34. Trapped

4.7K 722 56
                                    

Dengan puluhan telepon yang ibunya layangkan, Dikta memutuskan untuk bertemu dengan ibunya di Jittlada—restoran Thailand kesukaan ibunya sekaligus untuk membunuh waktu selagi menunggu sesi konseling Gayatri bersama Maria siang ini. Lelaki itu berjalan dengan langkah yang sedikit ragu sebelum menepis semuanya jauh-jauh. Hidungnya menghela napas berat seraya kakinya yang terus berjalan ke arah restoran tersebut.

Apapun yang ibunya katakan, Dikta punya agenda tersendiri. Ia sudah menghapalkan apa-apa saja yang ingin ia sampaikan pada ibunya. Tentang Rima, tentang kemungkinan kembalinya ke dalam perusahaan, tentang Gayatri juga tentang pernikahan yang ia ingin jalani. Semuanya. Ia bahkan sudah menyusun alur di belakang kepalanya.

Ketika menjejakan kaki di pintu masuk restoran, mata Dikta langsung tertuju pada ibunya yang tengah duduk sendirian. Ia berjalan mendekat. "Sudah lama, Ma?"

Si ibu menggeleng. "Mama baru sampai juga, kok. Kamu mau pesan apa?"

Dikta mengambil buku menu. Sesaat, ia membolak balik halamannya. Beberapa menit kemudian, Dikta sudah memanggil pelayan dan memesan makanan.

Keadaan menjadi canggung. Ibu dan anak itu sama-sama diam dengan dingin.

"Tumben kamu akhirnya mau ketemu Mama." Si ibu membuka obrolan.

Dikta mengambil napas. Ia memiringkan kepala. "Ada hal yang pengin kuomongin juga sama Mama." Ia berucap. Sesaat, ia menatap Mamanya, "Tapi, silahkan Mama dulu yang ngomong. Ada apa? Kenapa mau ketemu?"

Si ibu mengambil napas. Ia menyesap minumannya sejenak. "Mama masih mau menawarkan hal yang sama, Ta. Papamu udah tua. Kamu tahu dia sudah stroke, kan?" 

Dikta menghela napas. Ia tahu. Ia sudah dapat kabarnya sejak lama.

"Perusahaan nggak bisa di-handle Papamu terus menerus. Om-mu berencana melengserkan Papa, kamu sudah seharusnya kembali dan mengambil apa yang jadi milik kamu." Si ibu masih melanjutkan.

Dikta menarik napas. Omongan ini masih sama dengan kalimat bertahun-tahun lalu. Ibunya masih ketakutan kalau perusahaan mereka direbut.

Wajah Dikta menoleh ke arah lain. Seketika, banyangan Gayatri terpatri jelas. Tanpa nama Pramaditya di belakangnya, Dikta bukan siapa-siapa. Dan jika itu sampai terjadi, apakah ia akan dilepeh oleh Aditya begitu saja?

"Ta, Mama mohon. Cuma kamu satu-satunya harapan kami di sini." Ibunya berkata dengan memelas. "Toh, semua ini buat kebaikanmu. Kamu juga yang hidup enak, nggak harus susah dengan segala macamnya. Lagipula, bukannya kamu dulu pengin sekali melanjutkan usaha Papamu? Kenapa sekarang malah membuat agensi rintisan macam ini hanya karena perempuan itu?"

Dikta mengepalkan tangannya. Ia memang pernah bercita-cita jadi arsitek karena suka gedung-gedung, meneruskan usaha ayahnya di bidang properti, atau segala-galanya. Lalu, semua itu berubah. Mungkin, kalau Rima masih ada dan orangtuanya menyetujui hubungan mereka, Dikta tetap di perusahaan keluarganya, Rima yang menjalani Excelsior.

Cukup, Dikta. Ia memantrai dirinya sendiri. Kini, fokusnya ada pada Gayatri. Kalau ia kembali ke perusahaan keluarganya nanti, itu semua demi hidup dengan Gayatri.

"Bicara soal perempuan," Dikta mengambil napas. "Aku berencana menikah."

Mata Ibunya memicing sebelum kemudian tersenyum lebar. "Pas kalau begitu, Mama—"

"—Aku pacaran dengan Gayatri. Anaknya Aditya Adhyaksa, yang dulu Mama kenalkan," potong Dikta cepat.

Dikta menunggu reaksi ibunya. Ia pikir, si ibu akan semringah, nyatanya, ia melongo. "Apa kata kamu?"

"Aku pacaran dengan Gayatri." Dikta mengulang. "Ada yang salah?"

Ibunya mengambil napas keras sambil memegangi dada seperti orang sesak penuh drama. "Mama sudah menduga. Kemarin, Mama dengar soal pertengkaranmu dengan Aris. Mama dan Papa sampai harus berupaya agar keluarga kita bisa tetap punya hubungan baik dengan mereka." Si ibu mendesah keras. "Lagipula, kenapa kamu selalu nentuin pilihan yang salah, sih?"

Business UnusualWhere stories live. Discover now