CHAPTER 35

3.8K 492 77
                                    

Juna membasuh mukanya dengan air dingin di wastafel. Bermaksud menghapus gurat-gurat beban di mukanya namun nihil. Wajah putus asa itu masih menempel dan berbekas. Dipandangnya pantulannya sendiri di cermin, Juna tidak menjadi dirinya sendiri. Lelaki itu menghela nafas besar, mematikan keran wastafel, dan memilih berlalu dari toilet.

Sekembalinya ke meja kerja, Juna segera membereskan berkas-berkasnya dan hendak pulang. Ketika menuju lift, banyak teman kerjanya juga melakukan hal yang sama.

"Lo kenapa? Suntuk banget?" celetuk Paul melihat ekspresi Juna yang loyo.

"Tanggal muda lho, Jun. Udah ludes buat bayar utang ye?" Jenny menimpali.

"Buat bayar cicilan gedung sama katering oiy. Juna kan udah goes to pelaminan bentar lagi. Kemaren aja baru lamaran." goda mas Sandy si produser mengompori. Sialan, ember juga ini mas Sandy. Juna menyesal sudah memberitahukan bosnya satu itu kalau sudah lamaran.

"Woee...pecah teloorr. Undangannya lewat kurir, Jun. Jangan lewat whatsapp. Ntar gue buwuh lewat whatsapp juga. Gue foto amplopnya trus kirim deh." seketika semua teman-teman disitu tertawa. Juna cuman tersenyum kecut.

"Nanti ya." Ya, nanti. Entah kapan undangan itu terkirim.

***

Arjuna Hanggara : aku dikafeteria RS kamu

Diandra terbelalak mendapati satu pesan yang masuk setengah jam lalu. Dan merutuki diri sendiri. Dia baru saja selesai menjahit luka lengan pasien yang habis kecelakaan kerja. Segera saja Diandra mencuci bersih tangannya dan beranjak dari ruang UGD. Berjalan cepat menuju kafeteria yang letaknya di belakang lobby.

Wanita itu berpikir heran, dia sudah memberitahu Juna kalau kedapatan shift malam. Tapi mendadak kekasihnya itu berada disini. Untuk apa? Mengajak makan malam? Romantis sekali. Dari kejauhan, Diandra bisa melihat Juna yang duduk di bangku pojok kafe yang malam itu cukup sepi, menunggunya.

Juna memesan caffe latte di gelas kertas dan memandangi pemandangan malam dari jendela kafeteria ketika kursi di hadapannya berderit. Diandra nampak tersengal dan lelah namun tetap tersenyum.

"Sori lama, tadi ada pasien. Kok kesini? Ngapain?"

Juna menarik senyum seadanya, lalu menyesap kopinya sejenak.

"Kamu udah makan?"

"Belum."

"Pesen makan dulu gih."

"Nanti aja. Aku nggak bisa lama-lama sih, sayang. Bentar aja ya?"

Aduh, Juna hampir runtuh pertahanannya ketika ucapan 'sayang' terlontar dibibir manis Diandra. Sekuat tenaga Juna fokus pada maksudnya untuk kemari.

"Ya udah. Nggak minum?"

Diandra mengerutkan hidungnya lucu dan mengambil alih gelas kopi Juna. Meminumnya seteguk sampai busa latte tercecap di tepi mulut. Juna terkekeh kecil.

"Aku kesini juga bentaran aja kok. Udah malem."

"Oke, jadi?"

Juna menghapus jejak tertawanya, menggantinya dengan ekspresi serius dan tabah. Menatap sendu pada iris madu Diandra yang sejak dulu selalu memikatnya. Tak ada yang lain. Hanya Diandra.

"Ndra. Kita...break dulu aja ya?"

Senyum cantik itu menghilang. Diandra membisu. Bukan apa-apa, dia bingung.

"Break?"

"Iya." Juna segera menunduk menatap lattenya yang tidak apa-apa.

Diandra menatap ke segala arah. Lalu kembali pada Juna.

"Maksudnya istirahat? Kamu mau istirahat?"

"Ehm. Ya. Kita...butuh jarak. Sampai kita bisa memahami perasaan kita masing-masing."

Barulah kini Diandra menyadari arti kata istirahat yang diminta Juna. Lelaki itu meminta putus darinya. Dan Diandra terhenyak di tempat.

"Apa? Perasaan apa yang kamu maksud? Aku nggak ngerti..." tanya Diandra linglung.

"Kita intropeksi diri sampai kita tahu apa yang kita mau, Ndra." jelas Juna lembut tak ingin menyakiti meskipun dia tetap tersakiti. Apalagi melihat raut Diandra yang berubah tak percaya.

"Untuk apa, Jun? Aku sudah tau apa yang aku mau..."

"Nggak buat aku, Ndra. Aku...butuh waktu..."

Diandra mengatupkan mulutnya. Hampir ia mengerang merasakan hatinya yang perlahan sakit dan menyebar bak virus sampai ke tulang sumsumnya. Jadi begini akhirnya? Lelaki ini sudah tak ingin berjuang? Apa gara-gara kecerobohan kecil Diandra membuat Juna jadi ragu? Seberapa jauh jarak yang diminta Juna? Dan seberapa lama waktu untuk istirahat? Apa Diandra bisa menunggu?

"Ini mau kamu?" tanya Diandra menekan kuku-kukunya dari balik meja menahan supaya air mata tidak jatuh. Menahan nafasnya.

"Ya." jawab Juna mantap tapi tak mau menatap Diandra.

"Berapa lama istirahat itu?"

"Aku nggak tau. Aku...perlu waktu."

"Setelah semua yang terjadi? Lamaran, pernikahan, dan semuanya. Kamu milih berhenti?" tanya Diandra mencoba menjauhkan rasa sakit pada lukanya.

Juna diam seribu bahasa. Menyatukan kedua buku jemarinya seperti berdoa. Dan dia menunduk dalam berperilaku bak pendosa. Dan disitulah harapan Diandra perlahan terkikis. Melihat Juna menyerah padanya, membuatnya tertohok. Karena sejarah terulang tuk kedua kalinya.

Tak butuh banyak waktu membuang detik tak berharga ini. Diandra tanpa babibu bangkit membuat Juna terkejut. Dia juga ikut bangkit dan sebelum wanitanya yang ia buat terluka itu pergi, dia mencekal tangannya.

"Andra..."

"Kalau ini mau kamu...aku bisa apa, Jun?"

Diberikannya tatapan amat hancur dari Diandra untuk Juna. Lantas dia berjalan pergi. Meninggalkan Juna yang megap-megap seperti terkena asma. Dia terduduk dan menutup mukanya ingin berteriak.

Maaf, Diandra. Aku minta maaf.

Ini semua demi kamu.

Ya, ini semua demi Diandra. Juna tak ingin menjadi penghalang Diandra. Juna ingin Diandra berbahagia meraih cita-citanya, tanpa harus dibebani oleh Juna. Dan Juna mengalah, untuk wanita yang ia cintai.

***

Diandra menutup pintu ruang kerjanya dengan amat sangat pelan. Menguncinya supaya tak ada satupun orang yang masuk menganggu dirinya yang ingin sendiri. Dan mendadak, tubuh mungil itu merosot ke lantai dengan ekspresi kosong. Matanya panas tapi Diandra tak bisa menangis. Mungkin karena terlalu sakit, Diandra tak bisa menangis. Atau bisa jadi karena Diandra sudah pernah mengalami kejadian ini. Sehingga air mata saja enggan turun.

Diandra melepas sepatu berhaknya yang terasa meremas kaki-kakinya. Lalu Diandra menopang dagu ke lutut. Ada ratusan pisau tak kasat mata menancap di ulu hatinya. Mengingat semua yang terjadi semenit lalu ialah nyata. Ini yang diinginkan Juna pada akhirnya ketika rahasia Diandra terbongkar. Maka dari itu Diandra lebih memilih menyimpan itu rapat-rapat, tapi takdir berkata lain.

Diandra memejamkan matanya yang berat, mengulang apa saja yang pernah ia jalani dengan Juna, mantan kekasihnya itu. Sepuluh tahun berpisah, diketemukan, lalu endingnya sama saja. Juna sudah menentukan pilihan bahwa mereka harus putus, ketika Diandra sudah membulatkan tekad untuk memilih Juna. Dan Diandra hancur dibuatnya.

Getaran kecil di saku jas dokternya terasa. Dengan lemah seolah Diandra sudah tak memiliki jiwa, diraihnya ponseln itu dan dibukanya satu pesan masuk.

Arjuna Hanggara : I'm sorry

Diandra hanya nanar menatapnya. Juna tak ingin berjuang lagi.

***

A/N :Kasian Diandra keseringan disakiti sampe gak bisa nangis LOL

HAIWhere stories live. Discover now