CHAPTER 8

5.8K 723 35
                                    

Ibu mengerjap-erjapkan matanya perlahan. Dan kamar yang ia tiduri masih gelap. Kemudian merogoh ponsel suaminya yang ada di sebelahnya. Jam setengah tiga dini hari. Ibu pun bangun, sedikit meregangkan badannya yang pegal karena tak biasa tidur di bawah.

Suaminya nampak pulas disampingnya, dan Siena sendiri tidur dibangsal kosong di kamar itu. Sejak dokter Diandra mengizinkan keluarga Juna untuk memakai bangsal itu buat tidur, Siena menggunakan ranjang itu seperti kasurnya dirumah.Dia tak mau ditinggal sendiri di rumah, takut. Jadi Siena lebih memilih ikut menemani kakaknya di rumah sakit.

Sekilas ibu mendengar bunyi gemericik air dari arah kamar mandi, benar saja. Lampu tidur disamping bangsal Juna menyala, dan ranjang itu kosong. Tiang infusnya tak ada. Juna sedang berada di kamar mandi. Ibu bangun dan menunggu di pintu hendak membantu Juna berjalan.

"Mas, bisa sendiri?" tanya ibunya mengetuk pintu kamar mandi.

"Bisa, bu." setelah itu, pintu terbuka. Ibu sedikit kaget, muka dan tangan Juna basah semua seperti habis dibilas. Bukannya Juna masih belum boleh mandi ya?

"Kamu habis ngapain, mas? Kok basah semua?" cicit ibunya segera membantu Juna untuk mendorong tiang infus.

"Wudhu , bu. Mau tahajud."

Seketika hati ibu terenyuh. Memang sejak Juna opname, anak itu jadi sering bolong sholatnya. Karena isinya tidur melulu seperti pingsan. Badan digerakkan pun amat lemah. Sepertinya putranya ini mau menebus dosa karena kemaren tak bisa beribadah tepat, dan agaknya Juna ingin meminta sesuatu.

"Mau minta dilancarkan jodohnya ya, mas?" goda ibunya geli. Membuat Juna jadi memerah malu. Ketahuan ibu tuh rasanya...

Iya, sejak mereka tahu ternyata Diandra belum menikah, Juna rasanya jadi kebelet nikah.

"Kamu sholat diranjang aja sambil tidur. Pake sarungnya dulu." perintah ibunya yang dipatuhi Juna. Saat anak itu selesai menunaikan ibadah sunnah dua rakaatnya, dan ibu sendiri juga shalat sendiri di pojok, Juna berdoa dengan khusyuk.

Ya Allah, jika dia jodoh saya. Maka dekatkanlah, ya Allah. Berikan hamba petunjuk, apakah jalan yang hamba tempuh benar atau tidak. Hamba...

Juna menelan ludahnya terasa berat. Lalu ia menghela nafas hampir ingin menangis dalam doanya. Membayangkan sesosok wanita di dalam benaknya.

...hamba sungguh menyesal, pernah melukai gadis yang dulu hamba cintai. Maafkanlah hambamu yang penuh dosa ini. Jikalau memang dia untuk hamba, hamba berjanji akan menggunakan kesempatan kedua untuk memperbaiki diri, dan mencintai makhlukmu ini.

Ibu melipat mukena dalam diam, sembari melirik Juna yang seusai berdoa tidak melepas sarung. Malah menjadikan itu untuk selimut double. Juna memang sedikit meriang setelah terkena air dingin.

"Ibu...boleh tanya nggak sih, mas?" tanya ibu ragu-ragu takut melukai hati anaknya sendiri. Juna mengernyit menatap ibundanya.

"Tanya apa, bu?"

Ibu menoleh pada Siena yang ternyata masih terlelap. Kesempatan bagus karena si bawel satu itu masih tertidur.

"Dokter Didi itu yang bikin kamu mogok makan pas lulus unas dulu itukan?"

Juna terbatuk tersedak air liurnya sendiri. Terkejut juga sih, tiba-tiba ibu bertanya demikian. Dan dia merasa sangsi mengingat bagaimana dia dulu ketika lulus SMA.

Setelah kejadian dimana Juna memilih Sarah dan meninggalkan Diandra, mereka mengabaikan satu sama lain. Juna melukai Diandra dengan bermesraan tepat di depannya bersama Sarah. Dan Juna juga terluka ketika Diandra tak menghiraukan aksi noraknya bersama Sarah itu, malah semakin tekun belajar, fokus, dan dia diterima di PTN jurusan kedokteran, dan mendapat beasiswa penuh.

HAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang