CHAPTER 36

3.8K 514 56
                                    

A/N : Hai! met pagi. Aku update pagi-pagi soalnya ntar malem mau karaokean sama temen :p takutnya nggak sempet. Oh ya, yg mau deket sama aku, citcat nggak jelas, atau cuman sekedar kepo wajahku, boleh follow igku (promosi nambah folower biar banyak) di permatasariayu_ 

aku juga kepengen tau sih wajah reader2 yg suka baca itu kaya gimana biar kenal biar makin sayang :D tengkyu tengkyu juga yg chapter kemaren komen alamak banyak yg marah2 sama mas juna :( padahal mas juna baik,ngalah gitu buat diandra gitu kan tapi mungkin caranya salah haha

***

Bunda Ria dan Papa tengah sarapan bersama sembari mengobrolkan hal-hal kecil. Ketika suara mobil sedan milik Papa terdengar, membuat bunda berhenti sejenak untuk makan dan bangkit keluar. Diandra menutup pintu mobil dan menunduk.

"Di, udah pulang. Sarapan dulu yuk." ajak bunda. Barulah Diandra mengangkat wajahnya yang babak belur. Kantung mata menghitam, bola matanya memerah, dan sangat kacau sekali. Bunda sampai terhenyak, apa sampai begini ya kerja shift malam? Seburuk itu?

Diandra mengeluarkan senyum terpaksa yang hasilnya mengerikan dan menggeleng.

"Capek, bun. Ini titip kunci mobil papa. Aku mau tidur dulu."

"Mandi dulu gih pakai air anget. Atau bunda bawain makanan ke kamarmu gimana?" tanya bunda mengikuti Diandra yang hendak naik ke lantai dua.

"Nggak usah, bun. Didi cuman mau tidur."

Bunda Ria terpaku sepeninggalan anaknya. Dia kembali ke meja makan menyerahkan kunci mobil ke suaminya yang masih makan.

"Mas, anakmu kok murung gitu?"

"Biasalah kalau shift malem kecapekan. Kalau laper nanti dia turun sendiri." jawab Papa. Tapi perasaan seorang ibu jelas lebih peka. Seperti ada yang tidak beres dengan anak tirinya tersebut.

***

Diandra menutup pintu kamar dan menguncinya. Meletakkan tasnya sembarangan di lantai dan terhuyung duduk di tepi ranjang. Menatap hampa pada pemandangan pagi dari balik jendela. Diperiksanya ponsel, banyak sekali notifikasi pesan masuk dari Juna yang ia abaikan. Buat apa? Toh Juna sudah memutuskan hubungan mereka. Lamaran, rencana pernikahan enam bulan lagi telah kandas. Juna butuh jarak, Diandra menuruti, tapi kenapa Juna masih menganggunya dengan permintaan maaf? Apa pengaruhnya?

Diandra memilih mematikan ponselnya karena tak ingin diganggu, dan meletakkan benda itu di nakas ketika matanya bersiberok dengan sebuah foto berpigura manis. Foto hitam putih yang penuh kenangan dirinya dengan Juna semasa SMA. Mata Diandra berkaca-kaca, menatap dalam pada foto tersebut seolah mengatakan bahwa selembar cetak hitam putih itu ialah bukti bahwa Diandra pernah berjuang bersama Juna. Junanya yang dulu bandel, tengil, lucu, tapi menawan. Yang selalu ada untuknya, dan akan ada di ujung lorong menyapa Diandra.

Pertahanan Diandra luntur sudah, tangis yang sejak semalam tak bisa keluar gini turun dengan derasnya. Tak ingin sampai orang rumah tahu, dia sampai menutup bibirnya yang terus mengeluarkan isakan dari tangis histeris itu. Harapan yang ia rajut bersama sudah putus talinya. Dan ini adalah salah satu titik terendah Diandra, dia tak tahu harus melangkah kemana ketika Juna akhirnya meninggalkannya. Tuk yang kedua kali, dalam satu masalah yang hampir sama persis. Luka yang sempat tertimbun akan cinta, terkuak kembali dan semakin melebar membuat suatu black hole dimana bisa menyedot sebuah harapan seorang Diandra.

Diandra terus menangis seraya menjatuhkan foto berpigura merah muda itu untuk ditutup. Seperti semua kisahnya yang siap ditutup. Meskipun Diandra tak tahu, selepas ini dia harus bagaimana. Karena setiap langkah yang ia ambil, Juna meninggalkan bekas yang paling dalam.

HAIWhere stories live. Discover now