CHAPTER 31

4K 439 19
                                    

A/N: Mumpung libur yee besok lama updatenya ^^v

***

Diandra baru saja kembali sehabis dari visit pasiennya dan hendak istirahat sejenak di ruangannya ketika dia berpapasan dengan Candra. Dia menyadari ada senyum kecil nan misterius disudut bibir Candra.

"Ada kabar bagus?" selidik Diandra. Candra tidak menjawab, dia malah mengusap poni Diandra dengan gemas dan wajahnya menghangat.

"Can, apaan sih!" kelah Diandra ketika Candra berusaha mengacak-acak rambut rapinya. Lelaki itu terkekeh amat damai.

"Gue tau pasti lo nggak akan tahan buat nggak apply." ujarnya dengan nada pelan namun cukup menyengat saraf tubuh Diandra. Bahkan gadis itu tak bisa bicara sampai Candra lebih dulu berlalu dari hadapannya. Dengan gusar, Diandra melangkah cepat menuju ruangannya ketika suster Vina datang dari sisi lain.

"Kak Vina, tadi ada yang masuk ruanganku?" tanya Diandra tersengal.

"Eh? Iya tadi dokter Candra, dok. Dia nyerahin laporan pasien UGD yang baru. Cek aja di mejanya dokter." seketika itulah bahu tegang Diandra berubah loyo. Candra pasti memergoki surat-surat yang ada dikantornya. Betapa lancangnya lelaki itu.

Diandra masuk segera dan memandang ke mejanya. Betul saja. Surat yang bercap nama kampusnya dulu yang ia selipkan dibarang-barangnya, kini terlipat rapi di mejanya. Tanda bahwa ada seseorang yang sudah membacanya selain Diandra. Wanita itu mengerang jengkel. Merebahkan pantatnya ke kursi putar dan bertopang dagu. Sembari menatap sayu pada surat putih resmi tersebut.

Surat yang setengah mati ia sembunyikan supaya tak diketahui orang. Terutama Candra dan Juna. Mengapa setelah menerima surat itu, Diandra tak langsung membuangnya saja kalau tidak ingin orang lain tahu? Atau membakarnya supaya tak ada jejak. Atau juga sekalian menolak pemberian kurir akan surat tersebut.

Tapi setengah hati Diandra tak bisa. Separuh dirinya membuncah setiap membaca bait perbait kata yang tertulis disitu. Rasanya ia juga ingin menyimpannya, memberinya pigora, dan dipajang di sudut kamarnya yang gelap dan hanya Diandra saja yang bisa membacanya.

Hati Diandra terbelah. Merasa takdir sedang mempermainkannya. Dia diberi kesempatan sekali lagi untuk memilih jalan hidupnya sekarang. Memilih Juna dan menikah. Atau memilih surat tanda kelulusan studi spesialisnya yang-super-duper-padat dan mungkin sejarah akan terulang kembali.

***

Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan dan Diandra baru selesai dari pekerjaannya. Dia lelah bukan main. Musim hujan di Surabaya menjatuhkan banyak sekali pasien kemari. Apalagi Diandra bekerja dengan pikiran yang berkecamuk. Double tersiksanya.

"Pulang?" sebuah suara menyapa Diandra yang lesu. Diandra melirik malas dan setengah jengkel pada Candra. Si biang kerok yang suka kepo urusannya. Gayanya saja sok cool.

"Iya." jawab Diandra singkat dalam mode ngambek. Bermaksud mengusir Candra, tapi lelaki itu malah mengiringi langkahnya menuju lobby.

"Bareng gue yuk."

"Males."

"Kenapa sih?"

Kenapa? Lelaki ini beneran tidak tahu apa kesalahannya. Diandra berhenti berjalan dan menatap Candra tajam.

"Lo jangan ngobrak-abrik tempat kerja gue bisa nggak sih, Can?!" kata Diandra yang mulai mengeluarkan kekesalannya sejak siang tadi. Tapi yang dimarahi hanya menaikkan kedua alis.

"Nggak sengaja tadi."

"Alesan bego! Sekali lagi lo ulangin, gue nggak mau ngomong sama elo lagi!"

Ancaman loyo yang tak membuat Candra gentar. Ia malah melakukan sebaliknya marah, menyeringai puas.

"Setidaknya lo bakal jadi dokter spesialis bareng gue."

Cukup sudah! Diandra emosi.

"Jangan pernah ungkit itu lagi karena gue nggak niat sama apply an itu, Can!"

Candra membalas tatapan Diandra dengan santai. Dia cukup mengenal Diandra luar dan dalam. Dia merasa percaya diri.

"Yakin? Udah sejauh ini lo ngelangkah, masih nggak niat?"

Diandra ingin sekali menangis melawan perang batinnya. Meneguk ludah susah payah karena Candra berhasil menyerang kelemahannya. Tapi ia tak bisa melakukannya disini. Tepat di depan Candra. Yang ada, cowok itu akan semakin menjadi untuk mendorong Diandra mengambil keputusan ini. Keputusan yang ia idam-idamkan, tapi tak begitu disukai oleh orang yang mencintainya.

"Gue..."

"Diandra!"

Suara bariton memutus perdebatan Diandra dan Candra. Gadis itu menoleh ke arah teras rumah sakit yang masih menampakkan hujan dan...Juna. Hati Diandra lega bukan main karena kemunculan Juna yang tiba-tiba. Tidak mengejutkan, mengingat terkadang Juna juga menunggunya pulang di teras rumah sakit. Hanya saja kali ini situasinya dia sedang butuh pertolongan dari kungkungan Candra.

"Juna?! Kamu udah jemput?" Diandra berlari kecil ke arah Juna yang menatap pacarnya dan Candra sedikit bingung. Tadi ketika ia hendak masuk, sempat dilihatnya Diandra dan dokter necis itu sedikit menegang pada wajah mereka.

"Baru dateng. Mau balik sekarang atau masih ada kerjaan?" tanya Juna kalem. Diandra merangkul lengan Juna seolah mencari pegangan karena ia merasa hampir jatuh. Limbung. Saat Candra mendekatinya, dilupakannya sejenak konfliknya dengan Candra. Ia tersenyum canggung dan dingin.

"Can, ini kenalin Arjuna. Pacar gue. Jun, ini Candra. Dokter residen disini. Temen kuliahku."

"Oh, ya. Juna." Juna beramah tamah mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Melihat garis muka Candra yang tajam dan beku, Juna menebak pria ini akan menolak jabatannya diakhiri dengan tawa kikuk Juna. Tapi Candra membalas membuat Juna sedikit kaget. Jabatan yang kuat.

"Candra." sebut Candra dingin.

"Gue pulang duluan, Can. Ayo balik. Aku laper." Diandra mengajak Juna untuk pergi dari situ secepatnya. Juna mengangguk sopan pada Candra tak melupakan tata krama. Keduanya berjalan menembus hujan, meninggalkan Candra yang terpatung seperti batu. Rasa cemburu lagi-lagi mengalir di dirinya tanpa henti. Merasa menjadi seorang pecundang karena tak bisa mengikat Diandra, wanita yang ia sukai sejak di bangku kuliah. Candra melengos dan berbalik. Setidaknya, melihat surat penerimaan beasiswa milik Diandra, ada sedikit harapan bahwa kini Candra bisa kembali mengikat Diandra adalah miliknya.

***

HAIWhere stories live. Discover now