26. You Always be You

7.2K 927 57
                                    

Tell Tales resmi ditutup per bulan lalu. Setelah berminggu-minggu mencoba kafe demi kafe untuk bekerja, minggu ini, Dikta dan Gayatri memutuskan untuk bekerja di apartemen saja.

Dan begitulah akhirnya, Sabtu pagi menjelang siang ini, Gayatri tersenyum lebar ketika membuka pintu dan mendapati Dikta dalam balutan kaos santai. Aroma makanan yang menggugah tercium di hidung Dikta.

Tanpa dipersilahkan, Dikta main asal nyelonong begitu saja. Ia meletakan tas kertas itu di atas kitchen island. "Kamu habis masak?" Ia memandang ke arah Gayatri yang rambutnya masih digulung handuk.

Gayatri tersenyum. "Mumpung Sabtu dan ada tamu. Kalau masak untuk personal size yang ada buntung karena bahannya nggak bisa beli sedikit-sedikit."

"Memangnya kamu bisa masak?" ejek Dikta pura-pura.

"Garansi uang kembali deh kalau nggak enak," jawab Gayatri asal seperti jargon restoran sambil tertawa.

Dikta melirik ke arah makanan di atas meja. Satu piring besar lasagna tampak di meja makan. "Gue percuma nge-gym tiap minggu kalau ujungnya makan seberat ini," ucap Dikta menunjuk pada pasta itu.

"Ya, seenggaknya, ada pengeluarannya lah!" Gayatri tertawa kecil. Ia mengambil dua piring dari kabinet dapur dan menyerahkan satu pada Dikta.

Mata Dikta melirik ke arah perempuan satu itu. Penampilannya kali ini terlihat begitu apa adanya. Rambutnya yang setengah basah digulung ke atas. Tak ada riasan yang menutupi wajahnya, memperlihatkan bintik-bintik tahi lalat kecil yang selama ini tertutup foundation. Lingkar hitam akibat kurang tidur tampak jelas.

Tetapi, Gayatri tetap cantik. Dia masih bisa mencuri hati Dikta dan membuat lelaki satu itu berdebar tak keruan. Jika ini pemandangannya setiap pagi, sepertinya, Dikta akan jadi orang paling beruntung sedunia.

"Bengong, Mas? Kesambet loh entar!" Gayatri berucap dengan mulut penuh.

Kepala Dikta menggeleng. Ia masih menunggu jawaban Gayatri yang sampai hari ini belum tampak hilalnya. Bahkan, pasca pesta dua minggu lalu juga, belum ada jawaban. Padahal, Dikta sudah mengulang pertanyaannya.

"Gimama kerja sama Mas Darma?" tanya Gayatri mencoba membuka topik lain.

Dikta mengulum senyum. Semenjak Darma kembali, semua urusan diberikan pada si tertua itu. Gayatri sudah tidak ikut campur lagi dan Dikta sudah tak berhubungan pekerjaan dengan perempuan satu itu lagi.

"Kamu masih lebih galak," kelakar Dikta sambil tertawa. "Darma ternyata nggak ada apa-apanya!"

Gayatri memajukan bibir. "Kok rese sih!?"

"Memang iya!" jawab Dikta sambil menyesap kopinya. "Darma nggak sejahat yang orang bilang."

"Mas Darma emang nggak pernah jahat, kok!"

Dikta mengangkat alis kirinya. Ia tersenyum miring. "Dulu, kamu benci banget sama Mas-mu yang satu itu. Sudah selesai masalahnya?" tanya lelaki itu memangku dagu. "Bukan mau manas-manasin loh! Tapi, dulu, kamu bilang, dia jahat banget kalau ngomong."

Gayatri menelan ludah. Ia tahu itu. Ia ingat betul bagaimana ia membenci Darma untuk posisi yang direbutnya. Tetapi, kalau dipikir-pikir lagi, apa itu salah Darma? Bukankah kakek mereka yang saat itu menentukan penerus dan Darma lah yang mendapatkannya?

Lagipula, kalau dipikir-pikir juga, Darma memang berhak mendapatkan posisi itu. He works ten times harder than everyone else. Sekarang, Gayatri bahkan malu atas pemikiran-pemikiran yang dulu sempat ia lontarkan pada Dikta.

"Mas Darma galak, kalau kerjaannya nggak beres." Gayatri akhirnya berucap. "Kalau dia nggak marah, berarti, kerjaanmu bagus."

"Atau, karena adik sepupunya itu juga bekerja dengan baik." Dikta menyungging senyum. "Kamu yang ngegawangin semua konsepnya, kamu yang mastiin semuanya berjalan dengan lancar. Kamu yang udah ambil porsi marah-marahnya Darma."

Business UnusualWo Geschichten leben. Entdecke jetzt