38. A Decision

5.3K 837 52
                                    

Aku double up. Coba scroll ke atas, kali belum kebaca hehe

Langit yang menguning menandakan mentari mulai terbenam. Biasanya, di jam-jam segini, Gayatri masih hinggap dari kafe ke kafe lain, lalu pulang untuk bersiap pergi ke pesta. Namun, akhir-akhir ini, semua tak lagi sama.

Sejak kejadian dengan Matteo, Gayatri hampir kehilangan seluruh teman-temannya yang lebih memihak Clarissa atau takut dengan imej yang Gayatri bawa—bar-bar dan tak tahu tempat. Hal itu sudah jadi satu masalah mengingat pergi ke pesta sendirian jauh dari kata menyenangkan. Apalagi, ke pesta dengan tatapan sinis dari orang-orang sekitar.

Lalu, sejak Adhisty meninggal, masuk ke kelab atau terlempar ke dalam keramaian tak lagi sama. Ia merasa ada sesuatu yang menghisapnya ke tanah, seolah semuanya berputar. Ditambah  dengan kejadian Aris kemarin, semuanya semakin membuat Gayatri ingin muntah.

Kata Maria, namanya tanda-tanda post-trauma yang memicu psikosomatis. Apapun itu, Gayatri memutuskan untuk menjaga jarak aman dengan keramaian sementara waktu. 

 Gayatri tengah duduk di ruang tengah apartemen Dikta. Pacaran dengan lelaki satu itu membuat jiwa ekstrovertnya teredam. Tetapi, rasanya, lama-lama, Gayatri menikmati waktu sendirinya.

"Aku sudah memutuskan untuk balik ke Prama."

Kalimat itu membuat Gayatri menghentikan aktivitas mengunyah keripik kentang yang sedang ia santap dengan majalah fesyen di pangkuan. Matanya melirik ke arah Dikta. Lelaki itu berjalan dari kamar mandi dengan rambut basah dan langsung melempar tubuh di sofa yang berhadapannya dengannya.

"Jadi apa di sana?" tanya Gayatri menyisikan majalahnya. Ini hal yang penting. Gayatri tidak mau Dikta memutuskannya dengan tergesa.

Dikta mengangkat bahu kirinya. "Belum tahu, maybe, CEO in training?" Ia menjawab asal.

Gayatri tertawa. "Yang bener aja?"

"Well..." Dikta menghela napas. "Papa udah nggak masuk nyaris dua bulan. Sekarang ini, kantor lagi dipegang sama Om-ku dan anaknya."

"Oh, please, nggak tiba-tiba jadi sinetron, kan?"

"Kayaknya bakalan jadi sinetron, deh!" Dikta menghela napas panjang. "Aku yakin bakalan jadi drama yang nggak habis-habis."

Gayatri ikut-ikut mengerang. Ia bersyukur drama di keluarganya tak sepelik orang-orang lain.

"Terus, gimana soal Excelsior?"

"Diakuisisi Salsa." Dikta berucap sembari mengambil tablet di atas meja.

Seketika, Gayatri menganga. "Diapain siapa?"

"Diakuisisi... sama Salsa." Dikta mengulang kalimatnya dengan lebih pelan.

Gayatri menggelengkan kepala. Ia menatap keheranan. "Kok bisa? Hah? Gimana?" Nadanya naik. Ia masih tidak mepercayai pendengarannya. Bagaimana mungkin?

Senyum lembut penuh rahasia terkembang pada wajah Dikta. Dan sialnya, senyum itu tak bisa menjawab pertanyaan Gayatri sama sekali. 

"Iya, diakusisi aja sama Salsa. Makanya, kamu lihat nggak muka Darma kemarin pas kamu nyusul aku di Kopi Kana?" Dikta mengeluarkan tawa mengejek. "Mukanya pucat banget. Finger crossed mereka nggak berantem habis selesai dari sana."

"Udah fix?" Gayatri masih mengerjapkan mata.

"Salsa sudah tanda tangan, jadi sudah fix, paten, nggak bisa dibongkar-bongkar bahkan kalau Darma nggak setuju!" kata Dikta yakin.

Gayatri tidak mengerti. Ia terlihat linglung. "Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Di antara semua orang, kenapa harus Mbak Salsa?" Gayatri mendongak. Menatap Dikta tepat di matanya. Banyak orang yang terlibat dalam industri satu itu. Kenapa Dikta memilih Salsa?

Business UnusualWhere stories live. Discover now