Love Me In Your Memory - Part 2: Kastara

3.9K 589 163
                                    

"Mas Dikta, kan aku udah bilang kalau makan sereal jangan di atas sofa!" Suara melengking namun serak itu membuat aku menengok.

Dari ambang pintu, aku melihat seorang wanita berusia enam puluhan berjalan gusar ke arahku. Wajahnya masih terlihat begitu cantik walau ada kerutan-kerutan yang mulai menghias. Buatku, wanita itu akan selalu cantik apapun yang terjadi.

Pagi ini, aku tengah duduk-duduk di ruang tamu yang berada di rumah utama. Sejak Papa meninggal, Mama kembali ke rumah utama di Jakarta. Alasannya, agar aku dan Mbak Katya-kakakku-bisa bergantian merawat Mama. Keadaan Mama yang mengidap Alzheimer masih sama saja. Setiap hari, ingatannya terus dan terus mundur. Konsentrasinya juga semakin lama semakin terganggu.

Setiap kali melihat Mama, hatiku hancur. Aku mengenal Mama sebagai sosok yang pintar dan mampu mengimbangi Papa. Kalau aku punya pacar, aku ingin pacarku sekuat Mama. Mama begitu menakjubkan, sayang hidup begitu kejam.

"Ma... ini Tara, bukan Papa," ucapku mencoba menenangkan Mama.

Mbak Katya sedang pergi sebentar ke luar. Di hari Sabtu begini, dia masih punya segudang pekerjaan yang harus dibereskan mengingat bisnis perusahaan yang ia nahkodai memang buka tujuh hari.

Dan di saat seperti ini, sejujurnya, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku memang sabar. Lebih sabar dari Mbak Katya, katanya. Tetapi, untuk urusan satu ini, aku langsung jadi panik.

"Tara? Siapa Tara? Papa? Maksud kamu apa?" Mama mengerutkan dahi. Ia tampak kebingungan.

Aku mengulum senyum. Sejak kecil, orang-orang selalu melabeliku dengan 'Dikta versi mini'. Sekarang, semuanya tervalidasi ketika Mama bahkan memanggilku dengan nama Dikta.

Mama berjalan mendekat. Ia tampak kebingungan. "Kamu ini ngomong apa sih, Mas? Aduh... nggak tahu, deh! Aku mau ngurusin kerjaan dulu."

"Udah ada Mbak Tya, Ma." Aku berucap pelan. "Mbak Tya yang urus LuxeModa sekarang."

"Tya? Tya masih bayi! Tunggu sebentar, aku belum ngecek Tya. Biasanya pagi-pagi begini dia nangis. Kok hari ini dia nggak nangis, ya?"

Aku tersenyum geli. Ini sering terjadi.

"Mbak Tya udah gede, Ma." Aku menjelaskan dengan mulut penuh sereal. "Aku aja yang adiknya sudah 33 tahun."

Mama masih terlihat tidak paham. "Mas, kamu bener-bener ngelantur. Apaan, sih? Kamu sekarang kok jadi sok main anak-ibuan sama aku."

Aku lagi-lagi hanya bisa menghela napas dan meletakan mangkok serealnya di atas meja.

"Mama mau makan pagi dulu, nggak?" Aku mencoba mengalihkan topik.

"Aku harus kerja, Mas. LuxeModa mau launching line baru. Ada label baru namanya Escapadio." Mama masih kukuh menjawab.

Aku menghela napas. Escapadio adalah label yang sudah tidak diproduksi lagi. Peluncuran pertamanya terjadi puluhan tahun lalu. Ketika Mbak Katya berusia satu atau dua tahun.

Ya, puluhan tahun lalu. Dan memori Mama terjebak di sana.

"Ma, sebentar ya, Tara cariin sesuatu dulu." Aku buru-buru beranjak ke ruang baca, meninggalkan Mama dalam raut bingung.

Aku pernah melihat Mbak Katya atau Papa menunjukan sesuatu pada Mama. Biasanya, surat dokter bahwa Mama mengidap penyakit. Hard truth, memang. Tetapi, hanya itu satu-satunya cara agar Mama tersadar. Hal lain adalah buku agenda Mama. Setiap hari, Mama menulis agenda tentang kesehariannya. Agenda itu bisa diisi ulang, terbungkus sampul berbahan kulit warna cokelat tua. Aku tidak tahu sudah berapa lembar yang Mama tulis. Tetapi, setiap hari, Mama akan membaca buku itu agar tahu apa yang ia lalui dalam beberapa bulan terakhir, biarpun akhirnya lupa lagi.

Business UnusualWhere stories live. Discover now