8. Lose My Mind

7.5K 964 91
                                    

Gayatri berjalan ke lantai dua gedung Adhyaksa dengan cepat lantaran sedikit terlambat. Sore ini, pihak agensi yang berugas dan timnya akan mengadakan rapat perkenalan. Sependeknya yang ia dapat dari Dini, Adhisty baru sempat menghubungi tim agensi itu sekali, selanjutnya, tim tersebut mengirimkan company profile mereka via surel. Hanya itu, karena di hari yang sama Adhisty meninggal.

Sementara Gayatri meminta Dini untuk mengkoordinasi beberapa pekerjaan Adhisty yang harus di-hand over, Gayatri menyerahkan pengaturan pertemuan dengan agensi pada Sela. Toh, Darma yang seharusnya bertemu dengan pihak ini, kan?

Napas Gayatri terhela saat menginjakan kaki di depan pintu ruang rapat. Siapapun mereka, seharusnya, pilihan Adhisty tidak pernah salah.

Perempuan itu mendorong pintu. Orang yang pertama kali ia lihat adalah Doni—manajer pemasaran yang menjadi penanggung jawab campaign tahun ini—dan timnya yang sudah masuk lebih dulu ke ruangan. Lalu, seorang perempuan ber-sweater merah tua dengan rambut disanggul ke atas ala Korea yang sedang hits saat ini. Dan tiba-tiba, Gayatri tertegun.

Matanya bertemu dengan seorang lelaki dengan tubuh tinggi. Sangat tinggi hingga rasanya ia bisa menyamai galah. Sorot mata tajamnya itu masih terasa menembus jantung padahal sudah tahunan waktu berlalu.

"Loh? Atri?"

"Mas Dikta?" Gayatri mengerjapkan mata tak percaya pada sosok yang ia temui di depannya.

Sejenak, mereka sama-sama membeku. Gayatri bersumpah ingin memaki Adhisty sekarang. Apa yang sebenarnya kakak sepupunya ini rencanakan, sih? Apa ini bagian dari prank? Bahkan di saat jasadnya sudah tersebar ke laut bersama ikan-ikan, Adhisty masih bisa mengerjainya? 

 Atau memang, ini semua salah Gayatri yang tidak terlebih dahulu memeriksa profil perusahaan mereka?

Karena sekarang, yang berada di depannya adalah Radikta Kuntara Pramaditya. Iya, tidak salah. Gayatri tidak salah lihat. Dia adalah Dikta yang ia kenal.

Gayatri mengenalnya sejak masih kecil. Mungkin sejak usianya belasan. Anak tunggal keluarga Pramaditya yang malah memilih keluar dari perusahaan. 

Tetapi,lebih dari itu, Dikta bukan sembarang orang. Dikta adalah... mantan pacarnya sendiri.

Oke, secara teknis, tidak tepat kalau disebut mantan pacar. Mungkin, mantan gebetan.

Gayatri diperkenalkan pada Dikta sekitar lima tahun yang lalu. Jelas, pertemuan itu dicanangkan oleh kedua orangtua mereka.

Walau bertema perjodohan, harus Gayatri akui, ia tertarik pada lelaki satu itu. Dia pintar, tampan dan berwibawa. Walaupun satu kurangnya: pelit ngomong.

Dia sangat baik dalam menangani perempuan. Tidak pernah marah satu kali pun, bahkan menaikan nada saja tidak. Tipe cowok pendiam yang mendengarkan apapun yang Gayatri bicarakan.

He was also a good kisser and whatnot. Sebagai anak bawang ingusan yang baru menginjak usia awal dua puluhan, pacaran dengan Dikta yang sudah mau tiga puluh memberikan desiran yang berbeda. He stepped up the game. Period.  Bercinta tak lagi sama setelah Dikta menyentuhnya.

Hingga suatu hari, Gayatri dicampakan begitu saja.

Tidak, tidak salah. Gayatri benar-benar dicampakan! Lelaki itu tiba-tiba menghilang begitu saja. Tidak ada kabar, tidak ada kejelasan apakah ia ingin melanjutkan perojodohan ini? Atau membatalkannya? Walaupun dari sikapnya, jelas condong ke pilihan kedua.

Adhisty saat itu datang sebagai sepupu suportif sekaligus agen inteligen yang lebih canggih daripada FBI. Menyusuri jejak-jejak kecil—yang bahkan kala itu, internet belum semasif sekarang—Adhisty menemukan rumor bahwa Dikta punya pacar yang meninggal akibat bunuh diri setelah tidak direstui oleh keluarga Pramaditya setelah hamil. Bahkan, katanya lagi, pacarnya itu meninggal bersama jabang bayi di dalam perutnya.

It sounds weird. Ceritanya begitu menyeramkan dan menakutkan. Apa benar sampai bunuh diri? Atau semua itu hanya karangan Adhisty agar membuat Gayatri lebih baik?

Gayatri tidak tahu. Sampai hari ini, ia tidak mau tahu. Ia ingin mengubur semuanya di dalam tanah sedalam yang ia bisa.

Pertanyaannya, jika memang perempuan itu sudah meninggal, kenapa Dikta yang sangat terlihat baik itu pergi begitu saja? Ada sejumput keinginan untuk bertanya namun tertahan. Bagaimana, jika jawabannya menyakitkan?

Lagipula, apa Gayatri masih perlu tahu? Setelah lima tahun berlalu begini, apa harus ia membahasnya sekarang?

"Aku pikir, aku akan meeting dengan Darma." Dikta berucap lagi saat Gayatri duduk di kursi. "Soalnya, yang ngirim email PA-nya Darma."

Gayatri tersenyum tipis. "Seharusnya, Darma." Ia berkata pelan. "Tapi, you know what happened to us last week."

"Ah... about that..." Dikta menelan ludah. "I'm sorry for your loss. About Dhisty..."

"That's okay, life must go on, right?"  Gayatri buru-buru mengibaskan tangannya. Perempuan itu menengok ke arah Doni. "Hari ini, Doni yang akan present soal campaign ini mau seperti apa dan kira-kira kita butuh apa aja dari tim-nya Mas Dikta. Excelsior, right?"

Dikta mengangguk. "Oh, ya, cool."

Doni terlihat menyolokan kabel proyektor dan beberapa menit kemudian, ia memulai presentasinya. Sementara Doni menjelaskan, mata Gayatri tak bisa lepas dari sebuah dokumen yang berada di atas meja.

Sebuah dokumen dengan logo pion catur dengan tulisan Excelsior berada di atas meja. Excelsior. Gayatri tahu betul nama tersebut walau hanya sekilas. Excelsior adalah perusahaan yang Dikta bangun sendiri—di luar dari grup Pramaditya.

Untuk Gayatri yang masih berusia di kisaran 24 tahun saat itu, ia merasa, Dikta sangat keren dan dewasa. Keputusan Dikta keluar dari perusahaan keluarganya seperti sebuah aksi epik yang membuat Gayatri juga ingin melakukannya.

Gayatri kagum dengan lelaki itu. He is such an inspiration. Rasanya, Dikta itu... hebat sekali.

Mungkin, perasaan yang ia rasakan dulu, cuma perasaan anak kecil yang kasmaran. Mungkin perasaan yang ia rasakan hanyalah bentuk keinginan untuk membangkang pada Aditya. Atau, entahlah!

Matanya sesekali melirik ke arah Dikta. He is aging like a fine wine. Tubuhnya masih cukup liat dan tegap yang bisa Gayatri yakini merupakan produk latihan otot yang telaten. Bentuk tubuh itu membuat dirinya tampak lebih muda untuk lelaki seusianya. Dikta tidak mengenakan jas formal, melainkan kemeja warna hijau dan celana khaki yang sialnya malah membuat Dikta tak terlihat seperti laki-laki tiga puluhan.

 Wajah Dikta begitu serius. Ia sesekali mencatat pada bukunya. Tangannya tertopang di dagu, memerhatikan dengan seksama. Ekspresi itu membuat Gayatri kembali merasakan kupu-kupu di perutnya. Jantungnya berdebar tak karu-karuan. Ia ingat bagaimana Dikta melakukan hal yang sama pada pembicaraan bodohnya beberapa tahun lalu. Dan bagaimana juga wajah serius itu tampak begitu nyata dalam remang malam yang begitu memikat.

Lagi, Gayatri melihat ke arah sang lelaki sejenak. Ia menghela napas dan berusaha berkonsentrasi pada penjelasan Doni yang sejujurnya sudah ia hapal luar kepala.

Come on, Gayatri! Get a grip! Ia mendesis pelan sambil dalam hati memantrai dirinya sendiri yang mungkin mulai kehilangan akal sehat.

Business UnusualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang