19. Her Worth

6.5K 899 24
                                    

Gayatri mengangkat alis ketika melihat sesuatu di meja kerjanya pagi ini—bungkusan tas kertas warna cokelat di atas meja dengan kartu yang terselip. Ia melirik ke luar. Berencana untuk menanyakan siapa yang mengirimkan bungkusan itu pada Anita, namun akhirnya urung. Sebagai gantinya, kaki Gayatri mendekat ke meja.

Senyumnya mengembang tatkala membaca kartu tersebut. Ada tulisan tangan rapi yang ia yakin bukan tulisan tangan sang pengirim. Tetapi, membacanya membuat hati Gayatri menghangat.

"Buat camilan kerja." lalu ada inisial RKP di bawahnya—Radikta Kuntara Pramaditya.

Tiga kata. Hanya tiga kata! Tetapi, rasanya jantungnya berdegup dengan detakan yang aneh.

Tangan Gayatri membuka bungkusannya. Ia mendapati soft cookies aneka rasa dalam bungkusan tersebut.

Gayatri merogoh ponsel dari tas. Belum ia menekan tombol telepon, Dikta sudah lebih dulu melakukan panggilan.

"Halo! Kamu udah sampe?" Suara itu begitu riang terdengar dari seberang.

Gayatri mengangguk. "Thanks buat kuenya, Mas."

"Anytime! Makan yang banyak, Tri. Biar orang lain iri sama kelakuanmu itu! Lagian, makan manis bisa ngembaliin mood."

Gayatri terkekeh. Untuk kali pertama, ia mendengar Dikta nyerocos lebih panjang. "Maksudnya, kamu nyumpahin aku dapet masalah, gitu?" 

"Ya... kali aja kamu dapet masalah tiba-tiba."

Gayatri terkikik. Setelah kemarin, pembicaraan mereka sedikit banyak mengambang. Gayatri belum bisa memberikan kejelasan apapun terkait dengan hubungan mereka yang kini jadi sedikit abu-abu. Bola berpindah ke Gayatri. Ia yang harus menentukan dan memberi jawaban tetapi belum mampu menentukan pilihan yang tepat.

Ada banyak yang harus diurusnya akhir-akhir ini. Sama seperti keyakinannya beberapa hari lalu, mungkin cinta belum bisa jadi prioritas utamanya. Ia ingin mencoba mengenyampingkan urusan laki-laki dan mencoba fokus pada apa yang ia bisa kerjakan saat ini.

Sialnya, mengapa Dikta jadi terkesan mengejar begini?

Anita yang sudah berdiri dan mengintip di depan pintu membuat Gayatri mengengok. Isyarat perempuan itu menandakan bahwa akan ada rapat sebentar lagi, cukup untuk membuat Gayatri mendesah keras. "Mas, maaf, aku ada rapat."

"Oh, ya, oke! Selamat kerja, Tri."

Gayatri menggumam pelan sebelum panggilan ditutup. Ia meletakan ponselnya di meja. Tepat ketika ponsel diletakan, ketukan pintu terdengar berikut Anita yang masuk ke dalam ruangan. Pagi ini, Anita menjelaskan sederet aktivitas yang harus Gayatri tangani. Matanya memicing ketika ia mendengar ada jadwal asing yang seolah ia lupakan.

"Tadi, kamu bilang, apa?" tanya Gayatri meminta Anita mengulang.

"Ada lunch meeting dengan Pak Aris Ongko seputar investment dan kerjasama waralaba restoran Perancis Ale dari Alexander Elliot bersama Bapak Aditya, Bu," ulang Anita.

I knew it! Gayatri mengepalkan tangannya. Ia tidak mungkin dijodohkan jika tidak ada alasan bisnis di baliknya.

"Ini kan F&B, alihkan ke Ramdan aja." Gayatri berdecak sebal. "Saya nggak usah ikut."

"Pak Ramdan juga ikut, tapi, Ibu Atri juga diminta ikut." Nada Anita terdengar takut-takut.

Napas Gayatri mendesah keras. Ia benci situasi ini. Kenapa ia harus selalu dilibatkan pada setiap rapat negosiasi ayahnya seolah-olah seperti barang yang ditukar, sih? Tubuh Gayatri berbalik ke arah lain untuk menutupi matanya yang mulai berembun dan hatinya yang memanas. Ia mengatur napas, mencoba menetralkan emosi. Baru saja ia merasa sedikit senang dengan gestur kecil yang diberikan Dikta, kini, ia malah mendapati hal besar yang menyebalkan.

"Ada lagi, nggak?" tanya Gayatri tanpa memalingkan badan.

"Ng... Nggak ada, Bu."

"Kalau gitu kamu bisa balik. Thanks, Nit."

Anita menelan ludah sebelum dengan kikuk beranjak dari ruangan Gayatri. Tepat ketika suara pintu tertutup, Gayatri membalik tubuhnya dengan mata basah. Ia menutup wajah dengan tangan, mencoba menetralkan emosinya.

Ia menarik napas, menghelanya dengan keras, menarik lagi dan menghelanya lagi. Punggung tangannya mengusap pipi yang basah. 

Di saat seperti ini, Gayatri tak tahu harus berlari pada siapa. Biasanya, ia akan menghambur pada Adhisty yang berada di ruang seberang. Namun, kini, ia sadar, sudah tidak ada lagi orang yang bisa mendengarkannya atau sekadar menenangkannya. Tidak ada.

Atau ada.

Dikta.

Ada  Dikta, kan?

Tangan Gayatri mengambil ponsel, ia berencana menghubungi Dikta namun tiba-tiba menggeleng pelan. Yang benar saja? Memangnya, Dikta siapa?

Napas Gayatri terhela keras seraya ia meletakan ponsel di atas meja. Tepat ketika itu, pandangannya tertumbuk pada kue kering yang berada dalam kantong bungkusan di atas meja. Gayatri menarik bungkusan itu, mengambil satu soft chocochip cookies yang terbungkus plastik sebelum mebukanya perlahan.

Senyum getir tampak dari wajahnya. Tak lama, Gayatri menangis lagi. Kalimat yang dilontarkan Dikta beberapa menit lalu terngiang. Bahkan saat fisiknya tidak ada, Dikta bisa hadir dalam wujud lain yang tak diduga-duga seperti ini.

Gayatri hanya bisa menjalani hari dengan semu hingga ia harus pergi jam untuk bertemu dengan Aris. Rasanya, ia ingin kembali ke kantor saja daripada masuk ke private room Seribu Rasa siang ini dan bertemu dengan Aris.

Ramdan yang ikut pergi bersamanya terlihat prihatin. Adik lelakinya itu  memukul pelan bahu sang kakak. "You got this," ucapnya singkat sebelum mengambil napas dan mengubah mimik wajahnya. Dalam sepersekian detik, Ramdan sudah memasang senyum palsu yang ia gunakan dalam kesehariannya bekerja. Senyum yang sudah dilatihkan di keluarga ini selama bertahun-tahun. 

Lelaki itu berjalan masuk, meninggalkan Gayatri di depan ruangan. Suara heboh kecil terdengar juga tawa-tawa palsu di sana. Khas Ramdan. 

Gayatri melangkah masuk setelahnya. Matanya bertemu Aris yang menatapinya dengan pandangan seperti serigala kelaparan.  "Halo," ucapnya basa-basi. Ia memutar bola mata ketika melihat kursi yang tersisa hanyalah di sebelah lelaki itu.

Dengan memaksa senyum, ia duduk di sana. Menutup mulutnya seraya mengintip dari sudut mata saat Aris, Ramdan dan ayahnya mulai berbincang. Gayatri merasa terhisap ke tanah. Ia benar-benar tengah melaksanakan "tugasnya" menjadi seorang perempuan menurut para lelaki ini.

"Mungkin, lokasinya bisa ditinjau lagi. Di usulan Aris agak kurang, ya." Gayatri tiba-tiba nyeletuk. Aris mengusulkan lokasi mall yang merupakan milik keluarganya. "Kalau memang mau bikin restoran Perancis begitu, ada baiknya berdiri sendiri, sih."

"Tapi kan ini casual dining, jadi, lebih baik di mall." Aris tersenyum mencoba menjelaskan.

Gayatri meringis. Ia tahu. Tidak usah Aris jelaskan, Gayatri sudah menjejakan kaki di Perancis berkali-kali, ia tahu Ale adalah restoran casual dining yang dikelola oleh salah satu koki selebriti di sana. Tetapi, kalau sudah masuk Indonesia, pangsa pasarnya berubah. Sama seperti restoran pizza ala Amerika yang di sana dilabeli makanan siap saji di negara asalnya. Tetapi, di Indonesia, restoran itu malah jadi restoran yang dianggap lumayan mewah oleh sebagian besar kalangan mengingat mayoritas penduduk di Indonesia makan nasi dan punya pendapatan yang jauh lebih rendah daripada di negara asal restoran tersebut.

"Di Perancis pun, mereka juga adanya  di mall dan beberapa pusat perbelanjaan kok." Aris masih membela usulannya.

Gayatri ingin membuka mulut untuk mendebat namun...

"Nanti bisa kita tinjau lagi, tim market analysis dari Ramdan akan bantu cek, ya kan, Ram?" Aditya mencoba menengahi debat tersebut. Ia melirik ke arah Ramdan yang mau tak mau mengangguk.

Pembicaraan kembali berlanjut tetapi kini, Gayatri bahkan tak berselera buka mulut—baik itu untuk makan atau berbicara. Ia pada akhirnya hanya bisa diam, memasang senyum, berpura-pura tidak punya otak, mendengarkan tanpa bisa mengungkapkan pendapat dan argumen. Tangannya meremat rok sambil mengambil napas sebanyak-banyaknya.

Kenapa tidak ada orang yang mau mendengarkannya sama sekali begitu? Apa memang, harganya hanya sekadar pajangan lelaki?

Business UnusualWhere stories live. Discover now