11. Still The Same

6.8K 943 89
                                    

Bodoh! Tolol! Goblok! dan sederet kata umpatan lain dilantukan Gayatri dalam hati tepat setelah ia mengajak Dikta untuk ke ruangannya. Apa yang baru saja ia lakukan, hah?!

Gayatri menarik napas panjang. Dari dulu, Ramdan—adiknya yang paling brengsek itu—sudah berkali-kali mengatainya 'tolol' kalau masalah percintaan.

"Namanya manusia itu emang nggak sempurna sih, Mbak. Lo cakep, pinter di kerjaan, tapi tolol di percintaan! Tololnya di level jongkok, nyusruk tanah, sampai ketemu mata air gitu, loh!" ejek Ramdan acap kali Gayatri patah hati. Dan, baru kali ini ia benar-benar merasa apa yang adiknya katakan benar.

She is dumb! Setiap kali berurusan dengan cinta, ia benar-benar seperti orang bodoh. Terlalu cepat jatuh cinta, terlalu mudah patah hati.

 Dehaman pelan terdengar dari Dikta. Sekarang, Gayatri tinggal menunggu. Apakah ajakannya akan ditolak atau diterima. Dua-duanya sama saja. Bedanya, kalau ditolak, malunya berkali-kali lipat, sementara, kalau diterima ... ah, sudahlah!

"Katanya, kalau cewek sama cowok di ruangan yang sama berduaan, biasanya setan suka mampir," jawab Dikta yang membuat perut Gayatri mulas. She's been rejected for sure. "Tapi ... kalau kamu mau kerja bareng, we might find a cafe. Di sebelah ada mall yang isinya cuma restoran sama gym itu, kan?" Dikta berucap cepat merujuk pada sebuah mall kecil di bawah apartemen yang berjarak lima menit jalan kaki dari gedung kantor Adhyaksa. Restorannya selalu padat dengan karyawan pada saat jam makan siang dan gym-nya ramai pada jam pulang kantor oleh para pekerja yang punya misi hidup sehat. "Maybe, we could grab some dinner while reading our own report in silence? Biarpun, aku nggak yakin sih kalau kamu bisa diam."

Gayatri menghela napas lega sekeras yang ia bisa. Dikta selalu mampu memutar balik sebuah kejadian yang tidak menyenangkan.

Ya! Cukup, Gayatri! Cukup sampai situ! Gayatri harus mengerem dirinya sendiri untuk tidak terpesona dengan cepat pada lelaki manapun. Control yourself, Gayatri. Come on!

"Gimana?" tanya Dikta lagi.

Gayatri mengulum bibir. Kini, bola berpindah ke tangannya. Ia yang harus memutuskan. Dengan canggung, akhirnya ia mengangguk. "Aku beresin barangku bentar, Mas Dikta bisa tunggu?"

Kepala Dikta mengangguk. "Sure. Make it quick or else I'll be kicked out from this coffee shop," candanya dengan senyum yang begitu lebar.

*

Gayatri harus berulang kali mengingatkan diri untuk tidak mencuri pandang ke arah Dikta. Restoran yang sejatinya adalah kedai kopi dengan berbagai makanan barat itu begitu sepi di malam hari—kontras dengan suasananya ketika makan siang. Hanya ada beberapa orang di sana yang juga tengah menunggu kemacetan mengurai dengan bekerja di depan laptop.

Sejak tadi, tak ada obrolan berarti yang dikeluarkan dari mulut Gayatri dan Dikta. Pembicaraannya hanya dengan kalimat, "Makan!"dilanjutkan dengan, "Ini enak loh, baru tahu kalau di sini enak-enak makanannya." yang dibalas dengan, "Oh, ya, anak-anak kantor aku suka ke sini."

Ya, itu saja. Lalu sisanya, mereka menghabiskan makanan dengan canggung, memesan dua gelas minuman dan membuka laptop sebelum bekerja dalam diam.

Gayatri kini kebingungan. Biasanya, ia akan lihai mencari topik. Tetapi, untuk Dikta, ia mati kutu. Rasanya, Gayatri bingung. Bagaimana caranya bersikap pada lelaki yang sudah tidak pernah kamu temui selama lima tahun namun ia pernah melihatmu dalam kondisi paling polos dan meninggalkanmu tanpa kejelasan?

Oh, ya, this is a weird situation for sure!

"Kayaknya, kerjaanmu berat banget, dari tadi bengong mulu." Suara Dikta menyadarkan Gayatri dari lamunannya.

Business UnusualWhere stories live. Discover now