CHAPTER 3

8.4K 875 41
                                    

2 tahun kemudian...

Arjuna mendesah lelah sembari melirik arlojinya. Sudah pukul tiga sore, Juna baru saja meeting kecil-kecilan dengan anggota timnya di salah satu restoran Royal Plaza pada Minggu sore ini. Sebagai tim kreatif, memang terkadang pekerjaan mendadak di weekend itu selalu ada. Walau namanya meeting kecil-kecilan, obrolannya termasuk berbobot karena ini masalah projek berikutnya. Dan suasana restoran atau kafe, bisa memanipulasi tim supaya berpikir sembari rileks, tanpa terbebani seperti pada hari biasa mereka bekerja di kantor, berkutat dengan komputer.

Anak buah Juna sudah pada pulang karena mereka sudah ada janji dengan pasangan masing-masing mengingat ini akhir pekan. Juna sendiri tak ada rencana apapun, ia malas berjalan-jalan di mall, agaknya ia langsung pulang saja dan istirahat karena besok masih harus bekerja.

Ketika Juna melewati arena bermain anak, matanya yang melengos berubah terpaku pada sosok yang tak jauh dari pandangannya. Seorang gadis berambut hitam sebahu dan di ikat pada bagian sulur rambutnya, bersweater biru tourquise menutupi kemeja putihnya, dan bercelana jeans ketat memperlihatkan kakinya yang jenjang. Duduk agak membungkuk, tertawa lebar di depan sebuah stroller merah yang siapapun sudah tahu kalau benda itu difungsikan untuk menempatkan seorang bayi.

Juna membatu, mengenyahkan pikirannya sendiri kalau wanita cantik yang ada disana bukanlah Diandra yang sudah dua tahun ini raib dalam benaknya. Niat untuk segera kabur darisana, justru langkah kaki dan lubuk hati jelas mengkhianati. Juna tanpa sadar berjalan menghampiri wanita itu dengan kaku, sampai sang wanita mendongak dan matanya melebar.

"Juna?" serunya.

Juna menggelenyar dengan cara yang aneh. Entah ia harus bahagia atau tidak kembali dipertemukan Diandra. Dan wanita itu memang Diandra, bukan wanita asing.

"Diandra? Hai?" sebut Juna terasa pahit. Diandra berdiri, tanpa babibu memeluk tubuh jangkung Juna. Pelukan basa-basi menutupi kesenjangan mereka selama beberapa tahun tak bertemu. Alhasil, Juna membalasnya dengan ragu-ragu. Melawan keinginannya untuk memeluk erat dan tak pernah melepaskan.

Diandra mengurai pelukannya, tersenyum lebar kepada Juna.

"Juna, apa kabar? Lama nggak ketemu ya."

Laki-laki itu mengangguk, menatap Diandra penuh kerinduan.

"Baik, lo apa kabar?"

"Baik juga. Lo sendiri? Lagi jalan-jalan ya?"

"Habis meeting sama temen-temen tadi. Rencananya mau pulang. Lo sendiri, lagi ngapain ehm..ini siapa..?" Juna tertarik pada bayi gembul yang sedang terdiam di dalam stroller. Lelaki itu membungkuk dan mengamati bayi tersebut yang ternyata sedang meremas-remas boneka penguin.

"Ini dek Ryan. Ayo disapa omnya, dek." Diandra mengambil alih bayi bernama Ryan itu untuk digendong. Lantas menunjukkannya pada Juna, seolah membanggakannya bahwa Ryan adalah bayi lucu buatannya. Hingga Juna merasa ada yang retak di bagian dalam hatinya.

"Lucu banget, Ndra. Umur berapa?" Juna mencubit pipi Ryan yang putih tapi merona mirip buah persik. Lalu menyentuh jari-jari kecilnya sampai telunjuk Juna digenggam erat Ryan. Bayi itu tersenyum ompong menggemaskan.

"Jalan tiga bulan, om Juna." Diandra tersenyum lembut seraya menggerakkan kedua kakinya dan badan gendut Ryan terpental kecil.

"Mirip lo, Ndra." ujar Juna melengkingkan suaranya, menutupi getaran dibalik suara itu.

"Masa sih?" Juna mengangguk, menatap tawa Diandra yang berseri-seri. Diandra mungkin tak akan tahu, pengaruh apa yang diciptakannya setelah Juna melihat Diandra yang sudah bahagia dengan seorang bayi. Penyelasan kecil dikala SMA semakin terasa membesar tanpa ada arti. Pengharapan yang hanya sekedar harapan kini bukan terhapus dengan mudah. Tapi hancur berkeping-keping.

HAIWhere stories live. Discover now