Namjoon

3.6K 455 103
                                    

Seokjin mengangkat telapak tangannya demi menghalangi sinar matahati yang terasa menyilaukan mata. Kedua matanya sedikit menyipit kala bias-bias cahaya mentari menembus di sela-sela jemari kurusnya, lalu menurunkan dan meletakkan telapak tangan itu untuk menutupi kedua matanya.

Seokjin masih terbaring di rerumputan yang luas itu kala penghidunya menghirup aroma khas penghijauan yang seakan menenangkan dan menghasut dengan egoisnya untuk terus masuk ke alam tidurnya.

Tapi tidak. Musim semi terlalu berharga untuk diabaikan demi merebahkan diri di tempat itu. Seokjinpun sontak mendudukkan dirinya dan memperhatikan luasnya padang rumput di sekitarnya.

Hijau. Tenang. Dengan suara angin yang terus mengisi rungunya. Dan hanya ada dirinya di sana.

Seokjin perlahan bangkit dan mulai melangkahkan sepasang kaki telanjangnya di hamparan rerumputan yang sedikit menggelitik telapak kakinya. Lalu beralih menuju sebuah pematang yang membawanya pada kumpulan ilalang di depan sana. Kedua tangannyapun terentang demi meraih tiap ilalang yang terlewati, dan merasakan tubuhnya makin hangat kala ia merasa seakan tengah berdiri tepat di bawah mentari yang sedari tadi menyinari.

Nyaman.

"Seokjin."

Seokjin menoleh ke sekitarnya kala sebuah suara menggelitik rungunya. Namun tak ia temukan siapapun yang berkemungkinan memanggilnya di tempat itu. Dan ia kembali teralihkan oleh semilir angin yang menerbangkan tiap helai rambutnya dengan lembut.

"Jinseok."

Dan ia tak bisa lagi mengabaikannya kini. Ia tahu hanya ada satu orang di dunia ini yang dapat menyebut nama itu untuknya, sedangkan tak seorangpun berada di tempat ini selain dirinya, maka Seokjinpun berbalik demi menemukan sang pemilik suara. Dan hatinya mencelos hebat kala netranya menangkap sosok yang tengah berjalan dari kejauhan menuju dirinya, dan hampir membuatnya terjengkang akibat getar kejut yang menggelayuti raganya.

Pria bertubuh tinggi, berhidung mungil, dengan kumpulan surai pirang yang melayang akibat tertiup angin. Warna yang Seokjin ingat saat ia bersama pria itu untuk terakhir kalinya.

Lesung pipi pria itu menukik tajam kala senyum yang bersangkutan meliuk dengan indahnya, dan membuat Seokjin terbius mungkin untuk keseribu kalinya. Membuatnya enggan untuk berpaling barang sedetikpun. Lalu memaksa Seokjin untuk melontarkan tiap pujian hiperbolis yang sayangnya hanya mampu ia ungkapkan dalam hati. Merenggut tiap gerak hiperaktif yang biasa Seokjin suguhkan kala berdekatan dengan yang bersangkutan. Membuatnya mematung tak berdaya dengan segala pesona plus keterkejutan yang membaur jadi satu.

Sekumpulan memori yang Seokjin miliki seketika berkelebat di masa-masa dimana ia pertama jatuh cinta, lalu kala pria itu mengungkapkan keseriusan terhadap hubungan keduanya, lalu saat Seokjin kehilangan pria itu. Memforsir otaknya untuk kembali mengingat masa-masa penuh akan hal-hal manis serta getir yang telah Seokjin lewati.

Seokjin tak mungkin dapat melupakan sosok itu biar bagaimanapun caranya. Takkan ada formula yang dapat memberhentikan perasaan Seokjin dari pribadi yang paling ia cintai itu. Nama dan kepribadian dari sosok yang telah melengkapi kebahagiaan hidupnya itu bahkan telah terukir bagai tato di dalam relung hatinya yang terdalam. Memenjara sosok itu di dalamnya hingga tak ada kesempatan untuk melarikan diri dari perasaan dan ingatan Seokjin.

Kedua mata Seokjin mulai berkaca-kaca akibat haru yang mulai menyeruak di dada. Lalu, air mata yang tak mampu lagi tertahan untuk berlinang, dan jatuh hingga membasahi rerumputan. Dan Seokjin tak dapat lagi menahan sesak yang yang mulai menyelimuti kalbu. Ia-pun berjongkok dengan kedua tangan yang meremat erat kain piamanya. Suara tangisnya tak mampu ia kendalikan lagi saat sosok itu kian dekat, lalu berhenti dan membentangkan kedua tangannya seolah mengomando Seokjin untuk masuk ke dalamnya.

"Sayang." Ucap pria itu lembut, serta terus menatap masuk ke dalam dua mata Seokjin yang telah berair bak anak sungai yang terus mengalir.

