CHAPTER 25

3.7K 440 10
                                    

Sudah dua hari ini Diandra dan Juna tak bertegur sapa. Lewat chat maupun bertemu. Ini pertengkaran pertama mereka sejak sepuluh tahun yang lalu. Sebenarnya, Juna sudah bertekad baik untuk menjemput Diandra seperti biasanya. Tapi ketika dia ke rumah sakit, wanita itu selalu tak ada. Begitu juga di rumahnya dan rumah kakaknya. Diandra menghilang dan tak mengabari membuat Juna resah dan pasrah. Mungkin Diandra butuh waktu. Entah kemana wanita itu.

Diandra sendiri tengah disibukkan dengan berjaga di UGD karena mereka kekurangan tenaga. Membuat ia harus ekstra keras bekerja dari malam sampai malam lagi. Karena jarak rumah dengan rumah sakit terlalu jauh, dia memilih menginap di kos salah satu rekannya yang sudah menjadi residen. Dokter Tia. Ayahnya beberapa kali menelpon. Tapi Diandra tak menghiraukannya. Diandra hanya berpesan pada Elma akan kondisinya, membiarkan Elma sendiri yang mengabari ayahnya tersebut.

Diandra kesepian. Tak ada ayahnya, tak ada Juna. Tak ada teman. Meskipun sesekali ia berpapasan dengan Candra, tapi ia belum mau mencurahkan semua masalahnya. Nanti, mungkin.

"Bad day?" sapa Candra seperti biasa memberikan sekotak yogurt anggur membuat Diandra tersenyum kecut. Ia merasa malu mengingat perdebatan terakhir mereka bahwa Candra secara terang-terangan tak menyukai Juna. Dan kenapa pria ini begitu baik sekali setelah kemarin mereka beradu mulut.

"Lumayan. Banyak banget pasien masuk tadi pagi." keluh Diandra membuka yogurtnya dan melahapnya langsung. Lalu Candra hanya diam. Tidak tersenyum, tapi mengusap puncak kepala Diandra dengan lembut. Seolah memberi kekuatan pada gadis itu. Diandra tersenyum berterima kasih.

"Gue visit dulu." pamitnya dan meninggalkan Diandra yang sepertinya tidak dalam mood ingin mengobrol. Diandra memutuskan untuk memakan yogurtnya di ruang kerjanya saja. Mumpung rumah sakit sudah cukup senggang.

Arjuna Hanggara : Can we talk? :(

Arjuna Hanggara : As soon as you can

Arjuna Hanggara : But sooner, okey?

Arjuna Hanggara : Soriii *nangis

Arjuna Hanggara : Dosa lo marah sama orang lebih dr 3 hari.Maaf ya :(

Diandra menghela nafas, meletakkan ponselnya kembali. Tak ada niatan untuk membalasnya balik. Diandra tak tahu harus berbuat apa pada Juna. Jadi lebih baik, dia tak bertegur sapa dengan pria itu sampai moodnya kembali baik karena sekarang moodnya tengah semrawut.

Diandra menghabiskan yogurtnya cepat dan melirik komputernya yang menyala. Iseng-iseng, ia membuka web milik kampusnya dulu. Dan entah ini benar sekedar iseng atau bukan, dia tak sengaja mengklik di kolom form pendaftaran pengajuan beasiswa dokter spesialis. Diandra merenung, mengingat sensasi nikmat akan belajar di tengah malam sampai gila lalu pada akhirnya dia bisa tertawa puas karena gelar dokter sudah ia raih. Apalagi spesialis bedah jantung akan sangat membahagiakan dirinya.

Wanita itu melirik pintu, takut-takut seseorang terutama Candra masuk dengan tiba-tiba. Diandra menahan nafas, lalu jemarinya seperti bergerak tanpa dikontrol oleh otaknya sendiri pada setiap jengkal keyboard, menuliskan namanya disana.

***

Malam ini, akhirnya Diandra pulang. Meskipun dia malas bertemu dengan ayahnya, ia masih punya hati untuk tidak meninggalkannya terus-terusan. Saat ia meletakkan wedgesnya ke lemari sepatu, ayahnya lewat dan terkejut mendapati putrinya nongol tiba-tiba.

"Lho, dek. Kamu pulang?" tanyanya masih kaget. Diandra mengangguk. Dan segera masuk menuju kamarnya untuk ganti.

Diandra membuka tudung saji dan menemukan beberapa lauk pauk dan sayur disana ketika papanya mengikutinya ke ruang makan.

"Papa kemaren malem makan apa?" tanyanya seraya mengambil lauk pauk untuk dihangatkan. Papanya tersenyum lega, duduk menunggu anaknya menyelesaikan memasaknya.

"Makan masakannya mbak Sum. Itu tadi dia bikin ayam bakar."

Keduanya makan dengan hening. Tak seperti biasanya Diandra akan bercerita sesuatu dengan panjang lebar lalu ayahnya menanggapi. Tapi tidak untuk kali ini. Masih ada kesenjangan yang belum terselesaikan diantara mereka.

"Di, maaf ya. Papa..."

"Aku nggak mau ngomongin itu, Pa." balas Diandra sebelum papanya menyelesaikan kata-katanya. Sang papa terdiam menunduk. Mungkin anaknya masih butuh waktu. Tak mudah memang. Tapi biarlah. Kalau suatu hari putri bontotnya itu tak mengizinkan beliau untuk menikah lagi, papa ikhlas menuruti kata Diandra. Yang terpenting keluarganya dahulu.

"Aku tidur dulu." ujar Diandra pamit setelah selesai makan malam dan segera masuk ke kamar sebelum ia dibombardir pertanyaan kesiapannya menerima ibu tiri. Diandra tak yakin kalau ia akan kuat.

***

Hari Minggu, kebetulan sekali jadwal jaga Diandra kosong. Elma tadi pagi sempat mampir, mengajak Diandra untuk menghabiskan hari libur ke event Surabaya North Quay karena Arif merengek-rengek minta kesana setelah mendengar cerita dari teman sekolahnya yang liburan kemarin pergi ke pelabuhan Tanjung perak tersebut, dimana kapal pesiar dari Belanda sedang berlabuh.

Tapi Diandra menolak dengan alasan ia lelah dan perutnya sakit sejak semalam. Mungkin maag bersamaan dengan pms. Akhirnya hanya papanya saja yang ikut karena papa juga ingin melihat kapal pesiarnya. Dan disinilah Diandra, sendirian dikamar, tidur dengan tampang kucel memegangi perutnya yang perih-perih ngilu.

Diandra hampir terlelap sesaat sebelum suara keras dari pagar rumahnya berbunyi. Sempoyongan, Diandra bangkit untuk mengintip dari jendela. Siapa gerangan yang mengganggu tidur siangnya. Ketika Diandra menyibak gorden, ia malah terpaku. Tamu itu, Juna.

***

HAIWhere stories live. Discover now