14. Bail Out

6.6K 903 20
                                    

Gayatri hanya bisa menggelengkan kepala pelan dan mengarahkan pandangannya ke arah lain. Pertanyaan Dikta begitu mudah tetapi sulit untuk dijawab. Perempuan itu pura-pura menyibukan diri kembali dengan pilihan-pilihan fotonya.

Bunyi denting pesan BBM membuat Gayatri mengerutkan dahi. Matanya menangkap pesan dari Ramdan dengan 'Ping!' yang begitu banyak di grup obrolan.

Ramdan 
Baterai, lo dicariin! Papa pulang bawa cowok tuh, mau dikenalin!

Kartika
Ada yang mau dikenalin lagi? Terus, Mas Radikta apa kabar?

Ramdan

Hah? Jadi tadi pagi, Baterai ke Tell Tales mau kencan! BENER, KAN!

Gayatri
cut the nonsense, you two!

Gayatri mendesah. Ia membalik layar ponsel dan meletakannya di atas meja. Tidak ingin peduli pada  kedua adiknya yang saling balas membalas untuk mengejeknya.

"Ada masalah, Tri?" Suara Dikta memecah hening.

Gayatri menggeleng. "Nggak, bukan apa-apa," jawabnya cepat. Namun, belum satu detik, teleponnya berbunyi. Dari Aditya.

Bola mata Gayatri berputar seraya ia mendesis. Tak mungkin dia mengabaikan panggilan itu. Dengan malas, ia mengangkat telepon yang datang tersebut.

"Tri, lagi di mana?" Suara itu begitu halus dan ramah. Mendengarnya membuat Gayatri muak. Ia yakin, ayahnya sedang berada di depan orang lain yang tadi dimaksud Ramdan.

"Di Tell Tales," jawab Gayatri ketus. "Ada apa?"

"Kamu makan siang di rumah, kan? Jam berapa balik?"

Napas Gayatri terhela keras. Matanya melirik ke arah jam di ujung layar laptop lalu ke arah Dikta. "Aku masih ada kerjaan."

"Gayatri..." Suara itu terdengar lembut namun tegas. Gayatri tahu, setiap kali ayahnya memanggilnya dengan nama Gayatri dan bukan Atri, ia sedang dalam masalah. "Kamu jadi pulang lima belas menit lagi, kan? Papa tunggu, ya. Kita makan siang bareng."

Fuck! Gayatri mengumpat tak bersuara cukup untuk membuat Dikta menatap Gayatri dengan kebingungan.

"Hati-hati di jalan ya, Atri. Bawa mobilnya jangan kebut-kebutan." Aditya berucap lagi bahkan sebelum sempat Gayatri menjawab apapun. Seolah-olah, Gayatri sudah menjawab pernyataan sebelumnya dengan kata "ya". 

Panggilan dimatikan sesudahnya dan langsung membuat Gayatri melempar ponsel dengan keras ke atas meja. Dadanya kembang kempis, bahunya naik turun, wajahnya terlihat begitu kesal.

Dikta memicingkan mata. Ia memandang Gayatri yang berada di hadapannya dengan sorot bingung. "Kamu ada masalah, ya?"

Gayatri menarik napas sambil menggelengkan kepala berkali-kali. "Oh, I hate my father."

"Kamu harus pulang, kan?" Tanpa menanggapi kalimat Gayatri, Dikta mengucapkan tebakannya.

"I'm sorry, Mas. Ini..."

"No sweat, Tri. Aku ngerti." Dikta mengibaskan tangan untuk meredakan rasa bersalah Gayatri. "Sana, nanti dimarahin, loh!"

Gayatri menghembuskan napas sambil mengangguk. Ia berdiri dari tempat duduknya, membereskan barang-barangnya sebelum mengangguk kecil dan berbalik. Di ruang obrolan dengan adik-adiknya, Ramdan seperti seorang reporter yang membagikan keadaan lapangan secara langsung.

Ramdan
Ini si Aris Ongko. Anaknya perusahaan media grup Jangkar itu, loh! Yang punya koran, majalah, TV, sampai penerbitan.

Gayatri tahu siapa Aris Ongko. Walau tak mengenal dekat, semua orang tahu kaliber laki-laki satu itu. Ia yang pertama kali mereformasi media Jangkar menuju digitalisasi. Tak ada catatan buruk dalam portofolio hidupnya. Cowok lurus, pekerja keras, baik hati, sopan dan sederet julukan positif lainnya. It's so 'Aditya favorite' type.

Business UnusualWhere stories live. Discover now