Empat puluh lima

169 15 5
                                    

🔑

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


🔑

Kedua pemuda itu duduk di kelas yang hening, tetapi suasana tegang sangat terasa di udara. Mata mereka saling bertatapan, penuh dengan ketegangan dan ekspektasi yang tegang. Suasana menjadi semakin tegang dengan setiap detik yang berlalu, seolah-olah waktu berhenti untuk menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Mata mereka saling bertatapan dengan intensitas yang membuat udara terasa berat.

“Gua udah bilang berapa kali sama lo, semua yang lo ambil dan semua langkah lo itu kelewatan Arsen.” Ziko membuka pembicaraan mereka.

Arsen mendorong pelan meja dihadapannya membuat decitan di keheningan yang melanda. “Emang lo udah bener? Lo juga sama Ar, bayangan gua.” ejek Arsen mampu membuat Ziko mencengkram kerah seragam Arsen.

“Gua peringatkan Arsen. Gua bukan bayangan lo! Gua engga sudi! Andai lo bukan kembaran yang sialnya berwajah mirip dengan gua, udah gua bikin hancur juga lo. Gua masih ngehargain lo sebagai Abang gua, Sen. Dan gua harap lo cepat sadar, karena Abang gua selalu bijak bukan egois seperti sekarang.” Ziko melepaskan cengkramannya lalu membuang napasnya pelan.

“Gua bukan Abang lo. Abang lo udah mati, Ar.” balas Arsen.

Bug!

“Gua udah muak dengan omongan lo, bajingan!” murka Ziko, meninju tembok di sebelahnya. Ia tidak sanggup menonjok wajah berengsek yang mirip dengannya. Se berengsek apapun itu Arsen masih kembarannya dan Ibu kandungnya pernah bilang bahwa Ziko harus selalu menjaga Arsen padahal Arsen lebih tua darinya.

“Bodoh!” geram Arsen, mengambil kasar tangan Ziko yang sudah berdarah. “Bodoh lo asu! Wajah gua di depan lo anjir.” imbuhnya.

Ziko tertawa keras, “Sen, hilangkan dendam lo. Lo masih belum cukup umur untuk membawa beban banyak. Sen, Keyla dan Sam engga salah, lo juga, kita juga. Jangan terlalu berlebihan mengambil langkah Sen.”

Arsen menatap tajam Ziko, “Gua engga nyalahin Keyla, tapi this game is asking for death.” balasnya tersenyum menyeringai. “Sam? He will feel true loss.” imbuhnya.

Kedua pemuda itu saling menatap tajam, mata mereka menyiratkan ketegangan dan keinginan yang tak terucapkan. Setiap detik terasa seperti beratnya beban yang tak tertahankan di udara, membuat suasana semakin tegang. Kedua tubuh mereka tegak, mengisyaratkan siap untuk bertindak bahkan bersiap untuk menghadapi konflik yang tak terhindarkan.

Namun, di balik ketegangan yang terasa begitu kuat, ada kilatan keberanian dan keinginan untuk memahami satu sama lain. Ada sedikit keraguan atau bahkan kekaguman yang tersembunyi di balik tatapan tajam mereka, menunjukkan bahwa di tengah-tengah konflik, masih ada ruang untuk pemahaman dan kesepakatan.

“Lo bodoh!”

“Lo bodoh!”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Secret Key Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang