CHAPTER 9

5.7K 715 13
                                    

Pagi itu, Diandra tengah sibuk menulis riwayat penyakit pasiennya di nurse station dengan setengah mengantuk. Tadi malam cukup banyak yang masuk UGD. Dan hampir semuanya adalah korban tabrakan. Meskipun tidak seberapa parah sampai masuk kamar inap. Hanya pendarahan kecil, atau kegores, dan juga ada beberapa pasien opname yang sesak. Pokoknya malam tadi benar-benar hectic bagi dokter Diandra yang bertugas.

"Dokter Didi sudah ambil sarapan?" tanya perawat bernama Hilda sembari menyusun kertas-kertas yang berserakan di meja perawat.

"Udah kok, kak Hil." jawab Diandra tanpa berpaling. Hilda mengulum bibirnya sambil bermain dengan kertasnya.

"Dok, tadi pasien kamar 301 nyariin dokter lho." celetuknya ringan tapi kebalikan dengan reaksi Diandra. Gadis itu berhenti menulis, fokusnya pecah. Diandra jelas tahu siapa dibalik kamar nomor 301 tersebut. Pasien yang sedang terbaring lemah karena demam berdarah. Ya, siapa lagi. Arjuna Hanggara.

"Nyari saya? Kenapa?" tanya Diandra tertarik. Apalagi melihat Hilda yang tersenyum-senyum sendiri.

"Ya tanya aja. Kok dokter udah nggak pernah meriksa dia, gitu. Sambil mukanya itu lho malu-malu kucing. Hahaha." Hilda terkekeh dan masuk ke ruang kerja perawat. Meninggalkan Diandra yang terpekur.

Bukan tanpa sengaja memang Diandra tak menyambangi Juna beberapa hari ini. Meskipun dia memang sedang jaga malam namun ikut membaca hasil kesehatannya dan cukup lega trombosit Juna mulai naik perlahan. Tetapi memang Diandra menghindari untuk bertemu Juna. Sejak kejadian dimana Juna menyatakan bahwa dirinya hanya dianggap teman, dia merasa kecil. Diandra tahu, memang itulah kebenarannya. Wanita itu bukan siapa-siapa, dan bukan salah Juna mengatakan hal seperti itu bukan.

Hanya saja Diandra tetaplah seorang wanita yang memiliki hati cukup sensitif. Ia tak bisa membohongi diri sendiri kalau ia merasa sedih mendengar perkataan Juna di depan ibunya. Walaupun ia juga tahu, tidak ada alasan untuk dirinya sedih. Sehingga beginilah sikapnya, menjauh dan mencoba untuk benar-benar tidak ingin memikirkan Juna. Menghabiskan tenaga dan pikiran hanya untuk kerja dan belajar. Cemohlah Diandra kekanak-kanakan, tak dewasa, Diandra tak akan pernah mengelak lagi. Ia sudah kalah, mungkin.

Bruk!

"Aduh!"

"Ngelamun mulu."

Diandra mengusap kepalanya yang baru saja ditimpuk gumpalan kertas dan menengok gerangan siapa yang menyentakkannya dari lamunan. Ternyata hanya dokter Candra. Salah satu residen di rumah sakit ini. Wajahnya yang bersih dan segar itu nampak lempeng seperti biasanya.

"Apa sih, dok. Ngagetin." ketus Diandra. Dia tak perlu bersikap sopan pada dokter Candra, soalnya lelaki itu satu angkatan dengannya dikampus dulu. Hanya saja setelah selesai menjadi dokter umum, dia lebih dulu mengambil kuliah spesialis. Karena secara materi dokter Candra amat mampu. Ayahnya punya rumah sakit di daerah Gresik.

Dokter Candra menyerahkan papan informasi ke meja perawat dan membaca beberapa dokumen yang ada disitu.

"Udah makan?" tanyanya tanpa memandang ke Diandra. Wanita itu mencebik.

"Kenapa? Mau nraktir?"

Diandra dan Candra dulu memang dari dulu begini sikapnya. Saling jutek, tapi dekat. Diandra sebetulnya iri, Candra itu cowok yang sempurna sekali baginya. Dia cerdas, dia ditawari beasiswa hanya saja menolak karena ia bisa membayar uang sekolah sendiri. Bahkan Candra itu favorit para profesor karena setiap ditanyai pertanyaan, jawabannya selalu memuaskan. Didukung dengan tampang yang cukup oke untuk digandeng wanita ke kondangan. Mana single lagi. Cuma satu, dia bukan tipe Diandra yang hanya gumpalan upil.

Dokter Candra merogoh saku jas dokternya. Lalu menyodorkan sesuatu untuk Diandra sampai wanita itu mengernyit.

"Aku udah kenyang. Kamu aja yang habisin." katanya datar menyerahkan sekotak yogurt rasa anggur. Favorit Diandra kalau sedang tidak sempat makan.

HAIWhere stories live. Discover now