CHAPTER 33

3.8K 426 44
                                    

Aneh. Sungguh aneh. Sejak malam itu Juna seolah membuat jarak. Tak terlihat kentara, tapi Diandra bisa merasakannya. Malam sehabis membeli cincin dan makan malam, Diandra mendapati pacarnya itu diam saja dan tampak tak bersemangat. Hanya menjawab ketika ditanya. Tetap menciumnya tapi tidak hangat. Dingin.

Dikirimi pesan pun dibalasnya lumayan lama dan seadanya. Terlihat ogah-ogahan dan tak antusias. Diandra jadi khawatir. Kenapa dengan Juna? Apa terkena sindrom pra nikah? Tapi biasanya kan yang mengalami itu calon pengantin wanita.

"Kamu kok suaranya lemes gitu sih? Nggak seneng ya aku telpon?" nada Diandra terdengar merajuk untuk Juna seorang. Diandra benar-benar khawatir, Juna punya masalah dan tak mau membaginya pada Diandra.

"Capek, sayang. Kerjaanku numpuuuk banget. Maaf ya. Ntar aku jemput kamu kok. Kamu selesai shift jam tujuh kan?" terdengar suara bariton Juna yang serak.

"Iya. Ya udah. Ada masalah dikantor? Kamu udah makan?"

"Enggak sih, cuman emang lagi numpuk aja ini bikin rundown program baru. Udah kok tadi nitip OB nasi campur. Cuman aku mau turun, ngopi. Suntuk."

Tuh, Diandra saja tidak ditanya balik sudah makan apa belum. Diandra jadi merasa ada yang berbeda.

"Ya udah deh, aku tutup ya. Nanti malem klo udah di depan RS kabari. Love you."

"Bye."

Kali ini tanpa dibalas ungkapan cinta juga. Diandra menghela nafas kecewa. Masuk kembali ke lorong rumah sakit dan berjalan menuju ruangannya dimana ia melihat dari kejauhan Candra tersenyum berjalan menuju ke arahnya. Akhir-akhir ini Diandra tak melihat Candra deh. Karena dokter muda itu sedang sibuk ke luar kota.

"Hai." sapanya lembut mengacak poni Diandra, tapi cewek itu lebih cepat menyingkir. Tersenyum masam. Sudah tahu tabiat musuh tengilnya itu.

"Hai juga. Kapan balik?"

"Kemarin. Gimana, udah ngurus 'itu' kan?"

Diandra menatap tajam pada Candra yang tak terpengaruh akan tatapan itu. Karena Candra tahu, selama ini sikap Diandra yang seperti itu hanya pertahanan diri saja. Sebetulnya Diandra sangat menginginkan sekolah menjadi dokter spesialis tersebut. Dan 'itu' yang dimaksud Candra memang itu.

"Gue kan udah pernah bilang jangan ungkit-ungkit lagi! Gue udah serius nggak mau! Jangan sampai ini kedengeran orang, Can!!"

"Ini kesempatan lho, beneran mau ditinggal?" ejek Candra. Wanita itu menggeram emosi.

"Gue mau nikah."

Seperti sebuah penyakit. Menjalar ke relung hati dan meledakkan bom tepat di jantung Candra. Seringaiannya hilang, diganti tatapan syok.

"Apa?"

"Gue mau nikah. Dan gue milih pacar gue. Bukan lanjut sekolah." jelas Diandra dingin.

"Sama cowok itu? Cowok yang nggak pernah dukung cita-cita lo? Mau jadi apa pernikahan lo ntar, Di?!" desis Candra sengit membuat Diandra mengerutkan kening. Melirik sekitar ketika beberapa pasien berlalu lalang ikut melihat peraduan mereka.

"Mending bahas ini di ruangan gue!" kata Diandra tajam dan pergi mendahului Candra.

***

Juna berjalan menuju lift ketika ia melihat Nayla berdiri di depan lift, menunggu. Wanita bersetelan kerja dominan warna abu-abu tersebut juga melihatnya.

"Hai, Nay."

"Hai, Arjuna." lalu Nayla kembali menunggu pintu lift terbuka.

"Mau kemana?" tanya Juna cuman basa-basi. Sesungguhnya dia sedang lesu kepikiran Diandra dan segala beasiswa sekolah lanjutannya.

HAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang