24. What Future Holds

6K 950 24
                                    


Ramdan
Sis Baterai, you know papa ngamuk, kan?

Kartika
Gue denger rame tadi? Ada apaan? Twitter was on fire! Si Aris ngapain? Terus, Mas Dikta ngapain? DAN LO KENAPA IKUTAN GEBUK-GEBUKAN?

Ramdan
Si sinting itu ngatain Baterai 'bitch'

Kartika
Eh, anjing!

Ramdan
Bangsat emang!

Gayatri
Where are you (at)Ramdan?

Ramdan
Kabur ke rumah Mas Darma hehe

Gayatri memijat pelipis. Percakapan Ramdan dan Kartika di grup kakak-beradik itu membuat perempuan itu mendecakan lidah sebal.

Tangannya mengepal erat. Ia bahkan masih tidak mengerti kenapa bisa-bisanya ia berhadapan dengan cowok seperti itu.  Gayatri tak bisa tidur, bahkan ketika jam sudah menunjukan jam tiga pagi. 

Apa memang, Gayatri terlalu sial soal percintaan?

Secara tiba-tiba, penjelasan panjang kali lebar yang diucapkan Dikta terputar kembali di kepala Gayatri. Lelaki itu secara tiba-tiba mengutarakan sesuatu yang tak pernah ia keluarkan sebelumnya. Sesuatu yang terlihat menyakitkan. Dari matanya, Dikta terlihat begitu penuh dengan kesedihan dan rasa bersalah.

Namun, hanya sesaat. Karena setelahnya, ada binar penuh semangat hidup yang tampak dari wajahnya. Senyum yang merekah ketika Dikta meminta untuk menghabiskan masa depan bersama masih sangat jelas. Wajah itu penuh harapan.

Gayatri menghela napas. Kakinya beranjak turun dari kasur untuk keluar sebentar, mengambil air. Namun, sosok seorang lelaki yang tidur di sofa membuatnya terenyuh.

Di ruang tengahnya, masih ada Dikta. Tidur dengan posisi meringkuk di atas sofa. Gayatri pikir, Dikta akan pulang setelah ia permisi ke kamar. Nyatanya, Dikta masih di sana, tidur menungguinya.

Tubuh Gayatri terdiam sesaat. Ia memerhatikan Dikta yang masih tertidur dengan napas yang begitu tenang. Gayatri yakin, pasti tidak nyaman tidur di atas sofa kecil itu. Ingin rasanya, Gayatri membangunkan Dikta lalu mengajaknya ke kamar. Tetapi, itu tidak mungkin, kan?

Perempuan itu menghela napas sejenak sebelum masuk ke kamar, membuka lemari, dan mengambil selembar selimut warna hijau toska. Tak lama, ia sudah menyelimuti tubuh sang tuan yang masih pulas.

Tangan Gayatri terulur, membelai rambut Dikta yang dipotong sangat pendek itu  dengan helaan napas. Kata orang, kembali bersama mantan pacar itu sama seperti membaca buku dua kali. Kita sebagai pembaca sudah tahu apa yang akan terjadi.

Tetapi, mengapa rasanya Gayatri ingin membacanya dalam akhir yang berbeda? Mungkinkah ada halaman yang terselip di bagian akhir yang terlewat oleh mereka setelah kejujuran demi kejujuran yang mereka ungkapkan satu sama lain?

Dan lebih dari semua itu ... Apa Ia bisa mempercayai Dikta sekali lagi?

Dikta terbangun saat mencium wangi teh melati dan manis kue. Ia mengerjapkan matanya sejenak. Menatap ke arah dapur yang tak tersekat. Di sana, tampak sosok Gayatri yang tengah membalik tubuhnya.

Lelaki itu bangun dengan tubuh pegal. Sofa yang tak begitu besar di apartemen Gayatri tak muat menampung tubuhnya yang besar.

Malam itu, Gayatri menggelengkan kepala pelan. Dan ketika gelengan kepala itu terjadi, Dikta nyaris mencelus sebelum Gayatri membuka mulutnya, "Kasih aku waktu, sebentar lagi. Aku nggak mau jadi seperti dulu lagi."

Ingin rasanya Dikta menggeleng keras, meneriakan bahwa kejadian yang lalu adalah kesalahannya dan ia tak akan mengulangnya lagi. Tetapi, pada akhirnya, ia hanya bisa menelan semuanya sendiri. Dikta tak ingin memaksa. Biarlah Gayatri punya ruang untuk dirinya sendiri.

Setelahnya, Gayatri meminta izin untuk masuk ke kamar dan mempersilahkan Dikta pulang jika ingin. Tetapi, Dikta tak bisa. Ia masih khawatir.

Gestur Gayatri kemarin membuat Dikta yakin, ada sesuatu yang salah pada perempuan itu. Gayatri benar-benar butuh pertolongan. Perempuan itu seperti tertekan, seperti ketakutan, seperti hancur berantakan.

Dikta ingin menyelamatkan Gayatri. Tetapi, ia tidak bisa menyelamatkan Gayatri sendirian. Ia tidak punya kapabilitas untuk melakukannya. Gayatri butuh bantuan profesional yang membantunya. Dan, yang Dikta bisa lakukan adalah bersamanya.

Tangan Dikta menggulir beberapa kemungkinan yang terjadi pada Gayatri melalui internet browser pada BlackBerry-nya, tetapi, pada akhirnya, ia menyerah. Self-diagnosed pada psikis bukan sesuatu yang pantas dilakukan.

Mungkin, Dikta akan membujuk Gayatri untuk memeriksakan dirinya—atau sekadar bercakap-cakap dengan psikolog—setelah semua ini selesai. Sebelumnya, mungkin, Dikta bisa menghubungi Aura, psikolognya dalam mengatasi masalahnya pada kematian Rima.

"Kamu udah bangun. Mas?" Gayatri yang sadar dengan bangunnya Dikta berucap dari balik kitchen island. "Baru aku mau bangunin."

Dikta mengulum senyum kecil. Ia berdiri, membereskan selimut yang sebelumnya tak ada ketika ia tidur lalu berjalan mendekat.

Gayatri sudah rapi dengan blus biru muda dan celana bahan warna putih. Rambutnya dikuncir ke atas. Di balik kerahnya ada tato kecil berbentuk panah di belakang leher yang sedikit mengintip.

Dikta pernah menghabiskan malam dengan Gayatri, tetapi, ia tidak tahu bahwa perempuan itu punya tato di sana. Sejak kapan?

"I thought you left." Gayatri berucap lagi. Kali ini, seperti berbisik. Namun, bisikan itu dapat ditangkap Dikta dengan baik.

"Kamu tahu aku nggak akan ninggalin kamu lagi, kan?" Dikta duduk di bar stool, menatap ke arah waffle polos di atas meja. Ada kotak bekas waffle instan di dekat kompor yang menyatu dengan oven.

"Beda konteks, Mas. Kalau ini kan, aku tahu kamu nggak akan ninggalin aku tanpa kejelasan kayak dulu." Gayatri membuka kulkas. Ia menatap isinya. "Whip cream or ice cream?"

"Ice cream, please!" Dikta terkekeh. "Yah, tetep aja, aku mau ada di sini sampai kamu baik-baik aja."

"Jadi, kemarin, aku nggak baik-baik aja?" Gayatri mengambil satu pint es krim lalu mengambil scoop-nya dari salah satu lemari.

Kepala Dikta menggeleng seraya matanya tidak melihat ke arah Gayatri tetapi ke es krim vanila yang baru saja diletakan Gayatri di atas waffle. "Kemarin, kamu masih kacau dan nggak stabil."

Tangan Gayatri mengambil madu dan menuangkannya ke atas waffle sebelum meletakannya pada Dikta. "Begitu?" tanyanya. "Nih, makan dulu! Kamu harus ke kantor dan aku juga!"

Dikta memangku dagu. Ia kini menatap Gayatri dengan lembut dan dalam seperti menerawang. "Begini ya rasanya kalau ada yang masakin setiap pagi?"

Dikta memandangi Gayatri. She is so beautiful. Sadarkah Gayatri bahwa perempuan ini yang menyelamatkannya? Perempuan ini yang membuatnya ingin kembali hidup?

"Apa sih, Mas?!" Pias Gayatri berubah malu-malu sambil membalik badan, berpura-pura membereskan piring. "Makan cepetan! Entar terlambat! Aku juga mau ke kantor!"

Dikta terkikik geli. Ia mengambil garpu dan pisaunya sambil menatapi Gayatri yang masih malu-malu dan salah tingkah. If his future will look like this, this surely will be the best thing that comes to his life.

Business UnusualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang