CHAPTER 6

6.1K 716 30
                                    

Juna mengamati perawat yang sedang mentensi lengannya. Kali ini perawat itu laki-laki. Sekitar umur dua puluh dua mungkin. Terlihat seperti amatiran dan Juna was-was kalau-kalau perawat itu salah menancapkan jarum suntik ke bagian yang salah.

Lalu matanya berpaling ke arah Diandra yang berdiri di sebelah perawat. Membaca papan catatannya dengan serius sembari mencentang beberapa catatan. Jas putih yang dipakai Diandra jatuh sempurna ke tubuhnya. Kancingnya sengaja tidak disatukan, memperlihatkan kemeja abu-abu polos serta rok hitam selutut membuat Diandra nampak feminim. Dan entah sudah berapa kali Juna tertawan akan pesona Diandra.

"Infusnya mau habis, dok." lapor perawat laki-laki itu pada Diandra. Juna tak percaya ketika Diandra menatap perawat itu tajam seolah marah.

"Ya diganti dong!" ketusnya lalu kembali membaca. Si perawat menciut cepat-cepat mengganti infus Juna. Lelaki itu menahan tawanya malah.

"Kamu jangan galak-galak, Ndra. Kasian perawatnya tadi langsung bingung." kata Juna terkekeh setelah perawat amatir tadi pergi. Diandra hanya mendengus kecil memeriksa kerjaan perawat tadi sudah benar.

"Kudu digalakin, Jun. Perawat disini suka nyeleneh. Ngomong besar, tapi kerjanya lelet." ujar Diandra malas. Juna hanya tertawa saja.

"Masih mual?"

"Masih."

"Trombositmu makin turun nih. Lemes banget kan kamu?" tanya Diandra cemas. Memeriksa Juna dengan stetoskop.

"Iya, Ndra. Ke kamar mandi kudu ada yang megangin. Soalnya suka kaya orang mabok."

Diandra menahan senyum, "emang pernah mabok?"

"Hehe, enggak sih." Juna cengengesan. Dia menikmati untuk mengamati Diandra yang sedang serius. Keningnya itu akan berkerut lucu, matanya fokus, dan pikirannya seperti berhenti di satu titik saja. Dan itu menawan sekali.

"Klo mual muntahin aja, Jun. Nggak usah ditahan. Lemes langsung minum air, makan. Nanti aku tambahin obat penambah nafsu makan." Diandra menuju ke nakas Juna. Meraih sebotol air mineral, memasukkan sedotan dan membantu Juna minum. Kalau pagi, anak itu memang sendirian.

Dengan sabar, Diandra membantu Juna hati-hati. Membenarkan letak bantal supaya Juna merasa enak. Membantu minum, mengupaskan buah, menungguinya meskipun sepuluh menit lebih lama ketimbang pasien lainnya. Dan Juna mau tak mau terenyuh hatinya. Siapapun yang menjadi suami Diandra saat ini, amatlah beruntung.

Jegrek.

Diandra menoleh ke arah pintu yang terbuka. Dan sosok pembuka itu muncul.

"Assalamualai..lho, Diandra?!"

"Romi?"

***

Romi menyaksikan sendiri dengan kedua matanya, setiap tingkah laku Diandra terhadap Juna. Malah ia meragu, apakah itu bentuk tingkah laku dokter ke pasien, teman ke teman, atau sesuatu ke sesuatu.

"Nanti klo ada waktu, aku usahain kesini lagi ngecek kamu. Aku keliling dulu ya." pamit Diandra kepada Juna. Lelaki itu mengangguk terpaksa.

"Rom, gue kerja dulu ya."

Romi tersenyum. Meluruskan kedua tangannya yang tadi sempat ia peluk.

"Oke, semangat kerjanya bu dokter cantik." goda Romi membuat Diandra meleletkan lidah lalu ngeloyor pergi. Sepeninggal Diandra, Romi segera melebarkan bibirnya yang membuka. Terperangah.

"Enak banget lu ye, bisa main dokter-dokteran sama Andra! Kenapa nggak bilang di grup klo yang meriksa lo itu dia? Takut ditikung heh?" Romi menjitak kepala Juna yang segera disusul suara kesakitan.

"Sakit bego! Gue juga awalnya nggak tau klo dia yang megang gue di UGD. Gue pingsan. Besoknya dia dateng,meriksa gue." protes Juna dan Romi sama sekali tak percaya. Hanya nyengir mengejek.

"Aku kamu lagi manggilnya. Duh, ati-ati ce-le-bek mampus lo." kutuk Romi meraih kursi dan duduk di samping Romi. Juna membuang nafasnya berat, pasrah.

"Nggaklah. Dia udah punya anak, Rom." Otomatis mata Romi membelalak terkejut. Sumpah ini informasi baru yang tak kalah mengejutkan setelah mendengar Juna opname.

"Heh? Tau darimana lo?"

"Sebelum ketemu disini, gue pernah ketemu Andra di Royal. Dia bawa anaknya main gitu." Romi melihat Juna yang langsung bermuka sedih, membuang muka ke jendela dan menerawang jauh disana.

"Lo masih berharap ya sama dia?" tanya Romi perlahan.

Juna termenung sejenak seraya berpikir sendu, "Ninggalin Andra, berpengaruh ke kehidupan gue banget, Rom."

"Itu namanya lo nyesel, Jun. Ya gimana ya. Gue pasti juga nyesel klo liat mantan kita tuh berhasil ketimbang kita. Berasa kaya diketawain gitu gue." ujar Romi mendramatisir. Meraih apel milik Juna dan menggigitnya.

"Bukan kaya gitu. Bego ah lo! Maksud gue... Gue nyesel, kenapa gue mutusin buat ninggalin dia tanpa kata, kenapa gue nggak pertahanin dia, dukung dia sampe dia sukses. Rasanya ngeliat dia ngelangkah jauh tanpa kita disampingnya, terus posisi itu digantiin orang lain, it feel...weird, bad, and empty."

Romi mengangguk-angguk paham. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Karena dari sananya, awal mula yang berbuat salahkan Juna. Dulu Juna meninggalkan Diandra yang sibuk belajar untuk mengejar beasiswa sekolah kedokteran. Juna yang masih abg labil merasa terabaikan penuh. Sehingga ia bermain api. Juna menyerong kaya kata changcuters. Serong kanan dan kiri.

Ada Sarah, si cantik lain dari kelas junior. Tertarik padanya, dan Juna pun membalas. Tanpa bicara apa-apa, klarifikasi apa-apa, Juna berpacaran dengan Sarah. Membalas sikap Diandra yang mengabaikannya. Hingga gadis itu terdiam, pergi meraih cita-citanya sendiri.

Dan sekarang, sepuluh tahun kemudian Juna yang lagi-lagi tak bisa mempertahankan hubungan dengan wanita begitu lama, bertemu dengan Diandra yang sukses, memiliki anak, dan nampak membahagia. Membuat hati kecilnya menangis.

"Ck. Ya udeh. Mau gimana lagi sekarang. Move on ajalah. Lo udah terlambat banget klo lo mau balik sama Andra. Lo ngabisin waktu klo cuman buat menyesali masa lalu. Kan lo pernah ngomong, what happen in the past, stay in the past. Ntar gue kenalin cewek lain deh."

Juna memutar matanya bosan. Sudah berapa kali Romi mengenalkan gadis kepadanya dan tak ada yang tepat. Juna bukannya tidak laku, hanya saja semenjak ia bertemu dengan Diandra kembali dua tahun lalu di acara reuni, tipenya jadi lebih kolot. Minimal, yang mirip Diandralah.

Romi menghabiskan apelnya, lalu membuang tangkainya ke sampah. Bangkit berdiri untuk pulang.

"Gue ngantor deh, ya. Ntar weekend gue kesini lagi sama anak-anak. Pulang kapan sih lo?"

"Nggak tau. Trombosit gue aja masih rendah."

"Alah, alesan aja aslinya masih pengen nempel-nempel Andra." gerutu Romi main-main. Juna mendengus.

"Percuma nempel. Punya orang!"

"Baper, bang? Curhat ke mamah dedeh sana." kekeh Romi.

"Basi lo!" sungut Juna. Kalau saja dia punya energi, dilemparinya Romi dengan botol jus.

"Pergi dulu yow! Makan lo yang banyak biar sembuh."

"Yoo." Dan Romi pergi meninggalkan Juna yang kembali merasa kesepian.

***

HAIWhere stories live. Discover now