CHAPTER 5

7.8K 840 38
                                    

Ibu menuangkan botol jus jambu ke dalam gelas panjang sebelum memberikannya kepada putranya. Sudah pukul tujuh. Ayah dan Siena baru saja datang. Si Ayah sedang menonton tv dengan volume kecil supaya tidak mengganggu Siena yang tengah belajar karena sebentar lagi dia mau Ujian Nasional.

Ketika ibu melihat Juna nampak gelisah dari sorot matanya. Hampir semenit sekali dia mendapati Juna melirik pintu kamar inap. Membuat ia bingung, apa yang Juna nanti?

"Kenapa sih, mas? Kok gelisah?" tanya sang ibu seraya menyodorkan gelas jus jambu kepada putranya. Juna terpekur kemudian meringis.

"Nggak papa kok, bu." jawabnya kikuk dan menerima sodoran ibunya.
"Masih lemes, mas?" tanya ayah.

"Iya, yah. Kadang klo bangun tidur suka mual, terus bingung, linu-linu." keluh Juna.

"Panasnya juga masih, yah. Nggak papa ini?" tanya sang ibu menyentuh kening Juna khawatir.

"Trombositnya belum naik. Diminum terus mas obatnya. Terus makan juga dihabisin."

"Nggak nafsu, yah. Pengen muntah aja bawaannya."

"Ya pelan-pelan aja. Nggak usah buru-buru..."

"Assalamualaikum." sebuah suara muncul bersamaan dengan pintu yang berderit terbuka membuat semua menoleh. Tetapi reaksi Juna adalah yang paling berlebihan. Dia sampai bangun dari rebahannya.

"Waalaikumsalam. Siapa ya?" ibu yang pertama bangkit dan menengok ke pintu.

"Lho, inikan..." kata ibu menggantung melihat gerangan siapa yang baru saja tiba.

Diandra tersenyum, kemudian menyalimi ibunda Juna dengan hormat.

"Eh, ini dokter UGD kemaren kan?"

Mendengar perkataan ibunya, Siena langsung ikut berdiri. Penasaran apakah benar dokter cantik yang menangani kakaknya saat masuk UGD itu datang kemari. Dan ternyata benar, ia jadi sumringah.

"Iya, tante. Saya ini temennya Juna." seketika saja ibu dan Siena melongo. Membuat Juna menggembungkan pipinya entah kenapa terasa malu. Teman ya? Hm.

"Ooh, kebetulan ya. Monggo, dokter. Masuk aja. Juna udah bangun kok." Ayah Juna mempersilahkan Diandra dengan sopan. Lantas membuat ibu terperangah sejenak dan kembali tersenyum normal.

Diandra melambaikan tangan pada Juna seraya mengucap kata 'hai' tanpa suara, yang disambut dengan senyum lega lelaki itu. Ayah memberikan kursinya untuk Diandra, tapi wanita itu menolak.

"Nggak usah, om. Saya berdiri aja nggak papa kok." tolaknya halus.

"Aduh, maaf ya, dok. Nggak punya suguhan apa-apa. Bukan dirumah sih. Jadi nggak enak." ujar ibunya sungkan.

"Nggak papa, tante. Kan niatnya saya jenguk Juna. Saya malah nggak bawa apa-apa." jawab Diandra menyesal kenapa ia tidak membeli buah tangan.

"Aduh nggak usah repot-repot, dok. Nggak papa kok."

"Kamu udah makan malem?" tanya Diandra kepada Juna yang sejak tadi melihat interaksi Diandra dengan keluarganya.

"Udah kok. Tapi nggak habis." jawabnya cengengesan. Diandra berdecak. Trombositnya menurun kok ya kelihatannya Juna ini sehat-sehat saja. Mukanya yang pucat itu malah seperti didempul bedak.

"Obatnya?"

"Udah klo itu."

"Juna susah itu, dok makanannya. Katanya nggak nafsu." sanggah ibunya lagi.

"Nggak papa, bu. Emang biasanya mual. Pelan-pelan aja. Terus air putihnya yang banyak." papar Diandra sabar. Diandra tak sengaja melirik pada seorang gadis yang duduk dibangsal yang kosong disebelah bilik Juna. Gadis yang dulu masih kecil tapi sekarang sudah berubah tinggi seperti kakaknya, namun dia nampak manis dengan mata lebar dan pipinya yang gembul mulai tirus ala anak-anak remaja sekarang.

HAIWhere stories live. Discover now