Meet the Mate

3.5K 615 163
                                    

Jey memarkir mobil Freddy tepat di depan toko yang alamatnya telah dikirim dengan jelas oleh Chase melalui pesan singkat. Mesin telah benar-benar mati, namun pria di sampingnya terlihat enggan untuk turun.

Ray terlihat memejamkan mata dengan kepala bersandar di kursi. Bahkan dari sini saja aroma gourmand dan musk yang menggelitik indera penciumannya dapat ia hirup dengan jelas. Ray begitu menikmati aroma yang seakan mengurungnya sampai tepukan di pundak mengajaknya kembali pada kenyataan. Ray mengerjap mendapati Jey yang tengah menatapnya khawatir.

"Kau baik-baik saja? Apa perlu kita batalkan pertemuan ini?"

"Tidak!" Ray mencoba berkilah. Ia tak mau tersiksa lagi karena rasa sakit yang sering menyerangnya. Ia harus memastikan hal itu disamping memang ingin bertemu dengan seseorang yang akan ditakdirkan bersamanya itu.

Ray melepaskan tangan Jey di pundaknya, lalu mendahului untuk keluar dari dalam mobil. Dihelanya napas panjang sebelum kakinya melangkah masuk kedalam toko.

.

.

.

.

Seokjin berpegangan erat pada counter dekat mesin pembuat kopi saat pria itu melangkah masuk bersama seorang temannya. Seokjin tak terlalu peduli. Ia hanya peduli pada perawakan Raymond yang benar-benar mirip dengan Namjoon-nya. Tinggi itu, postur tubuhnya yang tegap, dan cara berjalan yang terlihat sama. Hanya saja, Raymond terlihat lebih tertarik memakai jaket denim dibanding Namjoon yang senang terlihat menawan dengan turtle neck dan long coat. Mereka memiliki style yang berbeda dimata Seokjin. Raymond juga terlihat menata rambutnya seadanya, sedangkan Namjoon memilih terlihat dandy jika tengah keluar bersamanya.

Sebuah helaan napas yang cukup panjang meluncur dengan sukses dari mulut Seokjin. Dan ia harus dengan berat hati mengambil kesimpulan bahwa pria itu bukanlah Namjoon.

Dada Seokjin masih bertalun hebat kala jarak berangsur terkikis antaranya dan Raymond. Seokjin memegangi erat seragam kerja yang membalut bagian itu hingga terlihat kusut saat Seokjin perlahan menurunkan tangannya.

Ray didera gugup berat saat kakinya melangkah kian dekat pada si pemuda pemilik aroma gourmand dan musk yang terus menusuk penghidunya. Dan entah apa ia salah mencium atau tidak, namun pemuda itu benar-benar tercium seperti dirinya. Padahal ini pertama kalinya ia bertemu dengan pemuda itu. Dan Ray dapat melihatnya. Pemuda itu sangat rupawan, tampan, dan cantik. Entah karena pemikirannya sebagai mate atau pemuda itu memang selalu terlihat seperti itu.

"H-hai." Raymond tergagap menyapa, membuat Jey yang setia di sebelahnya spontan menyikut pinggangnya.

"Santai saja, kawan." Bisik Jey berusaha untuk tak sampai terdengar.

Kepala Ray berputar sedikit ke sisi Jey, mencoba berbicara pada pria itu. "Dia cantik sekali."

"Demi Moon Goddess, dia itu laki-laki, Ray."

"I know."

Seokjin tidak tahu mengapa dua pria di hadapannya ini lebih memilih untuk berbisik-bisik dibanding mengatakan tujuan kedatangan dengan gamblang. Walau ia telah diberitahu sebelumnya, tetap saja ia butuh penjelasan secara langsung.

Seokjin menoleh pada Jihoon yang baru saja menyerahkan secangkir frappucino pada Mino yang akan diantar pada pengunjung. Dan Jihoon membalas dengan isyarat mata untuk bertanya mengenai dua pria didepan counter. Seokjin menjawab dengan mengangkat bahu, sejujurnya ia memang tak tahu siapa keduanya.

"Permisi Tuan, Anda menghalangi pengunjung lain yang ingin memesan." Mino muncul dari sebelah Jey dan membuat dua orang yang dimaksud salah tingkah sembari menyingkir dari barisan.

Seokjin tersenyum melihat reaksi Raymond dan temannya, lalu keluar dari balik counter untuk menghampiri. "Bisa tunggu sebentar lagi? Toko akan tutup dalam tiga puluh menit dan kita bisa bicara." Ucap Seokjin lantas menggiring keduanya ke sebuah meja dan mempersilahkan duduk di kursi yang telah disediakan.

"Mino akan mengantarkan dua latte dan cheese cake untuk kalian sembari menunggu." Ucap Seokjin seraya menuding dengan ibu jari pada pemuda yang dimaksud sebelum beralih ke balik counter.

"Tidak perlu rep..." Ray hampir buka mulut lebih lanjut untuk menolak karena sungkan, namun keburu disambar Jey yang lebih cepat menyahut.

"Terima kasih, kami akan menunggu dengan tenang." Serunya lalu menampilkan senyum teruntuk Seokjin yang telah berbaik hati menjamu mereka.

Ray lantas mendelik pada Jey begitu Seokjin berbalik dan menjauh dari keduanya. Sementara Jey hanya menggedikkan bahu tak acuh.

.

.

.

.

Penanda 'open' pada toko kecil itu telah dibalik hingga tulisan 'close' terpampang jelas saat waktu menunjukkan tepat pukul 18.00. Seokjin meminta Mino dan Jihoon untuk menemani Jey di salah satu sudut toko sesaat setelah pria itu menolak bergabung bersama ia dan Ray karena merasa akan mengganggu pembicaraan yang mungkin saja bersifat pribadi antara keduanya.

Seokjin tak tahu privasi apa yang mungkin terjadi pada keduanya hingga Jey memutuskan untuk menyingkir dan membuatnya kini hanya duduk berdua, berhadapan dengan pria yang terlihat sama tak tenangnya dengan dirinya.

Ada perasaan aneh kala Seokjin didatangi Chase yang mengatakan bahwa sepupunya ingin berkenalan dengannya. Atas dasar apa? Seokjin hanya tak sengaja membantu pria pingsan karena mengira itu kekasihnya. Seokjin berpikir bahwa orang awam tak mungkin melakukan itu. Namun iapun tak mampu menyimpulkan hal lain perihal kedatangan Raymond ke tokonya.

Ray menenggak salivanya kuat-kuat. Ia tak pernah menyangka berada sedekat ini dengan mate-nya benar-benar membuatnya hampir kehilangan akal, dan ia tengah sekuat tenaga menahan hasrat yang membuncah di dalam dada untuk tak menyerang pemuda itu sekarang juga. Naluri hewannya benar-benar bereaksi terlalu kuat dari yang ia kira.

Mate-nya sungguh menawan walau hanya dengan kemeja berwarna pastel dan celana bahan setelah melepas semua atribut dapurnya. Dan terlihat lebih menggemaskan lagi dengan kepala yang terus tertunduk sembari meremat sisi cangkir berisi caramel macchiato yang disuguhkan temannya yang bertubuh tinggi beberapa saat lalu.

"Oh, aku Raymond, kau bisa memanggilku Ray." Ray tersentak begitu sadar ia dan pemuda di hadapannya hanya saling diam cukup lama. Dan tangannya terulur untuk menjabat tangan Seokjin.

Seokjin mengangkat kepalanya, lalu berkedip beberapa kali untuk menyadarkan diri. Lantas diliriknya tangan Ray yang terulur dengan agak ragu sebelum memutuskan untuk menjabat tangan pria itu.

Seokjin membelalak pada sensasi yang ditimbulkan dari bersentuhan dengan telapak tangan Ray yang terasa kasar. Juga pada rasa panas yang tiba-tiba menjalari sekujur tubuhnya. Pikiran Seokjin kembali berkelana saat sekilas ia merasa seperti pernah merasakan hal yang sama, tapi ia tak ingat kapan dan dimana.

Ray baru tahu jika tangan laki-laki bisa terasa sehalus ini. Lingkup pertemanannya benar-benar hanya antara para werewolf yang gemar mencabik hewan saat berburu, dan ia tak pernah begitu memperhatikan bagaimana tekstur kulit para omega. Lalu pada sensasi yang timbul akibat jabat tangan yang entah mengapa membuat Ray merasa bahwa ia telah terhubung cukup dalam dengan pemuda itu.

"Kau bisa memanggilku 'Seokjin'." Jawab Seokjin seraya melepaskan tangannya dari genggaman Ray dengan lembut. Ya, karena pria itu terasa enggan untuk melepas dan mengakhiri jabat tangan itu lebih dulu.

"Seokjin?"

Seokjin mengangguk. Pria itu menyebutkan namanya dengan cukup baik.

"Berkencanlah denganku."

"Apa?"

.

.

.
To Be Continued.
9 Maret 2019.

MOONCHILD [ Namjin ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang