50. You Got This

5.6K 778 53
                                    

"Mas, aku tahu  kamu bisa." Suara Gayatri di ponsel membuat Dikta menarik napas panjang.

Rapat Dewan Direksi akan berlangsung hari ini. Selain membahas proyek tahunan untuk tahun depan, rapat ini juga akan membahas mengenai pengajuan Adji menjadi Direktur Utama. Dan sebelum itu semua terjadi, Dikta harus lebih dahulu membongkar kebusukan yang dilakukan Adji.

Semua dokumen sudah siap. Dikta seharusnya tak ragu. Namun, ia masih saja gugup.

"Aku sudah harus masuk." Dikta berucap pelan pada Gayatri yang masih tersambung di telepon.

"Good luck, Mas. Kick his ass!" ucap Gayatri sebelum ia diam sejenak. "And slap my ass tonight," pungkasnya lalu menutup telepon.

Mata Dikta membelalak. Ia nyaris tersedak ludahnya sendiri. Ia menarik napas panjang-panjang sebelum melangkah ke ruang rapat besar. Matanya melirik kedua orangtuanya berada di antara kerumunan sebagai peserta rapat.

Adji maju ke depan podium. Adik sepupu Dikta itu memberikan laporan tentang apa-apa saja yang sudah dicapai grup Prama selama setahun terakhir. Tentang bagaimana meningkatnya pembangunan dan keuntungan yang mereka dapat.

Selama presentasi itu, Dikta hanya memangku dagu. Laporan ini sudah ia baca sejak kemarin dan tidak ada obyeksi apa-apa atas apa yang Adji sampaikan. Semuanya sama. Toh, memang pada dasarnya, laporan itu tak bisa difabrikasi.

"Lalu, saya akan menjabarkan rencana pembangunan grup Prama di tahun depan." 

Suara Adji membuat punggung Dikta menegak. Ia mulai awas memandang ke arah layar. Adji menyampaikan rencana-rencana pembangunan di berbagai daerah di Indonesia juga feasibility studies terhadap masing-masing proyek.

"Kita sudah mengikat kerjasama dengan grup Soeprapto yang nantinya akan mendapatkan slot di properti-properti ynag kita bangun. Seperti yang kita ketahui, grup Soeprapto punya banyak sekali lini usaha. Harapan saya tentu saja, dengan adanya kontrak eksklusif dengan grup ini, akan ada sinergi bisnis yang terjalin," terang Adji. "Grup Soeprapto juga bersedia membayar uang muka terlebih dahulu bahkan bersedia berinvestasi pada proyek-proyek kita."

Seisi ruangan tiba-tiba menjadi hening sebelum kasak-kusuk terdengar. Dari raut wajah para partisipan, ada yang senang dengan kerjasama ini, namun ada juga yang kaget dan mengerutkan dahi.

Dikta memangku dagu. Ia menunggu reaksi terbentuk sepenuhnya. Membiarkan para partisipan dengan asumsinya masing-masing terlebih dahulu untuk beberapa saat.

Dikta berdeham setelahnya. Ia memandangi Adji dengan sorot tajam. "Bicara soal rencana, boleh saya sedikit saja menunjukan apa yang saya pelajari selama beberapa minggu ini?" tanyanya sambil berdiri.

Wajah Adji mengeras saat Dikta memberikan flashdisk-nya pada operator dan melangkah ke podium. Lelaki itu beringsut ke samping dan duduk di pinggir.

"Beberapa minggu terakhir ini, saya belajar tentang banyak hal. Tentang, perencanaan, laporan dan kerjasama. Ada beberapa hal yang saya temukan. Pertama, saya menemukan bahwa banyak sekali perusahaan dan tenant yang kita relokasi akibat kerjasama dengan Soeprapto ini." Dikta kembali memerhatikan reaksi partisipan rapat. "Saya tahu bahwa secara finansial, kerjasama ini memang menguntungkan. Soeprapto are willing to pay such a big amount. Tetapi, menurut saya, kita punya code of ethics dan integritas yang harus kita jaga."

Wajah Adji terlihat tak senang. "Jangan membawa sentimen pribadi ke dalam ranah personal, Bapak Dikta. Kita semua sama-sama tahu tentang hubungan Anda dengan Adhyaksa."

Dikta menyungging senyum tipis menanggapi Adji. Ia mengangguk-anggukan kepala. "Ya, memang baik saya maupun Pak Suwiryo—ayah saya dan selaku Direktur Utama yang masih sah saat ini—punya kedekatan personal dengan Direktur Utama Adhyaksa." Ia mengangkat bahu kirinya. "Saya nggak tahu soal Pak Adji dan rencananya sudah sejauh apa. Apakah sudah ada perjanjian sah dengan Soeprapto terkait proyek di masa mendatang atau baru omongan di atas angin." 

Business UnusualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang