CHAPTER 17

4.3K 519 19
                                    

Sayang : Kamu pulang jam brapa? Ntar aku jemput deh

Diandra Saraswati : Jam 7. Sekalian cari makan diluar ya sayang?

Sayang : Oke sayang :)

Diandra meletakkan ponsel disebelah piring makannya dengan senyum kecil terukir di bibir manisnya. Akhir-akhir ini memang dia sering tersenyum. Semenjak Juna memanggil dirinya sayang, dia tak bisa menyembunyikan fakta kalau dia teramat bahagia. Rasanya seperti ada penyemangat untuk bekerja, ada yang mengajaknya mengobrol ketika ia dikamar sendirian, mau jalan-jalan juga ada yang mengantar dan menemani. It feels so good with him.

"Ada kabar bagus?"

"Hah?" Diandra tersentak ketika seseorang duduk tepat di sampingnya. Ia mengamati lekat-lekat dokter Candra yang sedang membawa yogurt dan menyodorkannya kepada Diandra. Wanita itu tertegun, orang ini selalu memberikan dirinya yogurt setiap kali jam jaga mereka bersamaan. Membuat Diandra agak heran. Kalau sudah kenyang, kenapa harus membeli yogurt dan menyerahkannya pada Diandra? Mubazir saja, untung Diandra suka yogurt.

"Senyum-senyum aja daritadi." jawab dokter Candra singkat lalu meraih koran untuk dibaca. Diandra membuang muka malu, duh ketangkap basah olehnya. Wanita itu hanya membalas Candra dengan mengangkat kedua bahu lalu kembali melanjutkan makan siangnya, nasi campur.

"Lo udah makan, Can?"

"Udah."

"Trus ngapain beli yogurt?"

"Pengen aja."

"Trus kok dikasihin ke gue klo lo pengen?"

Pertanyaan beruntun Diandra berhasil membuat Candra menyeringai sedikit sekali, memandang sebentar pada cewek didepannya kemudian terus melanjutkan bacanya. Diandra sampai terheran-heran.

"Kenyang." hanya itu jawaban singkatnya. Dingin dan tanpa ekspresi. Diandra mencibir. Basi banget alesannya.

Ponsel Diandra bergetar lagi membuat pemiliknya buru-buru meraih ponsel tersebut. Membaca isi pesan yang ia tebak pasti dari kekasihnya.

Sayang : Mau makan apa ini ntar?

Diandra mengulum senyum, menatap langit-langit sejenak untuk berfikir.

Diandra Saraswati : Gak ada ide. Kamu lg pengen apa?

Sayang : Pengen platter :9

Diandra Saraswati : Jauh banget sayang >_<

Sayang : Sekalian jalan-jalan kan

"Lo udah apply beasiswa spesialis belum?"

Pertanyaan Candra yang tiba-tiba sukses membuat Diandra berhenti mengetik dan menoleh lewat bahu kanannya. Candra sudah menutup koran tersebut dan memandangi Diandra dengan tampang serius.

"Ehm, belum. Gue masih mikirin itu sih." jawab Diandra meleng lalu memakan krupuk.

"Bukannya udah mantep mikirnya?"

"Klo gue ambil spesialis pasti sering nggak pulang. Gue mikirin papa gue, Can."

Sayang : Halooo diread aja :l

Konsentrasi Diandra pecah antara membalas chat Juna, pertanyaan Candra dan makan. Sampai dia tak nafsu lagi menatap makannya padahal baru habis setengah.

Diandra Saraswati : Lagi makan sayang

"Katanya papa lo udah ngizinin klo lo sekolah lagi." ujar Candra mengingatkan perkataan Diandra ketika ia mencetus ingin mengambil spesialis bedah jantung. Sama seperti Candra saat ini. Lelaki itu melipat kedua tangan di depan dada sembari menatap Diandra tak suka melihat tingkah plinplan Diandra. Kemarin mantap, sekarang ragu-ragu.

"Iya, emang. Cuman gue sebagai anak juga kudu peka sama orang tua dong, Can. Gue nggak maulah klo papa ngeiyain gue ambil spesialis, tapi dia jadi kesepian dirumah sendirian. Bisa nggak dilancarin urusannya ama Tuhan tau klo gue ngelantarin orang tua gue sendiri. Mana gue cuman punya bokap doang." ceramah Diandra menyipitkan mata memandang Candra.

"Emang kenapa sih kok lo kayanya ngebet banget gue bisa buru ngambil spesialis? Kaya lo mau bayarin gue aja."

Sayang : Makan apa emangnya?

Diandra menggigit bibir. Sebenarnya ada alasan lain dia belum apply beasiswa spesialis selain karena posisi ayahnya dirumah. Yaitu Juna. Diandra memijat keningnya pening. Dia pernah ditinggalkan Juna saat ia belajar keras untuk mengambil beasiswa kuliah kedokteran. Dan itu kenangan yang cukup menyakitkan. Jika ia mengulangi kejadian yang sama, bagaimana reaksi Juna?

Diandra Saraswati : Makan nasi campur ini. Udahan dulu ya, habis ini mau keliling. Love :*

Lalu Diandra memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia tahu topik masalah kuliah membuat Diandra menjadi kalut. Dan lebih memilih menghindari itu saat dia sedang mengobrol bersama Juna.

"Biar kita belajar bareng lagi, Ndra." jawab Candra sekenanya. Diandra cemberut.

"Lo kok nungguin gue banget sih? Nemplok gue mulu kaya anak monyet. Kita itu udah barengan berapa tahun coba. Koas juga bareng-bareng. Bosen gue sama elo mulu. Lo kudu mandiri dong. Sosialisasi sama dokter lain. Sama anak-anak koas tuh juga katanya lo tuh ganteng-ganteng pelit bicara. Gedek gue liat lo." omel Diandra risih pada teman sejawatnya ini. Tapi yang diomeli hanya tertawa tanpa suara.

"Mereka cuman liat bagusnya gue doang, Ndra. Nggak kayak elo." papar Candra lembut penuh makna tersirat.

"Klo gue cuman bisa liat jeleknya lo ya? Bagusnya nggak. Apesnya gue temenan ama lo." sewot Diandra memakan nasinya kembali.

"Hm. Ntar balik gue anter." kata Candra seraya berdiri mengacak puncak kepala Diandra, khas Candra ketika ia meninggalkan gadis itu. Tapi Diandra keburu menoleh dan menengadah padanya.

"Nggak, Can. Gue ada yang jemput."

"Sopir uber?" tanya Candra mengejek. Diandra terkikik geli.

"Nggak ih. Pacar gue."

Kedua bola mata Candra melebar. Menatap syok pada Diandra. Apa ia tadi salah dengar?

"Pacar?" tanyanya memastikan. Wanita itu mengangguk, tersenyum simpul.

"Iya."

"Baru?" Candra kembali menetralkan mimik muka dan nada suaranya berusaha bersikap biasa. Menahan diri untuk tidak mengamuk didepan Diandra tanpa alasan.

"Iya. Lo tau orangnya kok. Pasien yang waktu itu kena DB. Yang gue tanganin."

Ya, Candra ingat. Lelaki jangkung yang nampak loyo itu, dan memandang Candra dengan sorot terpaku. Bagaimana bisa Candra kecolongan oleh pasien yang baru saja kenal dengan Diandra?

"Gue...balik dulu." ujar Candra buru-buru keluar tak menanggapi omongan Diandra. Meninggalkan Diandra sendiri dengan keheranan akan sikap dingin Candra yang aneh.

Candra berjalan menyusuri lorong dengan gontai. Dan segera masuk ke ruangan prakteknya sendiri mencari privasi. Disitulah ia tak bisa menahan amarah, rahang Candra mengeras, kedua tangannya mengepal, kaki kanannya melayang memukul ujung meja.

Dia kecewa, kecewa pada dirinya sendiri yang tak bisa berbuat apa-apa. Melihat Diandra memacari pria yang berbeda-beda. Padahal dia adalah pria yang paling dekat dengan Diandra. Dia yang menjaga gadis itu diam-diam, mengamatinya, mengawasinya, bahkan mencintainya dalam diam juga. Sampai sudah berapa kali Candra merasa marah karena ia lagi-lagi diserobot. Bak antrian paling depan, lalu Candra didorong keluar oleh seseorang yang dibelakangnya.

Candra mengusap wajahnya frustasi. Bahkan usahanya selama ini menempel terus pada Diandra tak membuahkan hasil kalau wanita itu mungkin saja akan membalas cintanya. Lalu jika sudah begini, Candra harus bagaimana?

***

HAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang