12. Pathetic

6.6K 951 50
                                    

[20k mark here]

***

Dikta membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan rambut basah. Matanya menatap langit-langit seraya menerawang apa yang mengganjal pikirannya.

Beberapa hari yang lalu, dalam rapat kedua dengan Adhyaksa, Dikta seharusnya tidak ikut pergi. Tetapi, ia akhirnya memutuskan untuk bergabung pada rapat dengan sebuah harapan kecil yang terlihat mustahil: bertemu dengan Gayatri.

Seharusnya ia sadar, Gayatri akan terlalu sibuk. Ia tidak akan mungkin hadir dalam rapat. Dan ramalannya sesuai. Gayatri tidak ada. Hanya ada Doni—manajer pemasaran yang bertanggung jawab—berada di ruang rapat bersama timnya.

Ketika Dikta pikir semua itu sia-sia, Gayatri malah muncul secara tak terduga. Lucunya, ia malah menawarkan bekerja di ruangannya. She was so pretty. She always pretty, anyway! Tubuh tinggi yang dibalut pantsuit warna merah maroon dengan sepatu hak tinggi berwarna hitam mengilap membuat Dikta menelan ludah.

Butuh iman setebal tembok Cina untuk menolak ajakan itu. Seperti kata Gio, "Tidak ada yang imun jika sudah bersebelahan dengan Gayatri." Dan sebagai gantinya, Dikta mengajak Gayatri untuk bekerja di luar kantor sekaligus ingin menyampaikan sesuatu.

Sesuatu bernama permintaan maaf.

Permintaan maaf karena menghilang setelah melakukan hal yang seharusnya tak mereka lakukan. Permintaan maaf untuk menyelesaikan segala hal yang terjadi.

Nyatanya, kalimat itu tak sanggup meluncur dari mulut Dikta. Dan sebaliknya, ada kalimat lain yang malah muncul dari mulut Gayatri: What if we pretend that everything back then had never been existed in the first place?

Kalimat itu masih membayang di benak Dikta, lengkap dengan ekspresi sedih bercampur kepura-puraan yang Gayatri tunjukan.

Gayatri boleh bersikap sok kuat di depan semua orang. Gayatri boleh berpura-pura punya hati baja yang tak tergoyahkan di depan orang lain, kecuali Dikta. Sekali lihat, Dikta sudah tahu, perempuan itu merasa terkhianati.

Dan berpura-pura, katanya? Berpura-pura bahwa tidak terjadi apa-apa malam itu? Dikta rasa, ia tidak bisa. Malah sebaliknya, ia malah jadi terpikir terus menerus. Semuanya terputar seperti kaset rusak yang mengganggu konsentrasinya. Fokusnya buyar, segalanya berantakan.

Wajah itu. Rasa bersalah semakin menggerogotinya.

Dikta menarik napas. Ia bangkit dari tidurnya.

Melirik ke arah nakas, Dikta baru sadar bahwa di atas sana, tampak bingkai foto Rima yang sudah berdebu. Dikta terdiam sejenak. Ia bahkan lupa ada foto itu di sana. Dan dengan debu sebanyak itu, kapan terakhir kali Dikta menangisi Rima?

Apa ini artinya ia mulai terbiasa hidup sendiri? Apa ini artinya ia mulai bisa melupakan Rima dan bergerak maju? Atau benar kata Gio, sebenarnya, ia hanya mencari cara kabur dengan menggunakan Rima sebagai alasan bertahun-tahun?

Cuma ada satu cara membuktikannya. Dikta mengambil napas. Ia menatap layar ponselnya. Tangannya memencet tuts Blackberry-nya dan melakukan panggilan. Tak butuh waktu lama untuk suara perempuan terdengar di seberang.

Senyum kecil mengembang dari bibir Dikta. "Halo, Tri, sibuk?"

*

"MAU KE MANA LO JAM SEGINI UDAH RAPI, BATERAI? BIASANYA MASIH MOLOR BARU PERGI SUBUH!"

Teriakan Ramdan memecah hening rumah di Sabtu pagi. Gayatri nyaris melompat. Ia menengok ke arah adik lelakinya yang sudah berusia seperempat abad tapi punya kelakuan seperti anak umur lima belas itu dengan sebal. 

Business UnusualWhere stories live. Discover now