33. My Battle

4.5K 742 29
                                    

Dikta tersenyum lebar ketika Gayatri membuka pintu apartemen. Tadi sore, secara tiba-tiba, Gayatri mengajaknya bertemu untuk makan malam seusai jam kantor. Untung saja, hari ini, Dikta tak ada lembur yang mendesak sehingga bisa bertemu dengan kekasihnya itu. Walau rasanya, hari ini terlampau aneh karena Gayatri jarang sekali lowong di hari kerja.

"Kamu mau makan apa?" tanya Gayatri tepat ketika Dikta memasuki apartemen tersebut.

"Aku udah makan," jawab Dikta sambil duduk di sofa ruang tengah. Ia meneliti Gayatri. Wajah lelah Gayatri tampak memenuhi ruang pandang Dikta. Dikta hanya bisa memandangi wajah itu sambil berharap bisa sedikit meringankan masalah yang dihadapi sang puan. Kendati demikian, ia tidak bisa mencampuri urusan perusahaan Adhyaksa sama sekali.

Sesaat, kalimat demi kalimat menusuk dari Aditya merasuk di benak Dikta. Bagaimana kalau ternyata ia tidak mampu? Bagaimana kalau suatu hari, Gayatri akan meninggalkannya karena perempuan ini sadar bahwa level Dikta tanpa embel-ember grup Prama jauh di bawah Adhyaksa?

Ia menghempaskan jauh-jauh pikiran itu. Biar bagaimanapun, ia harus memenangkan pertarungan ini.

"You seems to be in trouble. Ada masalah?" tanya Dikta lembut. "Sini." Ia mengulurkan tangan lalu menarik Gayatri untuk duduk di sebelahnya. Lengannya terulur untuk merangkul dan memeluk tubuh kekasihnya. "Ada apa?"

Gayatri diam. Ia meniup-niup poninya sejenak. Terlihat berpikir. "Kamu janji nggak marah?"

Dikta mengerutkan dahi. "Ada apa?"

"Janji dulu!"

Dikta memiringkan kepala. "Aku nggak bisa janji untuk itu, Tri."

"Mas Dikta!" Gayatri merajuk. Ia memukul dada lelaki itu, berencana melepas pelukan Dikta, namun tangan Dikta lebih kuat menahan.

"Kamu kenapa? Ada apa?" tanya Dikta lagi. Nadanya masih lembut. "Kamu bikin salah?"

Gayatri menggeleng. "Nggak."

"Terus kenapa kamu takut aku marah?"

Gayatri mengambil napas. Ia mengerang kecil. "Tadi, Matteo datang ke kantorku."

"Oke, lalu?"

"Dia minta balikan," jawab Gayatri tertahan.

"Oke, lalu?"

Gayatri mengangkat alis. Ia menatap Dikta dengan pandangan aneh. Seolah-olah, ada yang salah pada wajah lelaki itu.

"What?" Dikta membalas dengan sama bingungnya.

"Kamu nggak marah?" Gayatri bertanya dengan nada khawatir. Ia sudah siap jika Dikta mengamuk. Tetapi, wajah Dikta tetap tenang tak terganggu.

Lelaki itu mengambil napas. "Kamu nggak nge-okein permintaan balikan dia, kan?"

"Ya, nggak lah!"

"Ya sudah, ngapain harus marah?" Dikta tertawa dengan ringan. Ia menggelengkan kepalanya. "Kamu aneh deh, Tri."

"Kok aneh?"

"Ya, kamu nggak ada apa-apa sama Matteo. Ngapain aku marah? Buang-buang energi, tahu!" Ia menangkup dua pipi Gayatri lalu menjawil pipi itu pelan. "Aku percaya kamu, kok."

Kini, Gayatri jadi salah tingkah. Ia menepis tangan Dikta, mengalihkan pandangannya ke arah lain dengan wajah malu-malu.

"Sudah? Kamu manggil aku ke sini cuma buat ngomong kalau Matteo ke tempatmu dan ngajak balikan? Kamu bisa kasih tahu aku by chat, Gayatri." Dikta terkekeh. "Kecuali kalau kamu cuma mau modus, aja!"

Gayatri menepuk pundak Dikta sebal. "Aku tuh bener-bener takut kamu marah, tahu!" 

Please, jangan bilang kamu takut aku marah kalau kamu cuma nyampein via chat, deh!" Dikta mengejek. "Aku percaya kamu, dan aku malas untuk bersikap kekanakan dengan marah-marah kayak gitu."

Business UnusualUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum