10. Dig My Own Grave

7.3K 994 62
                                    

Gayatri menepuk-nepuk pipinya sendiri. Pertemuan minggu lalu dengan Dikta masih membuatnya jantungan sampai hari ini. Berusaha mati-matian untuk menjaga mimik muka dan ekspresinya, ia berhasil melewati dua jam rapat itu dengan baik. Sialnya, walau fisiknya bisa mengikuti rapat dengan baik, isi kepalanya masih terpatri di sana, diam tak bergerak.

Sebenarnya, kesempatan Gayatri untuk bertemu lagi dengan Dikta nyaris nihil. Walau ia yang mengkomando campaign, semua pekerjaan diserahkan pada Doni. Begitupula dari pihak Dikta, yang mengerjakan dan tektok-an langsung dengan pihak Adhyaksa adalah Novi, Account Executive mereka.

Seharusnya, Gayatri tidak akan bertemu lagi dengan Dikta. Ia hanya perlu menyampaikannya pada Doni. Ia juga tinggal menerima laporan dari anak buahnya itu. 

Kalau pun Dikta dan Gayatri harus bertemu,  pertemuan itu akan hanya sebatas ketika memonitor beberapa aspek penting atau jika ada sesuatu yang genting yang perlu diselesaikan.

Tetapi, walau sudah mengetahui fakta itu, kenapa rasanya Gayatri tetap berdebar? Sudah lima tahun berlalu, seharusnya, ia bisa mengenyahkan Dikta dari pikirannya, kan? Kenapa ia masih merasa ada yang mengganjal? Apa karena Dikta pergi tanpa alasan? Atau, kenapa? 

Ia melirik ke arah ponselnya. Di layar, tampak pesan singkatnya pada aplikasi BBM yang bertuliskan, "We need to talk!" tetapi sampai detik ini, belum terbalas padahal sudah setengah jam berlalu.

Gayatri berdiri. Ia keluar dari ruangan. Kakinya dengan cepat melangkah ke ruangan seberangnya dan membuka knop pintu. Ketika membuka ruangan itu, ia terdiam. Napasnya berubah pendek-pendek. Sesak menghadang. Ia memejamkan mata sementara ponselnya masih menunjukan pesan yang tak terbalas.

Ruangan itu kosong dan pengap—dan itu yang membuat Gayatri semakin sesak. Ruangan itu, milik Adhisty dan kakak sepupu yang selalu jadi sahabat ceritanya itu sudah tiada.

Matanya memanas dan berembun. Ia mengadahkan wajah agar air mata tak jatuh untuk ke sekian kalinya.

"Bu Gayatri, ada apa tiba-tiba masuk ke ruangan Bu Adhisty? Ada dokumen yang mau dicari? Mungkin kalau ada yang mau saya bantu?" Dini tiba-tiba masuk.

Gayatri menengok ke arah Dini. Ia yakin, sekretaris Adhisty ini sedang kebingungan melihat dirinya masuk seperti orang bodoh ke tempat almarhum Adhisty.

"Oh, itu... saya mau cari... berkasnya BeauMe. Di mana, ya? Saya mau cek year on year report-nya." Gayatri buru-buru mencari alasan.

"Itu saya ada soft copy-nya kok. Ibu mau dalam bentuk cetak atau bagaimana?" Dini bertanya bingung.

Gayatri meringis kecil. "Oh, e-mail aja, nggak apa-apa." Perempuan itu buru-buru menggeleng pelan seraya berjalan keluar dengan linglung. Sudah beberapa minggu sejak Adhisty meninggal, tetapi, kebiasaan menahunnya masih melekat. Ia masih mencari Adhisty, kapan pun, di mana pun.

Kaki Gayatri keluar. Baru saja ingin menghela napas, Sela sudah melambaikan tangan. "Bu, saya dapat info kalau Pak Danuja dan tim dari grup Tjokro sudah datang. Pak Syam dari tim Business Development sudah duluan ke bawah, sih. Pak Aditya juga tadi sudah turun."

Gayatri mengangguk pelan. Absennya Darma dan ketiadaan Adhisty membuat Gayatri sedikit banyak mengemban tiga peran sekaligus juga bertanggung jawab pada masing-masing bawahan saudara-saudaranya. Tanggung jawab pada Sela dan Dini, salah satunya.

Sore ini, Gayatri menggantikan Darma untuk menemani ayahnya—Aditya—dalam pertemuan dengan salah seorang konglomerat properti di Indonesia terkait dengan pusat perbelanjaan baru yang mereka akan bangun. 

"Yang datang Pak Danuja langsung?" tanya Gayatri dengan dahi berkerut. "Kupikir Devandra—anaknya—yang datang."

"Gosipnya, anaknya masih di Amerika, nggak mau pulang." Sela nyeletuk.

Business UnusualWhere stories live. Discover now