30. Can I Put My Hope on You?

5.7K 801 35
                                    

Gayatri memposisikan diri dalam pelukan Dikta malam ini. Lelaki itu tampak aneh. Seusai menjemputnya di depan rumah Maria, wajahnya tampak mengeras dengan kelakuan yang terlihat begitu gamang. Gayatri tak tahu, Dikta memang aneh atau justru, dirinya yang aneh setelah dapat wejangan seperti itu dari saudara-saudaranya?

Setiap kalimat yang dilontarkan Ramdan dan Darma membuat Gayatri tak bisa tenang. Ia jadi kadung curiga dan was-was. Bahkan seks malam ini tak bisa mengobati gelisah yang tak berkesudahan.

Kesulitan dalam memejamkan mata memang sudah jadi makanan Gayatri sehari-hari. Insomnia bukan teman baru dalam hidupnya. Tetapi, ia dan kebiasaan buruknya itu sudah tak bersama sejak lama. Gayatri lupa, kapan terakhir ia sulit tidur karena gelisah tak berkesudahan. Kebiasasan yang kemudian ia pecahkan dengan dua solusi; minum obat tidur atau ia lampiaskan dengan melanjutkan pekerjaannya tanpa henti. 

Sepertinya, setelah bertemu Dikta, hidupnya mulai berangsur-angsur membaik. Bersama Dikta membuatnya lebih mudah tidur, dalam pelukan Dikta terasa terlalu nyaman. Ditambah sesi konselingnya dengan Maria membuat semuanya jadi lebih baik.

Lihat, bukan? Lihat bagaimana Dikta bisa membawa Gayatri menjadi pribadi yang lebih baik? Kenapa saudara-saudaranya itu malah menghakimi begitu? 

Lagipula, pernikahan masih lama untuk dijalani. Dikta sepertinya belum bertemu Aditya, belum juga menemui keluarganya, semuanya masih belum jelas. Dan kalau dipikir-pikir, omongan Dikta tadi pagi jadi seperti pepesan kosong. Belum ada yang dipersiapkan, kenapa Gayatri harus sekalut ini? Dan kenapa saudara-saudaranya seprotektif itu?

Semakin dpikir, semakin Gayatri sama sekali tak bisa terlelap, ia jadi khawatir. Semua masih pada tempatnya, kenapa ia merasa seperti tak memijak tanah? Apa karena ... ia takut?

"Baby, kamu masih belum tidur?" Dikta berucap serak ketika menyadari Gayatri masih menggeliat di dalam dekapannya.

Gayatri mendongak. Menatap Dikta yang masih mengucek mata. Kelopak itu membuka sedikit, menatap Gayatri yang berada di dadanya.

"Kamu kenapa?" tanya Dikta lagi. Ia mengambil napas sebelum mata itu terbuka seutuhnya. "Ada masalah?"

Mulut Gayatri tak menjawab. Sebagai gantinya, ia membenamkan wajah dalam dada Dikta. Tangannya melingkar di tubuh sang tuan, mendekapnya kian erat. "Nggak apa-apa, Mas. I'm okay."

"Unfortunately ... No, you are not." Walau dipeluk Gayatri terasa begitu menyenangkan, Dikta mau tak mau melerai pelukan tersebut. Ia tahu kebiasaan Gayatri untuk kabur dari masalah. Pelukan seperti ini, salah satunya.

Kadang, ciuman. Kadang, seks. Dikta seperti butuh kekuatan super untuk mengetahui jika afeksi dan sentuhan fisik yang Gayatri lancarkan benar-benar tulus atau hanya untuk lari dari masalah.

"Tadi, aku sudah ngeladenin seks pelarianmu itu ya, Tri," ucap Dikta yang membuat Gayatri kelu. "Not that I'm griping, but seeing you with those misty, sorrowful eyes while moaning my name didn't sit right with me. And just when I hoped they'd vanish, they kept lingering in your gaze on me."

Gayatri menghela napas. Berbohong di hadapan Dikta terasa percuma.

"So, tell me, what's wrong?" Dikta memberi sedikit jarak. Tangannya bermain-main di puncak kepala Gayatri. "You seems so bothered."

Gayatri menengok ke arah langit-langit. "Why do you love me?"

"Huh?"

"What love means?" Gayatri mengganti pertanyaannya. "How do you know that you are in love?"

Dikta mengulum bibir, ia memutar tubuh menyamping, mengangkat kepala dan menopangnya di siku. "Kamu lagi kenapa?" tanyanya sambil menyisikan rambut-rambut Gayatri ke belakang telinga.

"Nggak tahu, aku... bingung."

"Are you in doubt, Baby?"

Gayatri menelan ludah. Dikta membacanya seperti sebuah buku yang terbuka.

Dikta tertawa kecil lalu menyungging senyum lembut. Ia terlihat berpikir sejenak. "Oke, biar aku coba jawab pertanyaanmu. Mungkin, kalau aku jawab, kamu bisa tidur." Ia mengambil napas. "What love means?  Love is a feeling, a deep sensation you hold for certain souls. You yearn for nothing but the best for them, always wishing to bring them joy, paint smiles on their faces, and let them feel every emotion coursing through your heart. That's why love involves actively demonstrating care, kindness, and affection towards others through our actions and behaviors."  

Gayatri tercekat. Ia tak sanggup membalas Dikta.

"Do I love you? Yes. How do I know? Well, selain kamu yang ada di kepalaku setiap saat, aku mau semua yang terbaik buat kamu, jadi versi terbaik buat diriku sendiri, berjuang mendapatkan kamu seutuhnya dan ... mencari cara bagaimana agar aku bisa membahagiakan kamu." Dikta menarik napas. "Apa kamu nggak merasakan apa yang aku perjuangkan? Apa aku kurang?"

Kepala Gayatri menggeleng. Tidak. Seharusnya, tidak. Atau, ia tidak tahu.

"Dan apa pertanyaanmu tadi yang ketiga? Oh, alasan aku mencintai kamu." Dikta mengambil napas. "Selain karena kamu cantiklike goddamn, you are all men's wet dream—aku merasa bersama kamu, aku nggak perlu jadi orang lain. Aku bisa jadi diriku sendiri."

Kepala Gayatri seperti terhantam batu ketika mendengar ucapan Dikta. Menjadi diri sendiri.

"Aku nggak harus berpura-pura memasang tameng di depan kamu. Aku bisa jadi aku, jadi Radikta Kuntara Pramaditya yang nggak diketahui banyak orang. Misal, kamu selalu bilang, tanggapanku aneh dan kadang nggak pakai otak. Well, di setiap kesempatan, aku harus mengkalkulasi setiap tindakanku, tapi ketika bersama kamu..." Dikta menggeleng. "I could be just simple plain me, yang melakukan sesuatu nggak harus pakai mikir berkali-kali. Aku bisa melontarkan apapun di kepalaku and you won't find me weird."

"I find you weird!"

"But, you stay. You accept me." Dikta membalas. "Unconditionally."

Gayatri menelan ludah.

"Kamu tetap bersamaku, biarpun aku aneh. Dan kamu tetap di sini bukan karena keuntungan apapun, you just here, cause you love me, and I love you. See?" jabar Dikta. 

"That's it?" Gayatri menyatukan alis. "I mean, bukan mengecilkan alasanmu, tapi, kamu mencintai aku karena kamu merasa bisa jadi diri kamu sendiri."

"Uhum," angguk Dikta. "Buatku, itu hal paling penting. Aku bisa jadi diriku sendiri dan kamu bisa merimaku sebagai diriku sendiri. Dan itu berlaku sebaliknya. Menurutku, itu sudah lebih dari cukup. Aku nggak butuh uangmu, hartamu, bahkan, biarpun aku bilang kamu cantik dan aku suka kecantikanmu, tapi... kalau nanti kamu ubanan, berkerut dan jadi nenek-nenek peyot sekalipun, aku tetap mencintai kamu."

"Sekalipun aku bukan seorang Adhyaksa?" ucap Gayatri lirih.

Kalimat itu menyentak Dikta untuk sesaat. Ia mengerutkan dahi. Merasa ada yang janggal namun kemudian tersenyum lembut dan menggeleng pelan. "Kamu tahu apa yang paling cantik dari Seorang Gayatri Adhyaksa Putri?"

"Kaki? Semua orang bilang kakiku bagus." Gayatri asal bicara.

Dikta tertawa. "Hatinya. Yang paling cantik dari seorang Gayatri Adhyaksa putri adalah hatinya. Bukan posisi, titel atau nama belakangnya. Aku jauh lebih terpesona dengan karaktermu, dengan pembawaanmu, dengan apa yang ada di dalammu."

Gayatri menelan ludah. Setiap kalimat Dikta membuat jantungnya berdegup kencang tetapi menenangkannya, membuat nyaman.

"Ada lagi yang mau kamu tanyain?" Dikta bertanya lembut.

Gayatri menggeleng. Ia memeluk Dikta sekali lagi. Kali ini, Dikta tak mengurai pelukan kekasihnya. Ia tahu, ini pelukan tenang.

"Then you should sleep, besok kamu ada meeting pagi, kan?"

Gayatri mengangguk sambil memejamkan mata. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi, ia boleh berharap, kan?

Business UnusualWhere stories live. Discover now