48. Checkmate

4.1K 568 34
                                    

Dikta menyilangkan tangan di dada ketika mendengar laporan tim khusus yang menjadi auditor internal dalam kasus Adji. Lelaki itu menghela napas pelan. Semua yang ia khawatirkan dan asumsikan menjadi kenyataan tanpa meleset sedikit pun.

Proyek yang dibangun di Bangkok dan Singapura mengatas namakan Prama sebagai penanggung jawab dan pemilik proyek. Kendati demikian, uang yang digelontorkan bukan berasal dari perusahaan. Tercatat uang yang masuk dan dikirimkan berasal dari rekening pribadi Adji. Ketika menilik rekening Adji, tampak sejumlah uang yang tidak tahu berasal dari mana. Sebagian uang itu yang kemudian dikirimkan ke rekanan yang berada di Bangkok dan Singapura.

Adji menyalah gunakan wewenang. Menggunakan atribut Prama padahal bukan proyek terdaftar. Dan ini bisa berbahaya. Kalau suatu waktu ada tim penyidik, perusahaan Prama berada dalam bahaya.

"Reza, kamu sudah hubungi Mr Chew dari Singapura dan Mr Prima dari Bangkok terkait ini semua?" tanya Dikta pada Reza, salah satu bagian tim khusus tersebut.

"Sudah, Pak. Sepertinya, mereka juga tidak tahu soal ini." ucap Reza cepat.

Dikta menghembuskan napas keras-keras. Ia mengambil surat perjanjian kerja sama yang sudah tertera tanda tangan Adji. Kalau sudah seperti ini, mereka tidak mungkin mundur, tetapi, maju pun terasa sulit.

"Mikhael, kamu coba pastikan lagi feasibility studies-nya, apakah layak atau tidak untuk dilanjutkan. Kalau ya, coba buat hitung-hitungannya dan saya mau kamu sudah selesai besok supaya bisa saya godok di rapat besok."

Mikhael mengangguk dengan cepat. Ia mencatat instruksi Dikta di agendanya.

"Donna, kamu bisa cek legalitas surat dan dokumennya? Saya mau memastikan semuanya legal secara hukum kalau memang kita harus tetap maju," perintah Dikta. "Adi, kamu bisa coba pikirkan kemungkinan pembatalan kerjasama ini dari sisi legal dan kerugian finansial? Semuanya saya minta besok sore, ya."

Donna dan Adi saling bertatapan kemudian mengangguk patuh. 

"Kalau begitu kita akhiri dulu pertemuan kali ini, terima kasih semuanya bisa kembali." Dikta menutup rapat kecilnya itu. Ia menghela napas tatkala satu-satu dari peserta rapat keluar dari ruangan. 

Dikta merunduk dan meletakan dahi pada tangan. Napasnya memburu.

Dikta sejak awal paling benci keributan atau mengurusi hal-hal semacam ini. Ia lebih suka kabur, pergi, seperti kebiasaannya. Berlindung dibalik Excelsior jauh lebih baik daripada menghadapi semua kebusukan di sini.

Ia tahu, sejak awal, ia cuma pion. Ayahnya butuh penerus, Aditya butuh orang dalam untuk tetap mempertahankan Adhyaksa, dan dirinya sendiri memutuskan untuk terjun karena ingin mendapatkan Gayatri. Demi Gayatri.

Surat penandatanganan dari Adhyaksa telah ditandatangani Aditya. Jika semua bukti soal Adji terkumpul, Dikta tinggal maju di rapat dewan direksi minggu depan.

"Radikta! Apa yang kamu lakukan, hah?"

Suara melengking dari arah pintu membuat Dikta mendongak. Dari pintu, ia melihat seorang wanita paruh baya dengan gaun biru tua yang masuk ke dalam ruangannya. Suara hak tingginya terdengar begitu menyebalkan saat menghentak lantai marmer.

Dikta memutar bola mata. Ia melirik ke arah Rani yang terlihat takut-takut di ambang pintu. Lelaki itu memiringkan kepala, mengisyaratkan Rani untuk menutup pintu.

"Ada apa sih, Ma?" tanya Dikta sambil berkata dengan nada sebal.

"Dua hari lalu, Mama suruh Carissa ke tempatmu, terus kamu usir begitu saja karena ada Gayatri?" Nelly berucap dengan dramatis. "Kamu gila?"

Dikta menghela napas keras-keras. Oh, jelas ini tentang Carissa.

