13. Your True Self

6.7K 942 24
                                    

Mengabaikan Kartika, kaki Gayatri berjalan melewati pintu kaca otomatis yang membawanya ke perpustakaan yang sebelumnya dikelola oleh Dafina. Kakinya berjalan ke arah kiri, menuju sebuah ruang baca dengan beanbag warna warni dan sofa-sofa kecil dengan meja pendek.

Mata Gayatri menangkap sosok Dikta yang hanya sendirian dalam perpustakaan itu. ia duduk dengan laptop terbuka, tangannya mengetik di atas papan tik. Sepertinya, ia terlihat begitu sibuk. 

Senyum mengembang dari Dikta ketika mata mereka bertatapan. Lelaki itu melambai kecil, sementara, Gayatri mempercepat langkah untuk duduk berhadapan dengan Dikta.

"Sorry ya, gue telat," ucap Gayatri dengan rasa bersalah.

"Baru sepuluh menit, kok. No problem!" Dikta menggeleng buru-buru. Matanya mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Ke mana aja gue sampai baru tahu kalau Tell Tales ini bisa dijadiin tempat kerja? Tahu gitu, gue dari dulu tiap weekend kerja di sini biar nggak suntuk."

Gayatri terkekeh kecil. Ia menarik napas. "Sayang, sebentar lagi tutup."

Dikta membelalak. "Tutup?"

Dagu Gayatri terangguk. Ia menghela napas. "Mama bilang mau tutup, toh secara keuangan, perpustakaan ini sangat tidak menguntungkan."

"Perpustakaan memang bukan diciptakan untuk menguntungkan, kan? Bukannya ini bagian dari CSR?" Dikta berargumen dengan pandangan bingung. 

Gayatri terkekeh kecil. "Yah, begitu." Ia melirik ke arah Kartika yang terlihat dari kaca pembatas. "Atau mungkin, karena dengan ketiadaan perpustakaan ini, maka... ada yang harus terpaksa kembali jadi pion."

Tak butuh kepintaran dan IQ tinggi untuk Dikta bisa menangkap maksud Gayatri, apalagi saat Dikta melihat arah pandang sang puan pada adiknya.

"Selain nggak ada yang urusin karena nyokap males, salah satu tujuan Tell Tales ditutup ya... mungkin, biar Tika mau nggak mau harus nutup toko kuenya." Gayatri mengangkat bahu. "Yah, nggak tahu, lah!"

Dikta tersenyum kecil sambil menghela napas. Pandangannya melembut saat melihat Gayatri yang berpias khawatir pada Kartika.

"You worry about your sis," tebak Dikta langsung.

Gayatri menengok dengan ringisan kecil. Tebakan Dikta membuatnya mengangguk. "Mas Dikta tahu, kan? Satu-satunya anak yang berani melawan cuma Kartika." Tarikan napas terdengar dari mulut Gayatri. "Aku bahkan iri dengan keberaniannya—keberanian kalian—yang mau-maunya keluar dari zona nyaman dengan segala fasilitas untuk memulai dari posisi yang rendah. Aku inget, aku pernah datang ke apartemen studio Kartika yang kecil banget di ujung Jakarta sana. Bahkan, kamarnya dulu lebih luas daripada apartemennya."

Dikta mengulum senyum, membiarkan Gayatri berceloteh.

"I mean, dulu ada Tante Dafina yang ngedukung Kartika. Sekarang, siapa yang bisa bantuin dia?" Gayatri meluruskan kaki. 

"Kamu?"

Gayatri tertawa mendengar Dikta. Tawa getir yang mengejek dirinya sendiri. "Jangan bercanda, Mas! Aku aja nggak berani melawan Papa."

"Mungkin kamu bisa melakukan hal lain, aku nggak tahu." Dikta mengangkat bahu. "Melakukan sesuatu nggak harus dengan cara mengibarkan bendera perang ke Papamu, kan?"

Gayatri mendesis sambil menganguk pelan. Ia tahu. Tetapi apapun yang ia lakukan, ketika sudah mendukung Kartika melawan, sama saja dengan mengibarkan bendera perang.

Mulut Gayatri terkatup sesudahnya. Tangannya mulai mengetik di atas papan tik laptop. Sesekali, ia mengerakan jari pada trackpad. Matanya terpaku pada beberapa pilihan foto dirinya di layar.

Business UnusualWhere stories live. Discover now