EPILOG

8.4K 554 32
                                    

Langkah Juna berhenti tepat di depan mading. Kepalanya menengok ke samping dimana lorong sekolah itu sepi. Lalu cowok tengil yang seragamnya sudah tidak rapi lagi itu menghela nafas lega.

Selamet,Pak Yusuf nggak ngejar gue

Dirasa keadaan sudah aman, Juna kembali melangkah bermaksud menuju belakang kantin untuk sekedar bobo-bobo ganteng, tapi tatapannya malah berhenti pada sosok seorang cewek berkuncir kuda berjalan di lorong depan memunggunginya. Senyum sumringah langsung terpatri di bibir Juna. Kakinya menghentak senang. Dia tahu gerangan siapa si gadis bertubuh mungil tersebut.

"Diandra!!"

Yang dipanggil, menoleh. Seperti ada gerakan lambat yang ditangkap Juna, bak film-film picisan di bioskop. Mendapati Diandra yang menatap balik ke arahnya, kemudian lambat laun tersenyum manis. Menyapanya di ujung lorong sekolah.

"Hai, Juna."

Juna berlari kecil penuh semangat menuju ke arah Diandra. Senyum ala cowok yang ingin mendekati lawan jenis. Sungguh, Juna menikmati perasaan ini.

"Kok smsku nggak dibales sih?"

"Tadi lagi pelajaran. Nanti ketauan Bu Sri." balas Diandra merengut. Duh, Juna jadi gemas.

"Lah sekarang kok keluyuran?" Juna tahu ini masih jam aktif pelajaran. Dia melirik tangan Diandra yang membawa buku-buku yang nampak tebal.

"Kalau sekarang lagi kosong. Mau balikin buku ke perpus. Kamu sendiri?"

"Hehe, cabut. Pelajarannya bosenin. Udah pernah."

Diandra mendengus geli melihat Juna yang nyengir tidak jelas. Tapi belum sempat dia kembali berjalan, tiba-tiba Juna meraih buku yang ia bawa membuat Diandra sedikit kaget.

"Aku temenin deh." katanya dan sebelum Diandra menolak, Juna sudah berjalan duluan.

"Ayo!"

Diandra memutar kedua bola mata bosan. Tapi saat ia melihat punggung Juna yang tegap, deguban jantung yang ia rasakan makin bertambah. Dan diam-diam dia tersenyum bahagia.

***

Diandra melirik kecil ke kiri, sejak tadi merasa dipandangi intens. Dan Juna sama sekali tidak merasa bersalah tuh sudah mengamati Diandra lama yang membaca buku tentang ilmu kedokteran yang berat bagi anak sekolah seusia mereka.

"Kenapa?" tanya Diandra berusaha tenang. Padahal mah Juna dapat melihat titik-titik merah muncul di sekitar pipi Diandra. Juna suka melihat rona malu Diandra ketika berbicara dengannya. Jadi ingin dikekepin. Tapi belum boleh, kan masih berstatus teman...tapi mesra.

"Nggak papa." kilah Juna masih bertopang dagu menatap Diandra.

"Terus kok ngeliatin aku? Ikut belajar sana."

Juna meringis.

"Liat kamu baca gituan aja aku udah pusing. Kamu nggak mabok emang, Ndra?"

Diandra yang mendengar itu terkekeh pelan. Maklum diperpustakaan. Untungnya hanya ada empat anak disitu. Dan penjaganya sedang asik menyumpal telinganya dengan earphone dan bermain ikan-ikanan dikomputer.

"Nggak sih. Soalnya aku suka. Ngelakuin apa yang kamu sukai itu nyenengin kok, Jun."

Kalau aku, kamu suka juga nggak sih, Ndra?

Teriak Juna dalam hati.

"Suka baca buku kedokteran. Habis lulus mau ambil kedokteran?"

"Hm, pengennya sih. Tapi biayanya mahal."

"Kan ada beasiswa."

"Nah makanya itu. Aku belajar. Buat ikut beasiswa."

Juna ber-ooh ria. Ya walaupun mereka masih kelas dua SMA, tapi Diandra sudah menyikapi impiannya dengan baik dan benar. Cewek cerdas. Juna jadi kagum. Suka juga, naksir juga.

"Terus, nanti gedenya mau jadi dokter apa?"

Diandra nampak berpikir dan menerawang. Asli, ekspresi mukanya yang alami tidak dibuat-buat, surai rambut nakal yang tidak ikut terkuncir menghiasi mukanya yang berseri, sorot matanya bersinar membayangkan mimpinya, membuat Juna tertegun. Dan disaat itulah, meskipun Juna masih anak ingusan, dia mematenkan diri bahwa Diandra satu-satunya gadis yang ia inginkan suatu saat nanti jadi pendamping. Ya pendamping dikala suka dan duka, seperti pacar gitu, atau istri. Duh muluknya. Tujuh belas tahun saja baru-baru ini.

"Mau jadi dokter bedah sih. Dulu tuh liat mama pakai baju operasi, terus ngajarin aku gimana cara ngebedah yang pakai contoh boneka, aku seneng banget. Asik aja, ngabayangin tubuh manusia diubek-ubek gitu. Hahaha."

Juna memasang tampang ngeri membuat Diandra semakin menutup mulutnya untuk tertawa. Lucu dari mananya? Kalau Diandra sih emang lucu anaknya.

"Eh tapi kalau kamu semisal ubek-ubek aku, ambil aja liverku."

"Kenapa?" tanya Diandra bingung. Yang ditanya malah cengengesan.

"Soalnya kan liver(hati)ku buat kamu seorang."

Blusshh..Merah padam muka putih Diandra. Dan tanpa babibu, tanpa ragu-ragu juga, Juna refleks mencubit pipi Diandra gemas sekali. Cubit-cubit sayanglah.

"Apa sih sumpah, gombalnya jelek banget nggak lucu."

"Hahaha. Tapi bener lho, Ndra." timpal Juna dengan sisa gelak tawa. Duh ini orang di perpus pada kemana? Kok rasa-rasanya sepi, bantu Diandra mengatasi salah tingkah ini.

Juna memandangi kembali Diandra. Merasakan perasaan yang membuncah melihat Diandra selepas itu membicarakan cita-citanya. Bahagia, tidak dibuat-buat, apa adanya. Jika suatu saat Juna bisa menemani Diandra sampai berhasil meraih mimpinya, pasti Juna juga yang menjadi salah satu cowok bangga.

"Ndra..."

"Hm?"

"Boleh nggak sih, aku jadi orang yang nemenin kamu...sampai kamu berhasil gitu?"

Diandra terpana, mulutnya yang semula tertutup kini terbuka dengan terkejut. Sedikit paham makna perkataan Juna tapi masih belum berani mengeksplornya lebih jauh sebelum...

"Maksudnya apa, Jun?"

"Boleh jadi pacarmu nggak?" bisik Juna tanpa jeda.

Seperti ada kupu-kupu berterbangan di perut Diandra. Kupu-kupu yang selalu ia tahan-tahan untuk tidak terbang semua karena sesungguhnya, Diandra menanti hari ini. Hari dimana Juna menembaknya. Karena mereka sudah cukup lama dekat. Perlakuan lembut Juna padanya, pesan-pesan yang ia terima, dan kini terlaksana sudah. Seribu kupu-kupu itu menari dengan gembira.

Juna meraih jemari Diandra dan menggenggamnya di bawah meja perpus, mengintip sana-sini takut ada yang melihat padahal mah perpus masih sepi. Lantas dia memandang tepat di manik mata Diandra dengan tenang, tapi jejak penuh harap juga terpatri disana.

"Boleh?"

Diandra menunduk, tersipu-sipu. Semenit kemudian, dia meremas jemari Juna. Malu-malu dia melirik Juna lalu tersenyum kikuk.

"Boleh kok."

Juna tersenyum lepas. Menampakkan gigi-gigi putihnya. Mengusap puncak kepala pacar barunya itu. Kalau nanti sudah bukan di tempat umum, Juna pasti akan memeluk Diandra karena kepalang bahagia.

Juna berjanji, dia akan mendampingi Diandra. Sampai suatu hari Juna melihat dimana Diandra menjadi dokter yang hebat. Memakai jas putih keren, memasang stetoskop di telinganya. Walaupun mereka masih anak bau kencur, tapi harapan itu dipupuk saat ini oleh Juna. Karena itu impian Juna. Tidak ada salahnya.

Dan Diandra juga melakukan hal yang sama. Dia akan terus di sisi Juna, menemani Juna. Supaya Juna juga terus menemaninya. Sampai kapanpun.

-FIN-

***

A/N : Yuhuu selesai sudah Juna dan Diandra. Jangan minta extra part deh nggak tahu bikin yang kudu gimana lagi. Kecepetan? Dari dulu udah bikin endingnya bakal gini lho hehe. Epilognya ini balik ke zaman jahiliyah pas mereka masih sekolah ya. Kaya mendadak pengen nostalgia dimana mereka pertama kali pacaran. Udah ada janji di dalam hati bakal begini,eh kesampaian kalau jodoh mah gak kemana ;)


HAIWhere stories live. Discover now