18. The Feelings

6.5K 973 99
                                    

Dikta menatap Gayatri yang tiba-tiba menangis. Awalnya, pembicaraan mereka hanya seputar Darma dan posisinya, tetapi kini, pembicaraan tiba-tiba beralih ke hal lain. Ke sebuah topik yang tak diduga-duga.

Mata Gayatri berkaca-kaca. Air mata mengalir di pipinya. Sementara, Dikta hanya bisa berdiri seperti orang bodoh. Ia ikut menahan napas saat Gayatri membuka mulut.

"Keluargaku punya perjanjian kerjasama dengan perusahaan keluargamu. Grup Prama bikin mall yang akan masukin hampir semua brand Adhyaksa. and that's why they put us together." Gayatri menyungging senyum getir.

Apa yang baru saja Gayatri ucapkan tadi? Untuk pertama kalinya, Dikta terkesiap. Ia tidak tahu. Ia benar-benar tidak tahu.

Gayatri lagi-lagi tertawa pahit sambil mengambil napas."Not long after the deal was sealed, you left me—right after we spent the night together, when I thought our feelings were mutual and real. When I thought I was finally being loved and respected by someone, when I thought that you were really cute with your dry jokes and dazzling eyes every time I told you stories. It feels like, I was finally being loved by someone."

You are being loved, Tri. Dikta mengulum bibir karena hampir menyela Gayatri dengan kalimat tersebut.

"Ramdan selalu bilang, aku ini bodoh karena mudah jatuh cinta. Kalau dipikir-pikir, mungkin memang begitu. Aku seperti orang yang butuh dicintai, yang haus pengakuan dan cinta dari sekelilingku." Kepala Gayatri menunduk. Matanya berembun. "Memangnya salah? Memangnya aku nggak berhak dicintai sebagaimana aku? Setiap orang yang aku temui cuma mencintaiku karena atribut dan embel-embelku aja. Karena aku lahir di keluarga Adhyaksa, karena aku pemimpin di LuxeModa dan Eclat, karena ada sesuatu yang bisa dimanfaatkan dariku."

Dikta menggeleng. "Atri, nggak gi—" Tatapan tajam Gayatri membuat Dikta bungkam.

"Aku bukan cewek murahan. Aku nggak sembarangan mengijinkan orang buat masuk lalu nidurin aku di apartemenku, Mas. At least, you need to be my boyfriend." Gayatri berucap tajam. "Guess who got the only exception?"

Dikta menegang. Me, it's me.

"Being together with you makes me feel loved. Ada yang mendengarkan aku tanpa ngeluh satu kalipun, nyambung seratus persen karena kita sama-sama punya love-hate relationship ke orangtua kita. I tried to hold myself, I restrained myself from bursting out my feelings towards you. So when you kissed me, I thought, maybe... our feelings were mutuals. Maybe, we didn't need those confession, you were almost 30 and I was just in my early 20s back then, maybe, that's what adults do. When you took me to bed, I gave all of me to you. But, well..." Gayatri mengambil napas panjang. "Ah! I feel as if I am pathetic."

"Tri..."

"Right? Sekarang, aku seperti orang yang menyedihkan, kan? Seperti perempuan murahan yang mengemis minta dicintai? Aku yang mencintai sendirian sementara kamu... kamu..." Gayatri tak bisa melanjutkan kalimatnya. ia terisak-isak walau pelan. "Ya, Tuhan! Bahkan seharusnya, aku nggak ngomong ini sama kamu. Buat apa? Seharusnya aku nggak usah ngomongin ini sama kamu karena kamu cuma akan mengasihani aku, atau kamu cuma akan melihat aku sebagai perempuan yang mengemis dan nggak punya harga diri. Ya, kan?"

Kepala Dikta menggeleng. "Atri..."

"Mas, aku capek. Aku capek! Semua berat banget! Nggak ada yang peduli sama aku. Nggak ada yang merasa aku berharga, nggak ada yang—"

Omongan dan racauan Gayatri terputus tepat saat sebuah benda kenyal menghantam bibirnya. Bibir Dikta. Menempel begitu saja dengan bibirnya dengan cepat tetapi lembut dan tidak terburu-buru.

Lima detik. Hanya lima detik namun membangkitkan semua perasaan berdebar yang sudah ditahan mati-matian.

Mata mereka bertatapan. Sejenak, Gayatri mengatur napasnya. Apa-apaan ciuman mendadak itu?

Business UnusualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang