15. Can You?

5.7K 697 10
                                    

Hari-hari Gayatri berjalan tak lebih indah dari yang kemarin-kemarin. Masih sama saja. Ia masih berulang kali berpikir bahwa Adhisty masih hidup. Ia masih sibuk dengan segala urusan pekerjaan. Ia masih direpoti dengan segala keinginan orangtuanya untuk menjodohkan dirinya dengan alasan usianya yang sudah mau menginjak tiga puluh dan embel-embel, "Nanti, kalau kamu udah bener-bener kepala tiga, nggak ada yang mau loh!"

Persetan! Gayatri juga tidak peduli. Gayatri memang cepat jatuh cinta. Ia memang bodoh kalau masalah percintaan  karena acap kali jatuh terlalu dalam kalau sudah mencintai seseorang. Tetapi, bukan artinya ia jadi perempuan yang dikejar umur.

Isi kepalanya sudah tersita untuk hal lain. Selama beberapa hari, Gayatri pontang-panting mempelajari laporan anak perusahaan di bawah Adhisty, mempelajari hal-hal yang selama ini dikerjakan Darma, dan juga mengerjakan pekerjaan lainnya.

Seperti kata pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati. Walaupun tidak terlalu nyambung, Gayatri rasa, lebih baik ia mencegah untuk terjatuh lagi dengan menghindar dari segala lelaki daripada malah berujung dirinya yang berubah menjadi bodoh.

Jadi, sekarang, yang ia butuhkan hanya satu: mengenyahkan semua laki-laki yang berusaha dijodohkan dan tidak bermain api untuk mendekat dengan laki-laki manapun. Or else, she will fall again.

Dan itu termasuk, Dikta dan Aris.

Kalau Aris, ia jelas menghindar. Walau lelaki itu mengirimkan pesan bertubi-tubi, Gayatri sebisa mungkin membalasnya dengan singkat.

Sementara soal Dikta, tidak ada komunikasi apapun yang Dikta kirimkan pasca pertemuan itu.  Kalau dipikir-pikir, mereka cuma teman, kan? Buat apa berkomunikasi dan saling mengirim pesan setiap hari?

Ah, sudahlah! Gayatri tak ingin memikirkannya karena ada yang lebih besar di depan mata.

Pagi ini, Gayatri menggelengkan kepala saat melihat ke arah laporan yang Doni berikan. Matanya memicing dengan dahi berkerut.

"Ini apa-apaan, Doni?" Nada Gayatri naik.

Satu minggu setelah pertemuannya kemarin dengan Dikta, Doni baru sekarang menjelaskan deck yang diajukan tim Excelsior kepadanya. 

"Kamu tahu, kan? This ideas... it does not suit our brands at all!" Gayatri membanting dokumen yang ia baca. "Kamu gila, ya?"

Doni menunduk. Ia terlihat takut. Sepertinya dalam hati, mungkin, Doni merutuk kenapa para Adhyaksa ini kalau sudah marah seperti orang kesetanan—baik itu Darma dan kini Gayatri.

"Ini siapa yang salah? Kamu memangnya nggak baca brief yang dibuat Pak Darma?" Gayatri menaikan nada. "Saya rasa kamu ikut bersama-sama di rapat dengan Pak Darma sebelum dia absen kemarin." Gayatri mengambil napas.

Doni tak bisa mengelak. Ia sadar bahwa apa yang berada di dokumen itu tak sesuai. Wajar jika Gayatri marah. Kalau yang dihadapannya Darma, mungkin, pria satu itu akan melemparinya dengan gelas yang ada di meja—literally.

"Berapa lama kamu kerja di sini, Don?" tanya Gayatri lagi.

Doni menelan ludah. "Sudah empat tahun, Bu."

"Empat tahun. Selama empat tahun, kamu nggak paham brand image perusahaan dan brand di bawah Adhyaksa seperti apa?" tanya Gayatri dengan nada tinggi. "Kamu masa nggak tahu target pasar kita seperti apa?"

Gayatri memijat pelipis. Ia tak habis pikir dengan anak buahnya yang satu itu.

"Sebelum kamu buat promosi, kamu harusnya tahu produk kita seperti apa, harga yang kita patok sampai tempat kita menjual produk. Jelas-jelas brand di bawah Adhyaksa itu brand internasional berharga jutaan yang dijual di mall kelas menengah atas," omel Gayatri dengan kesal. "Masa communication dan story telling-nya ngebahas tokoh berstatus middle to low yang kemudian dapat berkah dan bisa beli produk kita karena lagi diskon. Kamu gila? Kalau pun ini salah dari agensinya, kamu seharusnya bisa langsung cut dong! Itu kan tugasmu di sini!"

Business UnusualWhere stories live. Discover now