37. The Takeover

4.7K 755 54
                                    

Dikta menyesap minuman di depannya sambil melirik Darma yang berada di depannya. Sore ini, si sulung Adhyaksa itu mengajaknya coffee meeting di salah satu kedai kopi artisan di daerah Senopati. Dikta bukan pecinta kopi, ia bahkan punya asam lambung akut yang membuatnya tak bisa mengonsumsi kafein dan harus berakhir pada decaf atau non-coffee. Tetapi, demi semua hal yang bisa ia capai, Dikta sadar, diplomasi adalah hal yang paling penting.

Daripada meeting, mereka lebih terdengar seperti mengobrol ngalor ngidul. Tentang ekonomi dunia, mengerucut ke ekonomi nasional dan kemudian ke keadaan orang-orang yang mereka sama-sama kenal. Tentang bisnis keluarga A yang tengah morat-marit, atau keluarga B yang sedang jaya-jayanya.

"Kalau Excelsior nanganin Adhyaksa dengan retainer based, kalian ready, nggak?"

Kalimat itu membuat Dikta menarik napas. Ia sudah mendengar isunya dari Gayatri yang tiba-tiba asal nyeplos sembarangan. Tetapi, buat Dikta, ia tidak mau meletakan harapannya terlalu tinggi.

Dikta mendesah keras. "Sebenarnya bisa, tapi, Excelsior sedang dalam masa peralihan."

"Peralihan?"

Dikta memicing. Ia menatap Darma yang sekarang tampak seperti orang dungu. Apakah Darma pura-pura tidak tahu, atau benar-benar tidak tahu?

"Merger dengan Kreasa," jawab Dikta. Ia menatap Darma tepat di matanya. "Salsa nggak kasih tahu?"

Darma terlihat aneh. Ia tampak datar. Perangai dan tingkahnya tak bisa terbaca dengan mudah.

Kreasa adalah nama agensi yang baru dibangun Salsa. Agensi humas yang mengendalikan seluruh publisitas personal Adhyaksa. Agensi humas yang juga sesekali membantu dalam kegiatan di beberapa peluncuran produk  baru Adhyaksa dalam skala yang tak begitu besar.

Dikta sengaja mendekati Salsa kemarin tepat ketika cuti melahirkannya berakhir. Ia ingin menitipkan Excelsior pada Kreasa karena setelah ini, ia mungkin akan masuk kembali ke dalam perusahaan Prama.

Senyum yang tiba-tiba terulas dari bibir Darma menandakan bahwa lelaki itu sudah tahu. Ia menghela napas pelan. "Kenapa tiba-tiba?" tanya Darma akhirnya.

Dikta mendecih tipis. Obrolan ngalor ngidul itu akhirnya sampai pada topik yang seharusnya.

"Lo mau jawaban tipe apa?" balas Dikta pura-pura bercanda.

Darma mengangkat bahu. "Apa aja."

"Professionally speaking, gue merasa akan lebih baik kalau Excelsior merger dengan Kreasa. Dari awal, gue denger, Salsa lagi mau ngegedein Kreasa. Ngebuat agensinya nggak cuma pegang Adhyaksa aja. Dia mau bikin tim yang nggak cuma nge-handle imej tapi juga bisa mencari orang-orang yang bikin strategi untuk men-generate penjualan. Lebih ke business strategy consultant, yang menggunakan otak kiri dan logika hitung-hitungannya." Dikta menjabarkan dengan santai. "Sementara, Excelsior nggak punya banyak orang kreatif. Lo lihat sendiri cara  kerja kami. That's our strength but also weakness at the same time. Campaign kita nggak se-warna-warni orang lain. We are more likely to make it more hard selling and aim for sales, not image. Yang penting jualan."

Darma mengangguk. Sejak awal, tone Excelsior memang berbeda dengan agensi kebanyakan. tingkat kreativitasnya kurang, tetapi, prediksi penjualannya tajam.

"Excelsior berfokus ke pemasaran yang menghasilkan sales, Kreasa ke image and branding. Menyatukan keduanya akan membuat orang-orang bisa langsung mendapatkan keduanya," pungkas Dikta.

"Lo bisa kerja sama, nggak perlu sampai minta diakuisisi segala." Darma mengucapkan bantahan. 

Dikta tak bisa menilai apakah Darma keberatan dengan akuisisi itu atau tidak. Secara struktur organisasi, Salsa memang memegang penuh Kreasa tetapi Darma secara pribadi bertindak sebagai investor. Jadi, Dikta harus berhati-hati dalam berbicara saat ini, juga memberikan argumen kuat kenapa Excelsior harus diakuisisi.

Business UnusualWhere stories live. Discover now