"Jen ... kamu tidak ke apartemen William?" tanya Jaz sambil berdiri dan menenteng tasnya.
Jen mengerutkan keningnya tidak mengerti. "Untuk apa? Dia 'kan bolos, bukan kecelakaan atau apa pun," ucap Jen datar.
"Cih! Ini yang disebut pacar? Kenapalah William mau sama kamu," sindir Justin.
"Tau dari mana kamu kalau dia bolos? Kami saja tidak mendapat kabar darinya," tanya Jaz penuh selidik.
Jen mengedikkan bahu. "Aku hanya menduga. Lagipula untuk apa aku repot-repot menghubunginya. Dan kau Justin! Kau masih dendam padaku, ya?"
Justin membuang muka lalu segera berjalan keluar kelas.
"Cih! Anak itu kekanakan sekali," gerutu Jen.
"Karena kamu tidak mau menjenguknya, bagaimana kalau kita makan siang bersama?"
Jen menaik turunkan alisnya sambil bersidekap. "Kalau aku tidak mau bagaimana?"
Jaz tersenyum miring. Dia langsung menggendong Jen seperti karung beras.
"Hei! Apa yang kau lakukan, hah?! Mau menculikku, ya?! Kau akan menyesal! Cepat turunkan aku!" teriak Jen sambil memukul punggung Jaz.
Jaz terkekeh lalu meraih tas Jen. Dia berjalan dengan santai keluar kelas tanpa memedulikan tatapan aneh murid-murid di sana.
"Jaz!!!"
"Sssttt ... diamlah, Tuan putri," ucap Jaz.
"Kau gila!"
"Mengajakmu makan siang bukanlah hal gila, Jen," ucap Jaz enteng.
Kepala Jen pusing karena posisinya yang terbalik seperti ini. Tangannya tidak lagi memukul punggung Jaz.
"Jen ...," panggil Jaz khawatir saat dia tidak mendengar suara Jen lagi.
Buru-buru Jaz menurunkan Jen dan mendudukkannya di kursi panjang yang ada di koridor.
"Jen ...."
"Air," lirih Jen.
Jaz menyerahkan tas Jen pada pemiliknya. Jen segera mengambil botol minumnya dan kabur!
"Hei, Jen! Jangan lari kamu!" teriak Jaz saat tersadar.
Jen berlari sekencang-kencangnya. Gara-gara membawa tas, ini menjadi menyusahkannya. Jen agak bernapas lega saat dirinya sudah mencapai parkiran. Dia segera mencari mobilnya.
"Jen!"
Teriakan itu spontan membuat Jen teringat kalau Jaz pasti masih mengejarnya. Tanpa pikir panjang, Jen langsung berlari keluar gerbang sekolah.
Titt .... Titt ....
Jen menoleh ke samping saat suara klakson mobil memekakkan telinganya. Orang yang mengendarai mobil itu membuka kaca Jendela mobilnya.
"Cepat masuk!"
Jen mengangguk lalu segera memutar mobil itu dan duduk di kursi penumpang. Mobil itu pun melaju dengan cepat.
Jen menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Dia terus melakukan itu hingga jantungnya kembali berdetak normal.
"Ada apa? Kenapa kamu lari seperti dikejar hantu?"
Jen berdecak lalu melipat kedua tangannya. "Aku tidak takut sama hantu. Yang aku takutkan adalah bunglon raksasa," ucap Jen melebih-lebihkan.
"Bunglon raksasa?"
Jen mengangguk. "Aku lari dari Jaz. Dia gila! Dia menggendongku seperti karung beras!"
"Kenapa dia menggendongmu?"
"Karena aku menolak ajakan makan siangnya," jawab Jen santai. "By the way, kenapa kamu tidak masuk, William?"
William hanya diam. Dia mencengkram stir kemudi kuat. Rahangnya mengeras saat tahu Jaz mengajak calon tunangannya lunch.
Jen yang tidak mendapatkan respon dari William mendekatkan wajahnya, lalu menyipitkan matanya. "Stop, William!"
William spontan menghentikan mobilnya.
Jen langsung menarik wajah William agar menghadapnya. "Kenapa ini, William? Siapa yang melakukannya?" tanya Jen sambil menyentuh luka di sudut bibir William.
William hanya diam lalu kembali menjalankan mobilnya. Jen yang tidak mendapatkan respon yang baik dari William segera menjauhkan tangannya dan fokus ke depan.
Keheningan menyelimuti mereka selama perjalanan hingga Jen kembali bersuara saat laju mobil William bukan menuju tempat tinggalnya.
"Mau ke mana kita? Ini bukan jalan ke rumahku."
"Siapa yang bilang bahwa aku mengantarmu pulang? Kita akan ke apartemenku."
Jen tersentak mendengar jawaban William. "Kau mau apa, William? Jangan macam-macam!"
William menyeringai.
***
Ting!
Lift berhenti di lantai 7 tepat lantai apartment William. William langsung menarik tangan Jen mengikutinya dan berhenti di sebuah pintu. Setelah menekan password akhirnya pintu terbuka dan William kembali menarik tangan Jen untuk masuk.
Klik! Terdengar suara pintu terkunci otomatis.
Jen menatap William was-was, sedangkan William sendiri melepaskan kausnya.
"Mau apa kau, William?" tanya Jen terkesan takut. Takut kalau dimacam-macami William.
"Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu hari ini," jawab William santai dan berjalan mendekati Jen.
Jen mundur beberapa langkah untuk menghindari William, tetapi pria itu malah mempercepat langkah kakinya. Jen tersentak saat punggungnya menabrak tembok dan William sudah semakin dekat.
William lalu memenjarakan tubuh mungil Jen antara tembok dengan tubuhnya. William meletakkan tangannya di sisi kiri dan kanan kepala Jen. "Mau lari ke mana, heh?"
Jen meneguk ludahnya dalam-dalam. Kini matanya sudah membulat sempurna. Tubuhnya juga bergetar gugup. Baru kali ini seorang Jennifer berhasil ditaklukkan oleh seorang pria dan sialnya pria itu adalah William Johansson. Entah mengapa tatapan mengintimidasi itu membuatnya tidak bisa berkutik.
"Wil-william ...."
"Kamu takut, heh? Di mana Jen yang tangguh dan keras itu? Kenapa gadis yang ada di hadapanku ini malah gadis lemah? Apa aku salah menculik orang? Tetapi, benarkan namamu Jennifer Anlikie?"
Jen berusaha mendorong dada bidang William kuat, tetapi sayangnya William tak bergeser seinci pun. Entah mengapa dia seketika lemas—tak bertenaga. Dia jadi merasa lepas dari kandang singa, masuk kandang buaya.
William mendekatkan bibirnya ke telinga Jen hingga Jen bisa merasakan deru napas William di belakang telinganya dan seketika bulu kuduknya meremang. "Kau semakin cantik kalau tidak berdaya seperti ini, Jen," bisiknya.
TBC
***
Jangan lupa vote and comment-nya ya.
Sorry kalau tidak kedapet feel-nya soalnya author kekurangan ide.
Tapi jangan bosan-bosan mengikuti cerita ini. Author janji akan memperbaiki kedepannya.
Thanks.
KAMU SEDANG MEMBACA
SevenTeen ✅
RomanceCOMPLETED ✅ DON'T COPY MY STORY!!! Mohon maaf sebelumnya apabila ada kesamaan nama tokoh atau tempat. Mungkin hanya kebetulan karena ini murni inspirasi dari Author. ---------------------------------------------------- Siapa yang tidak mengenal Jenn...