Interlude #3 : Rachel & Samuel

2.4K 88 0
                                    

Samuel POV

Aku tengah duduk sendirian di sebuah ruang musik dengan tangan memegang sebuah gitar. Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan terdengar suara langkah kaki seseorang. Aku pun meletakkan gitar itu di atas meja, kemudian menatap tajam orang yang tengah tersenyum miring di hadapanku dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana.

"Butuh teman, Dude?"

Aku mendengus lalu memejamkan mata. "Untuk apa kau ke sini, William?"

William duduk di sebelahku sambil melipat satu kakinya di atas paha yang lain. "Aku bosan di kelas, tidak ada Jen di sana."

"Ke mana dia?"

"Di taman kota bersama seorang gadis yang tengah bersedih katanya," ujar William santai.

"Gadis yang tengah bersedih?" Heranku. Tumben Jen meladeni orang asing? Apa anak itu punya sisi perikemanusiaan juga? tanyaku dalam hati.

"Jen bilang bahwa gadis itu sungguh bodoh. Entah apa yang ada di dalam otak cantiknya itu."

Sepertinya aku mulai gila karena tertarik dengan cerita William. Aku semakin menajamkan pendengaranku.

"Katanya gadis itu mau melarikan diri ke Belanda."

Aku mengernyit. "Ke Belanda? Untuk apa?"

"Dia menerima beasiswa untuk sekolah di Belanda karena dia patah hati."

"Astaga! Apa dia habis diputusi?" tebakku langsung.

"Lebih memalukan dari itu. Dia ditinggal sebelum dia menjawab perasaannya." Entah mengapa aku jadi merasa tersindir. "Gadis itu tidak mau memperjuangkan cintanya?" tanyaku berbasa-basi.

"Dia mau, tetapi dia takut dan terlanjur kecewa. Maka dari itu, sebaiknya kamu buat dia yakin untuk memperjuangkannya."

Aku terkekeh geli dan semakin bingung. "Kenapa harus aku?"

Terlihat William memutar bola matanya. "Karena pria yang membuatnya menyerah adalah Samuel Dirgara dan gadis bodoh itu Rachel Simsons, mengerti?"

Seketika aku berdiri karena terkejut. "Apa maksudmu, William?"

William berdecak lalu geleng-geleng. "Kau masih belum mengerti juga ya rupanya? Rachel mau ke Belanda."

Seketika rahangku mengeras dan tanganku terkepal sempurna. "Aku tidak peduli!"

"Dan kau akan menyesal."

"Tidak akan!"

William mengedikkan bahunya lalu berdiri. "Asal kau tahu, Rachel mencintaimu, hanya saja dia terlalu minder untuk bersamamu. Kau tahulah bahwa pikiran wanita itu susah ditebak. Dan aku juga baru tau dari Rey bahwa kau merokok sekarang dan kepergok Rachel."

William menggeleng lalu berdecak. Dia menyentuh pundak kiriku. "Jangan sampai terlambat jika kau memang mencintainya. Yakinkan dia kalau kau tidak memandang status apa pun." Setelah mengucapkan itu, William pergi begitu saja.

Aku mengacak rambutnya frustasi lalu segera berlari keluar ruang musik. Aku tidak mau Rachel ke Belanda. Tidak mau!

***

Aku menghentikan motorku di depan sebuah rumah petak yang didominasi warna hijau. Aku segera berlari ke arah pintu rumah itu dan menggedornya.

"RACHEL!!!"

"RACHEL BUKA PINTUNYA!!!"

"RACHEL JANGAN PERGI, PLEASE!!!"

"Rachel ...," panggilku lirih. Aku merosot jatuh ke bawah dengan tangan masih memukul pintu, tetapi tidak sekuat tadi lagi. Sayangnya tidak ada yang menyahut dan membukakan pintu.

Apa sudah terlambat? Apa Rachel sudah pergi? Apa mereka bisa bertemu lagi?

Aku mengacak rambutnya frustrasi sambil menendang-nendang pintu rumah itu. Aku lalu meraih ponselku dan berusaha menghubungi Rachel. Namun, tidak aktif dan yang terdengar malah suara operator sialan itu.

Maaf nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan ....

Aku langsung membanting ponselku saking frustrasinya. Aku tidak bisa memaafkan diriku jika Rachel pergi karena aku. Aku tidak akan sanggup tanpanya. Aku merasa bodoh karena tidak pernah menanyakan alasan Rachel menolak. Andai kutahu ... pasti semua tidak akan seperti ini.

Aku kembali mengacak rambutnya. Mataku mulai memerah tanda akan menangis. "Rachel, aku sungguh mencintaimu. Aku mohon kembalilah demi aku. Aku bisa mati jika seperti ini caranya."

"Rachel ... aku tahu aku salah. Aku sudah melakukan hal yang kamu tidak suka. Aku janji, aku akan berhenti. Tetapi, please ... jangan pergi."

Aku menangis dalam diam. Tanganku tak berhenti memukul kepalaku sendiri.

"Sam ...."

Aku langsung mendongak saat mendengar suara wanita yang memanggilku. Namun, detik selanjutnya aku kembali putus asa. Kupikir itu Rachel, tetapi ternyata justru Jen.

"Tidak ada gunanya menangis seperti itu, Sam. Kau terlihat seperti pria lemah."

"Ya-ya-ya .... Aku tidak peduli. Mungkin di matamu pria yang kuat itu William."

Jen berdecak kesal. "Apa semua pria jadi lemah seperti ini jika kehilangan cintanya?"

"Lebih baik kau pergi, Jen!" usirku. Aku tidak butuh celotehannya. Yang kubutuhkan adalah Rachel berdiri di depanku sekarang.

Jen mengangkat satu alisnya. "Harusnya kau yang pergi, Sam. Aku ke sini disuruh Rachel."

Aku menahan tanganku di dinding untuk membantuku berdiri. "Apa dia sudah pergi, Jen? Apa dia menyuruhmu ke sini untuk memberitahuku bahwa dia membenciku?"

Jen mengerutkan keningnya lalu tertawa kencang. "Kau bukan saja lemah karena wanita, tetapi juga jadi bodoh, ya."

Aku menghapus air matanya lalu menatap Jen tajam. "Berhenti mengataiku, Loser!"

Jen memegangi perutnya yang terasa sakit akibat terlalu lama tertawa. "Sepertinya aku dan William harus merayakan hal ini."

Aku mendengus sebal lalu berjalan melewati Jen yang masih tersenyum jahil. Kenapa mereka sama-sama menyebalkan?

"Hei! Mau ke mana kau?" tanya Jen.

"Yang jelas pergi dari hadapanmu," jawabku ketus.

"Baiklah. Hati-hati, ya!" ujar Jen sambil melambaikan tangan.

Dasar gadis bar-bar! Kenapa juga William dan Jaz menyukainya? gerutuku dalam hati.

Segera aku meraih helm dan hendak memakainya. Namun, sebuah suara lagi-lagi menghentikan gerakan tanganku.

"Samuel ...."

Aku pun langsung berbalik dan beberapa detik kemudian melotot.





TBC

***

Chapter selanjutnya adalah chapter terakhir Samuel & Rachel.

Mana yang kangen moment Jen & William???

Thank you yang sudah baca sampai sini. 😊

Tetap jangan lupa vote dan comment ya.

SevenTeen ✅Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora