45. Reputation

4.1K 703 112
                                    

Please help me vote. Berhubung tamat nya Mbak Atri sebentar lagi. Siapa selanjutnya yang mau ditulis: Ramdan, kartika, atau ... Nolan? hahaha

*

Gayatri menghela napas keras-keras ketika masuk ke dalam ruangan Adji. Rapat informal yang diadakan ini sejujurnya membuat Gayatri muak. Ia bukan tipe pemimpin yang turun lapangan apalagi orang yang akan datang dan meminta.

Bagaimana Mas Darma melakukan semua ini?

Sekarang, Gayatri jadi sedikit mengerti kenapa Darma jauh lebih unggul daripada dirinya. He is such a good negotiator. Total ada dua pengembang yang sudah berhasil memindahkan lokasi toko-toko yang akan dibuka di bawah Adhyaksa: Prama dan Kencana. Namun, proyek Prama menempati kasus relokasi paling banyak.

"Hai, Tri. How do you do?" sapa Adji dengan wajah ramah yang dibuat-buat.

Gayatri mengangkat bahu kiri, mencoba bersikap tenang. "All good. Lo gimana? Kemarin baru dari Singapore sama Thailand gue denger-denger." Ia mengambil tempat di depan Adji. "New project?"

"Yah, begitulah. Ada pengembang yang mau kerjasama. Lebih ke investment, sih."

Gayatri mengangguk-angguk kecil. Prama memang berinvestasi di beberapa pengembang Asia Tenggara. Dan kadang-kadang, mereka memboyong beberapa tenant yang ada di Indonesia, saling membantu untuk ekspansi bersama selama mengurus perijinan dan merek waralaba itu belum dimiliki franchisor di negara tersebut. 

Misalnya, Sandwich Queen yang dikelola Ramdan sudah membuka dua gerai di Filipina—di bawah proyek pengembangan Prama di sana. Sementara, Moon Dollar tidak bisa diekspansi atas nama Adhyaksa sebagai franchisor karena hak dagang di sana sudah dimiliki oleh orang lain.

"Mau bikin apa di Thailand? Perumahan?" tanya Gayatri sambil menyilangkan kaki.

"Mall."

"Wow!" Gayatri membelalak pura-pura terkejut. "Bisa dong Adhyaksa masuk."

Adji tampak meringis. "Let's see. Tergantung bid lo sih."

"Oh, bidding banget sekarang?" balas Gayatri dengan alis terangkat. "Gue pikir kayak biasanya."

Adji menggeleng pelan. "Someone  is willing to pay so much more that everyone," jawabnya dengan tenang.

Gayatri dan Adji bertatapan begitu intens. Tantangan semu seolah dilemparkan satu sama lain.

"By someone means... Soeprapto?" Gayatri mendecih. Ia memiringkan kepalanya. Kini, udara terasa begitu dingin. Tekanan atmosfir bertambah berkali-kali lipat saat Gayatri berdeham sambil membetulkan posisi duduknya. "They are willing to pay you that much until you relocate our spot, huh?"

Adji tertawa keras meningkahi tegang yang timbul dari ucapan Gayatri. Tangannya terkibas. "Tri, we've known each other since forever."  Ia menggerak-gerakan tubuhnya. "You know that business always relates to what so call money."

Punggung Gayatri menengang. "But there's also what so call ethics, Dji." Ia menaikan nada. "Kami sudah membayar biaya muka sewa, bukankah seharusnya, kami tetap dapat lokasi yang kami mau?"

Adji mendengkus. "Buat apa gue mempertahankan lokasi buat lo kalau ada yang mau bayar dengan amount yang tetap setiap bulan lalu bagi hasil juga, sih?" Ia menjawab dengan begitu ringan. "Orang bisa beralih, dari Moon Dollar ke Brew Beans, dari belanja alat makeup di BeauteMe ke GlamGlow, dari belanja fesyen di Luxe Moda ke Chic Clique. Nggak ada masalah buat gue sama sekali."

"You know our brands has its own reputation."

"Dan hancur bersama kelakukan-kelakuan kalian yang berantakan." Adji berucap santai. "Mulai dari Mas Darma yang tiba-tiba bikin kasus pencabulan remaja di bawah umur, berlanjut tindak kekerasan, jadi orang ketiga dan menikahi janda."

Gayatri mengepalkan tangan. Amarah menjalar ke ubun-ubun. Adji dan Darma berteman cukup baik. Bahkan, Adji juga akrab dengan Salsa. Bagaimana mungkin sekarang ia bisa berbicara seperti itu soal temannya sendiri?

"Lalu lo... dan segala emosi lo yang membabi buta menghajar Carissa, berujung pada naiknya reputasi Soeprapto dan turunnya reputasi Adhyaksa. Oh, jangan lupa juga, kasus lo dan Aris Ongko—si anak pemilik grup Jangkar itu—yang unfortunately melibatkan Mas Dikta dan kami semua di sini." Adji mengangkat bahu. "Lo nggak tahu betapa kesulitannya kami mengatasi masalah itu mengingat Aris adalah pemilik grup media terbesar di Indonesia."

Napas Gayatri tertahan ketika dosa-dosanya dibacakan begitu rupa. Ia tahu, keadaannya sedang tidak baik-baik saja. Tetapi, diunjuk seperti itu membuatnya benar-benar kesal.

"Kita sama-sama pebisnis. Kalau lo berada di posisi gue, lo tahu kan, harus memihak dan memenangkan yang mana? Perusahaan pembawa masalah atau perusahaan yang sedang naik daun saat ini?"

*

Atri : 
I hate your cuz for real!

Pesan masuk yang datang ke dalam ponsel Dikta menjelang malam ini membuat lelaki itu tertawa. Gayatri sekarang tengah berada di ruangan Adji. Dikta tak tahu apa saja yang tengah mereka bicarakan. Tetapi, membaca pesan Gayatri yang begitu sebal membuat Dikta yakin, pembicaraan itu terasa begitu alot dan Gayatri kini sembunyi-sembunyi mengirim pesan pada Dikta hanya untuk mengumpat.

Dikta :
Aku masih di kantor, lagi di lobi beli kopi bentar. Wanna grab some dinner? Sekalian aku antar kamu pulang? Ruanganku ada di lorong sebelahnya Adji.

Atri :

Oke, aku ke ruanganmu setelah kelar sama Adji. Now, I need to deal with him again.

Dikta terkekeh pelan sambil mengantongi ponsel dengan senyum kecil yang diam-diam mencuri keluar seperti remaja kasmaran. Tepat pada saat yang sama, namanya dipanggil. Mengambil segelas iced americano yang telah disiapkan. 

Dengan segala banjiran fakta yang baru saja dilontarkan Adji, pikirannya serba kacau. Di satu sisi, ada perasaan ringan yang tiba-tiba datang, seolah beban yang dipikulnya hilang. Di sisi lain, Dikta rasa, ia berhutang sejuta permintaan maaf pada Gayatri. Entah dengan apa caranya.

Dikta kemudian melenggang santai ke arah lift. Ia sesekali meyeruput minumannya seraya menunggu pintu lift terbuka. Matanya melirik ke kiri dan ke kanan, sadar bahwa beberapa orang memerhatikan dirinya. Mungkin bertanya-tanya, siapa orang asing yang menunggu lift VIP tersebut.

Kaki Dikta melangkah masuk ke dalam lift. isi kepalanya kini berpikir akan ke restoran mana malam ini bersama Gayatri. Dikta yakin, perempuan ini punya banyak cerita untuk diceritakan nanti—terutama soal Adji.

Ketika mendekat ke arah ruangannya, mata Dikta menatap Rani—sekretarisnya—yang baru saja bertugas tadi pagi. Perempuan itu masih ada di depan ruangan dan duduk di mejanya.

"Belum pulang kamu, Ran?" Dikta berucap cepat. "Balik aja. Nggak ada yang saya butuhin  sekarang, kok. Saya juga lagi nungguin orang."

"Oh, iya, Pak. Itu... ini udah mau pulang, kok." Rani berucap gugup. Ia melirik ke arah pintu ruangan Dikta yang tertutup. "Dan tadi, kayaknya tamu Bapak udah dateng."

Dikta memiringkan kepala. Ia mencoba menghitung sejak dirinya di bawah sampai naik ke atas. Sepertinya, tidak mungkin pembicaraan Gayatri dan Adji secepat itu. Atau mungkin, memang secepat itu?

Dikta mengangguk pelan. "Ya sudah kalau gitu, pulang aja, Ran. Saya bentar lagi juga balik, kok."

Dikta mendorong pintu. Matanya menyipit ketika melihat sesosok perempuan bergaun motif floral di depan matanya.

Perempuan itu bukan Gayatri.

Business UnusualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang