44. Rivalry

4.7K 715 113
                                    

"Someone's back and no one told me? What jokes are we playing right now?" Suara seseorang menyentak konsentrasi Dikta yang sedang mempelajari laporan di atas meja kerjanya.

Selama dua hari ini, Dikta belum berbuat banyak. Alih-alih langsung memimpin, ia memutuskan untuk mengobservasi situasi di lapangan. Mulai dari laporan keuangan sampai progress pengembangan lahan.

Dikta mendongak, mendapati Adji masuk ke dalam ruangannya tanpa permisi dan melenggang begitu saja. Senyumnya lebar, namun palsu.

"Hai, Dji!" sapa Dikta basa-basi lalu kembali mengalihkan pandangan ke tumpukan kertas di depannya.

Adji mengambil tempat duduk di depan Dikta. Matanya tampak bersahabat, namun Dikta tahu semua yang ia tampilkan hanya topeng belaka yang membuatnya muak.

Siapapun tahu, kondisi hubungan kedua ayah mereka tak baik-baik saja. Perebutan kekuasaan pernah terjadi dulu sekali. Dan kini, kedatangan Dikta hanya akan jadi penghalang Adji untuk maju menuntaskan apa yang tertunda.

walau mencoba bersikap baik-baik saja, semua orang tahu, Adji dan Dikta adalah musuh dalam selimut untuk masing-masing. Keduanya memegang belati di punggung, siap menusuk lawannya sewaktu-waktu sambil memasang senyum paling lebar seolah adalah sepupu paling akrab.

"Gue pikir, lo udah fokus di bisnis lo," celoteh Adji masih melanjutkan. Ada nada ejekan dan sindiran yang terdengar. "Kenapa tiba-tiba balik ke sini?"

Dikta tak menjawab. Ia masih membaca-baca laporan yang tampak di depannya.

Menyadari dirinya diabaikan, Adji menghela napas keras-keras. "Sibuk banget ya, lo?" sindirnya lagi. "Ngalahin Dirut, deh!"

Kali ini, Dikta melirik sejenak. Ia meletakan laporannya. "As you may see..." Ia berkata sambil mengangkat bahu. "Banyak yang perlu gue kejar buat jadi Direktur Utama selanjutnya, kan?"

Adji terlihat memasang tatapan permusuhan walaupun masih mempertahankan senyumnya. "Yah, lo kan punya sekian belas tahun ketertinggalan. Gue aja di sini udah mau sepuluh tahun, Mas," balasnya. "That is... a huge gap of years."

Lagi-lagi, kalimat itu bermakna ganda. Tak perlu Sherlock Holmes untuk memecahkan kode-kode dalam kalimat Adji. Dikta sudah bisa membaca setiap arti dari kata-katanya yang terkesan terselubung itu.

"Well, you know I am a fast learner, don't ya?" Dikta mengibaskan tangan. Ia melirik ke arah satu jilid laporan yang teronggok di mejanya. "Oh, speaking of this matter, gue mau nanya dong, ini di pembangunan Prime City Mall dan Perumahan Prima Garden kenapa semua brand jadinya di-cancel dan beberapa spot yang udah ditandatanganin malah dikasih ke Soeprapto, ya?"

Adji memiringkan wajah. "Ya, karena mereka bayar mahal, Mas." Adji tertawa kecil. "Mereka berani bayar lebih dari setiap orang-orang yang sudah booking itu. Bahkan, khusus Adhyaksa, mereka berani bayar dua kalinya dan pinalti untuk pembatalan perjanjian itu."

Dikta mengerutkan dahi. "Seharusnya, kalau sudah tanda tangan, bukannya nggak boleh diganti begitu aja?"

Adji memicingkan matanya. Wajahnya tampak mengejek begitu rupa. "Mas Dikta..." Ia menggeleng. "Kita ini bisnis, bukan sedekah. Kalau ada yang mau bayar lebih, kenapa nggak?"

Tangan Dikta mengepal di bawah meja. Ia menggeleng. "Lo tahu, kan? Biar bagaimanapun, mereka semua tenant. Kalau mereka cabut gimana?"

"They won't." Adji menyilangkan tangan di dada dengan begitu sombong. "Mereka butuh kita."

Dikta menghela napas sambil menggeleng pelan. "Permainan apa yang lagi lo mainkan bareng sama keluarga Soeprapto, Dji?" Ia mendongak. Menatap Adji tak habis pikir.

Business UnusualWhere stories live. Discover now