CHAPTER 37

4.2K 622 69
                                    

Sepertinya kabar retaknya hubungan Juna dengan Diandra sudah terdengar ke orang tua masing-masing. Ibu Juna sedikit menyesalkan karena sudah tinggal selangkah lagi, mereka malah mengakhiri hubungan. Tapi beliau juga prihatin mendapati putra sulungnya galau setengah mati sampai tidak mau makan. Meskipun mereka belum membahas secara detail alasan apa dibalik putusnya mereka. Kedua orang tua Juna membiarkan sejenak Juna untuk menenangkan diri dan menghargai keputusan para anak-anak tersebut.

Juna berbaring di lesu di ranjangnya dengan keadaan kamar yang temaram. Hari masih petang, tapi Juna sama sekali tak berminat melakukan apapun. Dibukanya kotak beludru kecil yang isinya dua buah cincin. Cincin yang harusnya akan dikenakan enam bulan lagi. Tapi naasnya, mereka berakhir. Juna sedikit menyesali sikapnya kalau tahu Diandra akan membalasnya begini. Juna meminta break agar mereka sama-sama berpikir secara matang supaya tak ada menyesal dikemudian hari. Bukan menghindar satu sama lain. Yang ditakutkan, Diandra sudah benar-benar tidak mau kembali dengan Juna. Jadi cowok itu baru menyesal, kenapa tidak terpikirkan hal sepele macam itu.

Ditutup, dibuka lagi. Ditutup, dibuka, begitu seterusnya. Cincin perak dengan setetes berlian mungil. Mengingat bagaimana ekspresi haru Diandra memilih cincin ini. Juna mendesah sedih. Kini dia beralih ke ponsel dan mengetik sebuah chat disana.

Arjuna Hanggara : Hei

Arjuna Hanggara : Aku tau kamu masih marah sama aku

Arjuna Hanggara : tapi please jangan abaikan aku, ndra

Arjuna Hanggara : Aku kangen kamu :(

Sudah tak terhitung kali Juna mengirimi pesan seperti itu kepada Diandra. Tapi juga tak terhitung kali pesannya tak terbalas. Mungkin benar kata Romi tempo lalu, ketika Juna mundur satu langkah, Diandra memilih lari menghindar berpuluh-puluh mil sampai Juna tak dapat menggapainya lagi. Juna mengerang frustasi, dan membunuh waktu dengan melihat foto-foto Diandra yang cantik di galeri ponselnya. Foto-foto tersebut hasil Diandra sendiri yang iseng selfi di ponsel Juna, atau terkadang Juna yang diam-diam membidik Diandra yang tengah sibuk melakukan sesuatu. Cowok itu tersenyum dan mengusap layar ponselnya sendu. Ketika pintu kamar berderit terbuka.

"Mas, kok gelap-gelapan?" suara ibu menginterupsi renungan Juna. Mata lelaki itu sedikit memicing ketika sang ibu menyalakan lampu kamar seketika terang benderang. Beliau juga menghampiri Juna dengan duduk di tepian ranjang tersenyum lembut.

"Kamu ngapain toh? Udah sholat belum?"

"Istirahat aja, bu. Sudah kok. Kenapa?"

"Jangan murung terus dikamar dong, mas. Ke bawah kek nonton tv, temenin adekmu belajar."

"Males ngapa-ngapain mas, bu."

"Ya udah, kamu beliin ayah bebek sinjay dong, mas. Katanya ayah lagi kepengen makan itu."

Juna berjengit mendengar permintaan ibunya.

"Astagfirullah, jauh amat. Nggak sekalian nyuruh mas belinya di Madura?"

Ibunya terkekeh. Kalau anaknya sudah mengomel, rasanya Juna cukup baik-baik saja. Ya namanya juga anak cowok.

"Lebay kamu."

"Muternya jauh, bu."

"Nggak ah. Lagian malem gini udah sepi jalanan. Lancar. Beliin gih, kasihan ayahmu lagi pengen nanti ileran."

"Kaya hamil aja. Ntar kolesterol lho." rutuk Juna.

"Sesekali ini makannya nggak papa. Kamu naik motor ayah aja biar cepet. Sekalian, kamu cari angin. Biar nggak suntuk di kamar terus kaya anak perawan. Inget mas, dunia tetep berputar meskipun kamu galau. Makanya semangat. Jangan nyerah. Sholat minta petunjuk sama Allah." selepas berbicara seperti itu dan meninggalkan uang untuk membeli bebek, ibunya keluar kamar. Tak peduli Juna yang terpekur memaknai apa maksud ucapan ibunya tersebut. Juna mengalah, akhirnya dia menuruti saja perintah bos besar. Benar kata ibunya, sekalian cari angin.

HAIWhere stories live. Discover now