Dan Seokjin yang tak mampu lagi membiarkan tubuhnya berdiam lantas bangkit dan berlari sekencang mungkin pada kekasihnya, pada tunangannya, calon suaminya. Menubruk tubuh pria itu hingga sedikit terhuyung, namun tetap berusaha mempertahankan keseimbangan demi menjaga Seokjin tetap dalam pelukannya.

"Namjoon." Seokjin terus terisak saat lengannya telah mampu melingkar di sekitar leher Namjoon, lalu merasakan tubuhnya sedikit terangkat dan usapan menenangkan yang perlahan ia terima di bahunya.

"Amat merindukanku, huh?" Tanya Namjoon diselingi kekeh gemas tepat di sisi telinga kekasihnya itu, dan merasakan pemuda itu mengangguk sembari menenggelamkan kepala di ceruk lehernya. Masih dalam diam dan isakan yang sungguh tak dapat dibendung lagi. "Kau tahu kan, bahwa aku selalu bersamamu?"

Seokjin semakin mengeratkan pelukannya. Seakan tak ingin lagi kehilangan kekasihnya. Karena ia sungguh tak ingin lagi membayangkan interval yang terjadi selama ia tak lagi memiliki Namjoon di sisinya.

"Bukankah kau sudah bertemu penggantiku, Jin-ah?"

Isakan Seokjin terhenti seketika. Apa yang sedang kekasihnya itu bicarakan? Pria itu seharusnya tahu bahwa tak pernah ada satupun pengganti setelah dirinya. Hubungan keduanya telah terjalin sejak sangat lama. Jika Seokjin berniat memiliki pengganti Namjoon dalam hidupnya, pasti sudah ia lakukan sejak dulu. Kenapa tiba-tiba pria itu menginterupsi semua haru yang telah tercipta dengan indahnya?

Pelukan Seokjin mengendur. Ia masih terdiam dengan wajah bingung saat pelukan itu terlepas sepenuhnya, dan mulai memperhatikan Namjoon yang masih menyuguhkan senyum berlesung kesukaannya. Dan keheranan Seokjin tak jua berakhir kala melihat bola mata tunangannya bergulir ke arah lain. Di belakangnya.

"There he is." Gumam Namjoon sembari menunjuk dengan dagunya.

Dan perkataan Namjoon itu jelas saja terasa bagai detonator pemicu dalam diri Seokjin yang siap meledak kapanpun ia mau saat tak bisa menerima keputusan tak masuk akal pria itu.

Seokjin masih tak mengerti. Keningnya terus berkerut lantaran begitu mudahnya Namjoon mengatakan hal semacam itu. Bagaimana kekasih yang telah ia kenal semenjak belia itu bersedia menyerahkannya pada orang lain? Ke mana perginya semua afeksi yang telah pria itu berikan dengan setulus hati padanya? Lalu menerbitkan rasa insekuritas dalam diri Seokjin hingga rasanya ia ingin pergi dari Namjoon.

"Kau tak ingin menyapanya, Jinseok?"

"Berhenti." Ucap Seokjin benci. Ia tak suka pada kenyataan bahwa Namjoon yang selama ini ia cintai begitu mudahnya mengucapkan hal konyol semacam itu. Ia lantas mengambil langkah mundur demi menjauhi pria itu. "Kau bukan Namjoon-ku."

Namjoon masih terpaku di tempatnya kala Seokjin terus melangkah mundur untuk meninggalkannya. Dan hal itu membuat Seokjin yakin bahwa pria itu sungguh bukan Namjoon-nya. Ia terus melangkah mundur, dan kemudian berbalik untuk melangkah lebih jauh. Namun, langkahnya seketika terhenti kala tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.

Dan Seokjin semakin dibuat membelalak hebat saat ia berhasil melihat siapa orang lain yang telah menghalangi jalannya. Mengintervensi pada apa yang tengah terjadi antara dirinya dengan Namjoon.

"Ray?"

"Hai, mate." Jawab pria itu dengan wajah sumringah penuh akan rasa percaya diri.

Suasana yang semula hangat tiba-tiba mulai diselubungi mendung yang Seokjin tak tahu datang dari mana. Menusuk sangat dalam bagai sembilu yang lalu menembus dirinya. Ketenangannya. Ia ingin kembali melarikan diri dengan membalik tubuhnya dan pergi ke arah lain.

Namun Ray telah berada di tempat itu, tepat di hadapannya, dan kembali menghalanginya. Lalu, Seokjin dapat melihat pria itu tersenyum lebar dengan memamerkan gigi taring yang penuh akan darah.

"Wanna taste your sweet blood again, mate."

.

.

.
To Be Continued.

7 agustus 2019.

MOONCHILD [ Namjin ]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن