CHAPTER 14

4.8K 614 33
                                    

Juna memarkirkan mobilnya di dekat sepetak taman rumah sakit tempat Diandra bekerja sembari merokok menunggu dokter pujaan hatinya selesai. Keduanya sudah sepakat untuk bertemu pukul setengah enam sore di hari Minggu untuk makan malam bersama dan Juna menjemput Diandra di rumah sakit.

Ketika tanpa sadar, pintu penumpang disebelah kirinya terbuka mendapati Diandra sudah masuk dengan setelan kerjanya warna biru navy, sudah melepas jas dokternya. Juna tersenyum simpul dan segera mematikan rokok itu untuk mengendarai mobil. Tak urung merasa malu karena tertangkap basah tengah merokok lalu melihat tatapan tak suka dari Diandra.

"Kamu masih ngerokok?" sapaan awal Diandra sengit. Juna tertawa masam.

"Iya. Tapi udah nggak sering kok."

"Tetep aja nggak sehat, Juna! Aku nggak mau lho ketemu kamu lagi di UGD." protes Diandra memasang sabuk pengamannya dengan kasar.

"Astagfirullah, Andra. Doanya kok jelek gitu?" melas Juna.

"Ya kan salahmu sendiri. Ngerusak jantung pake cara pelan-pelan amblas. Terserah kamu deh, aku bukan siapa-siapa juga ngapain ngelarang." ujar Diandra menatap lurus ke depan.

Perasaan Juna makin sepet. Apa maksud omongan Diandra tadi? Apa ini kode untuk status mereka? Karena bingung harus membalas apa, Juna memutuskan untuk diam dan menjalankan mobilnya. Membiarkan amukan Diandra menguap dengan sendirinya sampai dia calm down sendiri.

"Maaf ya, Ndra. Ini udah aku kurang-kurangin kok beneran. Jangan marah gitu dong." ucap Juna membujuk Diandra setelahnya. Wanita itu tampak membuang nafas, dan mengangguk.

"Aku ngingetin kamu, Jun. Rokok itu garis keras banget buat aku. Sudah tau ngerusak masih aja dipake. Kamu belum pernah tau sih, udah brapa kali aku nanganin pasien yang sakit gara-gara rokok. Bahkan sampai meninggal." jelas Diandra sedih. Juna hanya menunduk, menyesali perbuatannya.

"Iya, aku tau. Janji, bakal belajar berhenti. Nggak bisa langsung juga kan. Kudu proses. Hehehe." Diandra hanya menggeleng-geleng malas melihat Juna yang cengengesan. Lihat dia, sudah sembuh dan kembali dengan sifatnya yang gokil. Padahal kemarin pipis saja minta antar, makan merengek-rengek terus, dan hanya bisa lemah tidur di ranjang.

"Jadi mau makan dimana?"

Juna berpikir sejenak lalu tersenyum.

"Sushi tei TP mau nggak?" usulnya bersemangat. Diandra sedikit mengernyit menatapnya.

"Nggak papa makan disitu? Makan penyetan aja nggak papa kok, Jun."

"Kan aku yang traktir, Ndra."

"Ya nggak usah yang mahal-mahal sih."

"Nggak papa. Nggak sampai gadaiin rumah kan." Diandra tertawa meremehkan guyonan receh Juna.

"Sholat magrib dulu ya?" tawar Juna ketika adzan magrib berkumandang di sela-sela perjalanan mereka. Diandra mengangguk setuju.

***

Selepas sholat berjamaah di masjid frontage road daerah Ahmad Yani, Juna hendak keluar ke depan untuk memasang sepatu ketsnya ketika ia harus melewati area jamaah wanita. Jendela di area itu terbuka lebar menampakkan isi di dalamnya membuat Juna bisa melihat siapa yang ada disitu.

Hingga langkahnya terhenti dan terpaku akan sosok yang selalu mengisi lubuk hati dan pikirannya selama ini. Diandra dengan mukena putih bersih, memejamkan mata, menengahdahkan kedua tangannya, berdoa dengan khusyuk. Lalu kemudian kembali bersujud meminta doanya yang terakhir. Juna tak bisa menahan perasaan indah akan hal ini. Bagaimana bisa ia sanggup melepaskan Diandra kalau wanita itu merupakan sosok yang begitu berpengaruh bagi hidupnya. Melihat wanita itu sholat, membuat getaran hangat menjalar diseluruh saraf Juna.

HAIWhere stories live. Discover now