CHAPTER 12

5.2K 647 9
                                    

Diandra baru selesai berganti baju dan keluar dari kamarnya ketika ia mencium aroma sedap dari arah dapur. Ditambah lagi suara cicitan anak kecil dari taman belakang. Sore itu di rumah Diandra kembali menghangat.

Malam minggu ini semua sudah ada di Surabaya. Mas Barry suami kakak Diandra sudah kembali dari dinas, begitu juga papa yang kemarin dari Makasar. Kebetulan sekali Diandra tidak jaga malam. Sehingga mereka bisa makan malam bersama di rumah papa.

"Goreng apa, mbak?" tanya Diandra ketika melihat mbak Elma tengah menggoreng sesuatu dengan bunyi percikan minyak goreng. Mbak Elma menoleh sekilas dan melanjutkan masaknya.

"Dadar jagung. Dek tepungin ayamnya dong. Terus goreng pake wajan ini aja. Gue mau ngulek." ujar mbak Elma meniriskan dadar jagungnya. Diandra berdecak protes.

"Kok goreng ayam krispi sih? Perasaan klo masak sama elo mesti bikin ini." Diandra memang kurang suka ayam goreng krispi. Tidak sehat sekali katanya. Maklum dokter. Elma tak mengindahkan cicitan adiknya. Masih sibuk memasak ini dan itu.

"Siapa yang bikinin buat elo. Ini tuh doyanannya Arif. Klo nggak ayam krispi mana mau makan." Arif itu anak pertamanya Elma. Sudah bersekolah dan cerewetnya sama mirip Elma. Padahal papanya lumayan pendiam.

"Ya suruh kurang-kuranginlah. Minyaknya banyak banget tau. Nggak sehat." Diandra mengomel sembari tetap memblauri ayam mentah itu dengan tepung krispi. Lantas menggorengnya.

"Ayam goreng krispi itu enak, tante. Makanan segala umat." celetuk Arif yang masuk dari taman belakang sembari membawa tablet milik Elma. Dasar ini bocah, umur baru seumur padi saja mainnya sudah pakai tab. Dulu Diandra tidak begini amat.

"Yang enak tuh nggak sehat, dek." balas Diandra tak mau kalah.

"Yang sehat itu pait, tante. Klo kaya gitu makan aja obat terus." Lalu Arif masuk ke ruang dalam meninggalkan Diandra yang mencibir melihat kelakuan ponakannya itu. Elma terkekeh saja. Diandra melirik taman belakang lewat jendela dapur yang persis di depan penggorengan. Ryan anak bungsu Elma sedang di gendong papa bermain di tepi kolam ikan. Dulu, mamanya yang pelihara ikan-ikan emas itu. Sejak beliau meninggal, kolamnya terkadang di urus papa atau mbak Sum pembantu yang hanya datang pagi dan pulang sore di hari senin sampai jumat.

Dan mas Barry tengah naik tangga lipat membenarkan lampu teras belakang yang sempat mati.

Diandra menghela nafas panjang melihat papanya sumringah menciumi Ryan. Dia merasa menyesal sering meninggalkan papa sendirian di rumah kalau tengah berjaga di rumah sakit. Papanya tersebut mungkin akan pensiun dalam beberapa bulan ke depan. Dan itu pasti beliau akan merasa sangat kesepian dirumah. Tak ada istri, tak ada pekerjaan, anak sibuk bekerja. Setidaknya, rumah Elma hanya berjarak dua komplek dari sini sehingga masih dapat mengunjungi kalau bosan.

"El, anakmu minta susu." Tak sadar, papanya sudah masuk ke dapur menyerahkan Ryan kepada Elma yang langsung ia gendong bayi gendut itu. Kemudian papa duduk meminum kopi luwak buatan Elma tadi.

"Nggak malem mingguan, Di?" tanya papanya ketika Diandra meniriskan ayam goreng yang terakhir. Diandra mengernyit.

"Ya inikan malem mingguan, dirumah." jawab Diandra seadanya.

"Maksudnya nggak jalan gitu, kencan...kali."

Deg.

Diandra tahu apa maksud terselubung papanya ini. Wanita itu meringis kecut.

"Mmmh, nggak ada temen yang diajak jalan, pa."

"Pacar?"

Belum sempat Diandra menjawab pertanyaan otoriter papanya, Elma yang kepalang cablak itu duluan menyanggah jawabannya.

HAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang