Tempt

3K 561 95
                                    

"Seokjin, tunggu." Ray menyambar mantel Seokjin yang hampir terlupakan lantaran sang pemilik yang lebih memilih melarikan diri dari adegan terakhir film yang tengah mereka tonton dengan punggung tangan yang terus menahan hidung yang sudah berair, dan dari matanya juga tentu saja.

Ray menyusul dengan satu tangan terus memegangi dadanya yang nyeri lantaran tangis Seokjin yang tak mampu dibendung lagi. Sementara Seokjin langsung menyentak pintu teater dan berjalan cepat menuju kursi terdekat yang mampu dilihatnya.

Sungguh keputusan buruk untuk tak beralih pada film animasi yang sebelumnya dilirik dan malah berakhir dengan membeli dua tiket film yang mereka kira bertemakan anak-anak dari poster yang terpajang jelas disalah satu sisi bioskop.

Si pemeran utama memanglah masih anak-anak, hanya saja, film itu sama sekali tak memiliki kecerian khas film anak.

A Monster Calls: Stories Are Wild Creatures, film yang belum lama rilis. Berkisah mengenai kebingungan seorang anak dua belas tahun dalam menghadapi kehidupannya. Rekan sekelas yang senang membully, perbedaan pandangan dengan sang nenek, hubungan dengan ayah yang tak menentu, lalu monster pohon berukuran besar yang tiba-tiba hadir dalam kehidupannya untuk menceritakan sebuah kisah tiap jam 12.07 dan memberinya pilihan mengenai keputusan apa yang patut diambilnya, dan terakhir mengenai tekanan psikis dan batin kala menghadapi sang ibu yang tengah berjuang menghadapi penyakit kanker stadium akhir.

Keadaan dimana sang anak harus bersiap menghadapi kepergian sang ibu yang memang kesembuhannya sulit untuk diharapkan membuat Seokjin tak mampu membendung telaga dalam matanya untuk mengalir. Intoleransi terhadap kepergian seseorang membuatnya bersikap demikian, dan hal itu tak mampu dicegahnya sama sekali.

.

.

Ray menyodorkan sapu tangan yang memang selalu dibawanya pada Seokjin supaya pemuda itu bisa segera menyeka lelehan yang terus mengalir dan meredakan rasa sakit didadanya. Ia lantas mendudukkan diri disebelah Seokjin dan berusaha menenangkan dengan mengusap punggung Seokjin naik turun.

"Maafkan aku, aku tak tahu filmnya akan sesedih itu." Gumam Ray tanpa berani menatap langsung mata Seokjin yang masih berair, karena hal itu bisa menambah rasa sakit dalam hatinya.

Tak ada sikap defensif yang Seokjin tunjukkan selama Ray menyentuhnya, hal itu cukup melegakan mengingat mereka belumlah lama saling mengenal.

Seokjin yang mulai merasa tenang lantaran usapan lembut di punggungnya lantas menoleh pada teman jalannya yang tengah termenung dengan wajah bersalah menatapi deretan ubin dibawah kaki. Dan wajah itu sama seperti yang di ingatnya saat Namjoon tak sengaja menabrakkan mobilnya saat masih berlatih dulu dan membuat keduanya dilarikan ke rumah sakit lantaran memar yang keduanya peroleh dikepala. Namjoon tak hentinya meminta maaf sambil menangis padahal lukanya lebih serius lantaran darah yang terlihat merembes dari perban yang membalut kepala. Wajah pria menyedihkan itu masih terlihat tanpa defisien dimata Seokjin, tetap saja tampan.

"Tak apa." Ucap Seokjin setelah menyeka mata dan hidung untuk terakhir kalinya, lalu memasukkan sapu tangan milik Ray kedalam saku celana. "Justru aku yang khawatir karena kau telah berani ambil resiko dengan mengajakku keluar seperti ini."

Wajah Ray lantas berpaling pada Seokjin atas ucapan yang tak dimengertinya lantaran akses menuju sel otak yang terputus sementara karena rasa bersalah yang mendominasi. Keningnya berkerut tanda jika ia membutuhkan penjelasan lebih lanjut, dan Seokjin tahu itu.

"Bukankah seharusnya kau tahu bahwa aku bisa saja tak menganggapmu selama kencan kita ini?" Seloroh Seokjin saat dirasanya fokus lelaki itu mampu tertuju padanya dengan baik.

Tangan Ray berhenti dari kegiatannya, tubuh seketika tegap karena merespon salah satu kata dari akumulasi kata yang Seokjin ucapkan barusan.

"Kencan katanya?" Batin Ray hendak merasa girang namun urung mengingat lanjutan dari kata-kata pemuda itu.

MOONCHILD [ Namjin ]Where stories live. Discover now