nggak berguna. Menurut Papa, pekerjaan perempuan itu ya jadi boneka laki-lakinya. Tugas kami hanya jadi pendukung. Berdiri di samping suaminya dengan senyum manis, tidak perlu punya otak, yang penting cukup untuk bisa bersikap santun dan anggun lalu biarkan si suami melakukan segala hal."

Ada nada sedih dan frustasi terdengar dari getar suara Gayatri. Ia terlihat ingin menangis. 

"Aku nekat ambil beasiswa S2, pas tahu itu, Papa marah habis-habisan. Katanya, buat apa ambil S2 lagi, mana ambilnya Fashion Management pula! Dia ngamuk, tapi untung aku nggak ditarik paksa karena selain aku sudah tanda tangan kontrak, akhirnya, Mama berhasil ngebujukin Papa dengan dalih lulusan S2 bisa jadi nilai tambah jual." Desisan terdengar dari sela gigi Gayatri. "Nilai tambah jual, Mas! Gila, ya?"

Dikta buru-buru mendekat. Ia mengulurkan tangannya, membelai rambut Gayatri lembut, mencoba menenangkan perempuan yang sudah bergetar itu.

"Adhisty mungkin sedikit beruntung karena Om Satya sudah jauh lebih terbuka pikirannya dan membagi porsi yang adil pada anak-anaknya, tetapi keluargaku belum. Aku rasa, Papa masih kecewa karena aku terlahir sebagai perempuan. Lalu, anak keduanya pun perempuan." Gayatri tersenyum getir sekaligus terlihat mengejek bersamaan, mencemooh ayahnya sendiri. "Kamu tahu bagaimana Ramdan dilahirkan? Untuk mendapatkan anak laki-laki, Papa merogoh kocek hanya untuk mengikuti program bayi tabung. Kurang sinting apa Papaku itu, Mas?"

"Apa?"

"Dia pikir, anak laki-laki akan jauh lebih kuat. Mungkin karena anak laki-laki akan menuruni nama Adhyaksa sementara kami yang anak perempuan suatu hari akan menikah dan keturunan yang lahir dari rahim kami nggak akan punya nama Adhyaksa." Kepala Gayatri menggeleng pelan. "Mungkin juga, ia kecewa dengan Tante Kinanti yang memilih keluar dari perusahaan, aku nggak tahu."

"Tri..."

"Atau mungkin, memang, dia sangat sexist aja." Gayatri mengangkat bahu. "Nggak tahu, deh! Aku merasa nggak ada harganya, Mas."

"Kamu ngomong apa sih, Tri?" Dikta menggeleng cepat. "Kok tiba-tiba jadi bilang begitu?"

"Yah, memang begitu. Di rumah, aku cuma jadi barang untuk diperdagangkan demi bisnis. Dan soal cinta..." Gayatri menarik napas lalu menghelanya keras-keras. "Semua orang ninggalin aku atau selingkuhin aku. Aku nggak pernah dihargai sebagaimana aku apa adanya; orang-orang ngedeketin aku cuma buat keuntungannya aja, kalau sudah nggak menguntungkan, ya, aku dibuang. Termasuk, kamu, Mas Dikta."

"Aku?"

"Ya, kamu!"

Dikta mengerutkan dahi. Ia menatap Gayatri dengan mata memicing. Seketika, keduanya saling adu tegang. Apa maksudnya?

*

 
Aku akan up lagi nanti sore karena yang selanjutnya ada adegan 💋 nya, jadi sekarang aku jeda dulu. See you!! 😘

Business UnusualWhere stories live. Discover now