"Rapat Dewan Direksi akan dilaksanakan minggu depan Dikta. Minggu depan!" Nelly memijat pelipis. "Kamu tahu apa saja yang sudah Adji lakukan? Kamu seharusnya cari cara untuk bisa mengalahkan Adji! Mama sudah buka kesempatan! Apalagi Carissa maunya kamu—"

"—Her aim is to hurt Gayatri, not to get me." Dikta memotong. "She just a jealous envious bitch who wants to take what Gayatri has."

"Dan kamu bisa manfaatkan itu!"

"Manfaatkan?" Dikta menautkan alis tidak mengerti.

"Carissa mau menghancurkan Gayatri, katamu? Ya, kan? Kalau begitu, kamu turuti kemauannya, sebagai gantinya, dia turuti kemauan kamu," papar Nelly.

"Are you crazy, Mother?" Dikta menggelengkan kepala. "I will never ever hurt Gayatri."

"Lalu kamu mau membiarkan Adji menjadi Direktur Utama? Dia berhasil mengikat beberapa kerja sama dengan Soeprapto! Kamu harus bertindak, Dikta!" Nelly menaikan nada. Dari bicaranya, Nelly tampak begitu ketakutan.

"Mama tahu kalau apapun yang Adji rencanakan, semuanya ilegal?" tanya Dikta.

"Ilegal atau tidak, itu nggak penting, Dikta. Soeprapto berani mengucurkan uang dan—"

"—Aku tahu apa yang Adji lakukan. Dan itu semua merugikan perusahaan," Dikta memotong.

"Merugikan atau tidak, ilegal atau tidak, dia bisa mengambil hati Dewan Direksi, Dikta. Itu yang lebih penting daripada kamu berkutat dengan menjadi pahlawan kesiangan," bantah Nelly.

Dikta mengambil napas. Ia menatap ibunya tajam. "Mama mau aku jadi Direktur Utama atau menikah dengan Carissa dan melakukan bisnis ilegal?" tanyanya cepat.

"Tentu jadi Direktur Utama. Kalau nggak, buat apa Mama betah berlama-lama dengan anak ingusan atau keluarga mereka yang aneh itu," jawab Nelly bahkan tanpa harus berpikir sama sekali. "Kamu yang berhak atas perusahaan ini. Perusahaan ini milik Papamu. Jangan sampai Om atau sepupumu mengambil alih. Kamu tahu sesusah apa Papamu memertahankan perusahaan ini."

Dikta memejamkan mata untuk mengatur napas. Pada akhirnya, semua yang ibunya pikirkan adalah uang. Dengan jatuhnya perusahaan ke tangan Adji, maka tamatlah sudah semuanya. Dikta tahu, dikta sangat tahu.

Sejujurnya, jika bukan karena Gayatri, Dikta tak peduli dengan perusahaan ini atau uang ayahnya. Ia bisa cukup hidup bahkan berlebih dengan mengandalkan perusahaan lamanya. Ia juga bisa hidup dengan uang pembagian hasil yang ia dapatkan dari merger Excelsior dan Kreasa.

"Kalau begitu. Nggak ada yang perlu Mama khawatirkan." Dikta berkata pada akhirnya.

"Dikta!"

Kepala Dikta menggeleng perlahan. "Mama dan aku punya tujuan yang sama. Jadi, buat apa Mama terus menerus menekan aku?"

"Mama tahu kita punya tujuan yang sama, dan Mama nggak menekan. Mama memberikan solusi." Nelly bersikeras.

"Solusi yang tidak membantu sama sekali," sergah Dikta. "Lebih baik, Mama pikirkan hal lain yang lebih berguna daripada ngurusin hidupku."

Nelly mengeratkan pegangan pada tasnya. "Kamu mengecewakan, Dikta."

"Mama belum tahu hasilnya, nggak perlu ngatain aku kayak gitu," balas Dikta menantang. "I know what I am doing."

"Benarkah?" tanya Nelly dengan sebal. "Terakhir kamu bilang seperti ini, kamu berakhir dengan menggenaskan dengan segala kesusahan yang kamu lalui, bukan?"

Dikta mengulum bibir. Ia mengambil napas panjang. "And I learn from it," pungkas Dikta. "Keledai nggak jatuh untuk keuda kalinya, Mama tenang aja."

Suasana ruangan begitu mencekam. Dikta mengambil dokumen dari dalam laci mejanya. Ia masih harus memeriksa dan meninjau ulang perencanaan proyek-proyek yang akan berjalan. Juga, menyelidiki proyek ilegal yang akan dijalankan Adji. Mengurusi masalah sang ibu dan obsesinya bukan prioritas Dikta saat ini.

"Aku masih ada banyak pekerjaan, Mama bisa keluar dari ruangan. You know where the exit door is."

Business UnusualWhere stories live. Discover now